Dalam ketegangan yang kian memuncak, Ki Banyudana menyadari ada orang lain yang juga harus diperhatikan. Ia menoleh pada arah Ki Hariman berdiri, lantas sejenak melihat pada kemampuannya. Apakah harus menggempur pula orang itu? Bagaimana jika kemampuannya setara dengan Agung Sedayu atau Ki Sanden Merti? Pada akhirnya, Ki Banyudana telah mencapai puncak tekad. Keberanannya sudah hadir dan menguasai segenap dirinya. Keraguan bahwa ia akan sulit menandingi Ki Hariman telah pupus. Maka ia bersiap. Tanpa ragu-ragu, Ki Banyudana berteriak, “Ki Sanak, marilah bermain-main sebentar. Tak baik pula hanya berdiri sebagai penonton saja.” Ucapan ini ditutup dengan serangan dahsyat, tanpa olah-olah, Ki Banyudana menggebrak lawan dengan sepenuh tenaga!
Serangan Ki Banyudana datang cepat sekali! Tubuh Lurah Mataram – yang diandalkan oleh Pangeran Selarong untuk membantu Agung Sedayu apabila muncul sebuah masalah – terlihat seperti terbang! Ia menjulurkan tangan, berusaha menggapai dengan rentetan pukulan yang mengerikan. Ki Hariman berpaling cepat lalu bersiap dengan dasar gerakan yang cukup keren. Melihat pergerakan dan susunan gerak Ki Banyudana, maka Ki Hariman mengerti bahwa ia tidak dapat meremehkan orang yang berusia sedikit lebih muda dari Agung Sedayu iitu. Ia membolak-balikkan telapak tangan seakan-akan ingin memecah perhatian lawannya dengan gerakan-gerakan kecil. Tiba-tiba Ki Hariman melenting ke samping dengan tubuh berputaran di udara. Ki Banyudana segera membelokkan serangan, memburu lawan dengan wajah garang.
Untuk sekejap kemudian, Ki Hariman tercengang dengan keluwesan gerak Ki Banyudana. “Ia mengubah arah dengan kecepatan tetap dan keseimbangannya pun tetap terjaga. Luar biasa!” kata Ki Hariman dalam hati. Ia pernah melihat lurah-lurah Mataram berkelahi tapi belum ada yang seperti gerakan Ki Banyudana. Dan kini ia menyaksikan betapa kedudukan seseorang bukan ukuran pasti kepandaian atau ketinggian ilmunya. Bagaimana Agung Sedayu bertarung melawan Ki Sanden Merti? Keduanya masih dapat dianggap seimbang padahal mereka berjarak dua tingkat kepangkatan. Terpesona seperti menatap api unggun, itulah keadaan Ki Hariman dalam waktu singkat. Ketika Ki Banyudana mendekat padanya dan semakin dekat, sekutu Ki Garu Wesi itu segera melapisi diri dengan pertahanan yang cukup baik. Ia tidak ingin bergegas menuju puncak ilmunya, maka perkelahiannya pun memanas dengan lambat.
Merasa bahwa ada sesuatu yang janggal dalam pertarungannya, Ki Banyudana pun bersikap waspada. Ia pun turut menurunkan kecepatan maupun kekuatan dengan sebaik-baik pengamatan. Serangan pertamanya yang luput mengenai sasaran pun tetap diikuti gerakan-gerakan yang mengalir pelan tapi mematikan. Karena perubahan mendadak yang dilakukan oleh lawannya, Ki Hariman kemudian memancing lawan dengan pertahanan terbuka. Ia tidak mengelak setiap serangan dan tidak pula menangkis lalu menghindar, tapi Ki Hariman mengatur langkah kaki yang dapat menopangnya untuk menyusun tata gerak yang membingungkan lawan.
Dua lingkaran perkelahian yang mempunyai perbedaan sangat tajam tergelar di samping hutan yang agak jauh dari jalanan. Gelanggang pertarungan Agung Sedayu dipenuhi dengan gebrakan-gebrakan dahsyat yang menggetarkan, sedangkan arena Ki Banyudana berlangsung lebih lambat namun sarat dengan pengungkapan rahasia-rahasia ilmu tingkat tinggi.
Hingga dalam pikiran Ki Hariman, ia mengakui bahwa masih sulit menilai ketinggian ilmu lurah Mataram yang menjadi musuhnya itu. Kecakapan serta kematangan Ki Banyudana mampu mengimbangi setiap perubahan yang dilakukan Ki Hariman. Namun keluasan wawasan Ki Hariman pun pada akhirnya mencapai pengamatan bahwa lelaki muda yang berkelahi melawannya itu adalah murid unggulan dari sebuah padepokan yang pernah dikenalnya. Beberapa bagian tata gerak Ki Banyudana, harus diakuinya, memang mendatangkan kesulitan. Ia mengerutkan alis sambil mendesah dalam hati, “Apakah orang ini murid dari perguruan di Pengging?”
Ki Banyudana benar-benar cermat. Sesaat ketika perhatian Ki Hariman teralihkan, Ki Banyudana mengambil kesempatan dengan sangat baik. Mungkin ia tidak sepadan untuk ukuran tenaga cadangan, tapi kesulitan demi kesulitan pun berdatangan. Sehingga dengan demikian Ki Hariman mulai tersudut dan keseimbangan pun berubah. Ki Banyudana meloncat memburu dengan terjangan yang melonjak sangat tajam. Sambil mengayunkan kaki dengan tumit mengarah pada kening Ki Hariman, lurah Mataram itu bersiap melepaskan tenaga cadangan dari sepasang tangannya.
“Pantaslah!” seru Ki Hariman tiba-tiba. Ia berteriak keras, menyambut tendangan Ki Banyudana dengan kaki sebelah bersamaan dengan tubuhnya yang menggeliat ke belakang. Pada waktu yang nyaris berdekatan, Ki Hariman pun memapak pukulan bertenaga Ki Banyudana dengan dua tangan yang dilambari tenaga cadangan.
Dua-duanya pun terpental. Dua-duanya harus menggulingkan tubuh agar dapat mengendalikan daya liar yang meledak akibat benturan tenaga cadangan masing-masing. Dua-duanya segera melenting lalu kembali berhadapan dengan penilaian yang tertancap pada benak mereka. Untuk sesaat, mereka berdiri mematung dan saling memandang. Mereka pada akhirnya dapat mengukur kekuatan lawan. Mereka sama-sama tidak merasa gelisah walau kekuatan masing-masing mulai sedikit terungkap.
Sementara itu, pada bagian lembah, iring-iringan Panembahan Hanykrawati menyisir perlahan sepanjang dinding tebing. Gelombang perasaan datang dan pergi seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Panembahan Hanykrawati serasa tidak ada kesempatan baginya untuk bernapas dengan damai. Selalu ada pertikaian yang harus dipadamkannya. Setelah perseteruan mereda. muncul orang yang akan membicarakan dirinya, entah mengecam atau membencinya secara terang-terangan. “Tentu semua akan mencapai batas akhir. Apakah aku terlebih dulu atau keadaan yang bakal memaksa seperti yang sudah-sudah?” desah Panembahan Hanykrawati dalam hati. Ia merasakan getaran yang aneh sedang merambati jalan darahnya. Bukan racun dan bukan pula makanan yang tidak layah, tapi sesuatu yang tidak dapat terlihat atau tercium. Putra Panembahan Senapati ini kemudian melingkarkan pandangan. Dengan sikap hati-hati, ia mengadakan pengamatan tanpa berbicara pada Pangeran Selarong.
Pangeran Selarong memimpin pengawalan tanpa tergesa-gesa. Putra raja tersebut kadang-kadang mengambil waktu untuk memperhatikan keadaan di sekitar mereka. Tak jarang, Pangeran Selarong meminta Panembahan Hanykrawati mengitari barisan pengawal raja demi tujuan tertentu. Perjalanan mereka cukup lambat jika dibandingkan sejak melewati gerbang kotaraja. Itu benar karena Pangeran Selarong pun sedang memberi waktu pada prajurit yang terluka dan kelelahan untuk membenahi diri, termasuk di dalamnya adalah Kinasih. Melalui tangan Ki Sadana, murid tunggal Nyi Banyak Patra ini banyak meraih kemajuan dalam waktu singkat. Salah satu sebab adalah pengetahuan Kinasih terhadap pengobatan. Ia memperhatikan bagian-bagian kecil yang dipandangnya penting untuk pemulihannya.
Keputusan Pangeran Selarong untuk melambatkan pergerakan pengawal cukup meresahkan para penyusup. Setiap kali Pangeran Selarong berada di dekat mereka maka setiap waktu itu pula ia mengatakan sesuatu tentang pengkhianatan dan penyamaran. Itu sangat mengusik mereka. Orang-orang suruhan Raden Atmandaru ini merasa sedang diawasi dengan ketat oleh para senapati yang berada di sekeliling mereka. Rombongan Panembahan Hanykrawati tidak lagi berada di tempat terbuka yang mudah diserang. Mereka terlindung oleh semak-semak yang tumbuh tak beraturan dan tampak seperti pembatas jalan. Tumbuh-tumbuhan liar yang berserakan seakan menjadi benteng alam bagi pergerakan Panembahan Hanykrawati.
Baca Kitab Kiai Gringsing dari awal, klik Kitab Kiai Gringsing
Pengikut Raden Atmandaru semakin cemas. Kegelisahan mereka memuncak ketika tanda-tanda bahwa ada sekutu yang dekat mereka masih belum terlihat atau terdengar. Suara burung kedasih, suitan-suitan nyaring atau yang serupa dengan dua tanda yang lazim digunakan itu seakan tenggelam bersama dengan matahari. Seiring dengan perondaan yang secara acak dilakukan Pangeran Selarong sendirian atau bersama Panembahan Hanykrawati mendorong mereka mencapai batas puncak kekhawatiran. Mereka pun terpaksa memutus asa karena tidak akan ada penyergapan yang dilakukan oleh kawan-kawan mereka.
Ki Kebo Saloka – yang berpangkat rangga – tidak menemukan jalan yang dapat digunakan untuk menyerang dari luar barisan. Hal terburuk yang terbayang olehnya adalah hukuman mati jika kedoknya terkuak. Lalu, bagaimana agar ia tetap aman? Apakah ia percaya pada Ki Sawala serta dua orang lainnya? Ia melontarkan pandangan sedikit lebih jauh lalu tampak Ki Sawala sedang merenung atau memikirkan sesuatu, tapi tidak terlihat dua orang yang lain.
Tiba-tiba!
Seseorang berlari menyusul Panembahan Hanykrawati dan Pangeran Selarong yang tak lama memutar kuda kembali pada kedudukan semula. Beberapa orang melihatnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Mereka bertukar pandang dengan pertanyaan sama, ada apakah dengan orang itu?
Seorang senapati dengan waah tegang melihat gerakan yang nyaris tertutup dari pandangannya. Ia membuat keputusan cepat meski akan berakibat dirinya mendapatkan hukuman. Tapi pikirnya, gerakan itu mencurigakan dan tersamar dalam remang suasana. Ia berseru kemudian, “Penyusup!”
Sejumlah orang segera berhamburan menuju Panembahan Hanykrawati yang berpaling pada arah suara. Pikirnya, penyusup? Segila itukah?
Sejenak Pangeran Selarong memperhatikan sekeliling. Menurut perkiraannya ada lebih dua orang yang sedang menunggu keributan memuncak. “Ayah, bersiagalah,” pinta Pangeran Selarong. “Agaknya salah satu prajurit kita benar-benar tidak mampu menahan diri. Mungkin hanya seorang saja, tapi juga mungkin ada beberapa lagi yang sedang menunggu kesempatan.”
Panembahan Hanykrawati mengangguk kemudian menempatkan diri di antara para pengawal raja yang cepat melingkarinya. Tanpa menurunkan kewaspadaan, Panembahan Hanykrawati menekan bagian dadanya, memejamkan mata kemudian menggeleng dengan wajah sungguh-sungguh.
“Matilah, Mas Jolang!” teriak orang sebelumnya berlari cepat menyusul Panembahan Hanykrawati.
Sejumlah pengawal terbelalak! Salah seorang lantas bertanya pada orang di sampingnya, “Bukankah itu Ki Sawala?”
“Benar, tidak ada yang lain,” jawab temannya. Mereka bergegas menyiapkan diri, mengikuti aba-aba ketua regu yang cekatan menyusun gugusan pengawal.
Ki Sawala melompat tinggi, menerjang para pengawal yang berderet membentuk garis lingkaran dan telah bersiaga penuh menyambut serangan itu. Ketika perhatian sebagian pengawal tersita pada Ki Sawala yang menyerbu seorang diri, Ki Kebo Saloka bangkit meneriakkan perintah pada Mardi dan Guntara. Dua orang rendahan itu cepat membuat kerusuhan demi memecah perhatian banyak orang. Sedangkan Ki Kebo Saloka telah bergerak sangat cepat melabrak Pangeran Selarong yang berada di atas punggung kuda tanpa pengawalan sama sekali.
Kinasih, yang berada di sisi seberang, menggeram marah. Jari-jarinya kuat mencengkeram batang bambu yang menjadi alat bantunya untuk berjalan. Hampir saja ia menghamburkan diri meladeni sepak terjang orang-orang busuk itu, tapi Ki Sadana cepat meraih lengannya.
“Angger tidak bisa begitu saja lepas kendali,” ucap Ki Sadana, lembut tapi tegas.
Kinasih menatap tajam padanya. Sebenarnya ia ingin membantah Ki Sadana tapi nalarnya bekerja lebih cepat. “Benar, aku tidak dalam keadaan baik untuk kembali bertempur. Lalu, Panembahan Hanykrawati?” ia mendesah dalam hati.
Ki Sadana seakan-akan mengerti gelisah hati gadis muda yang menyadap ilmu sejak belia itu kemudian berkata, “Panembahan telah dikelilingi orang-orang baik yang mempunyai kemampuan cukup. Aku kira kita sudah sangat membantu beliau dengan tetap berada di sini.”
Kinasih memandang Ki Sadana dengan alis berkerut. Sejenak kemudian ia mendesah panjang sambil memalingkan wajah pada arah lain. Ia gelisah oleh bayangannya sendiri bahwa Panembahan Hanykrawati tidak akan ada yang melindungi. Sedikit kekacauan pun terjadi di dalam perasaan Kinasih. Ia benar-benar kesal hati tapi mustahil untuk menyalahkan keadaan atau Ki Sadana. Gadis muda yang merawat Agung Sedayu sekian lama itu menyembunyikan kesal hatinya. Pikirnya menghibur diri, barangkali ia hanya menjadi beban Pangeran Selarong lalu membahayakan Panembahan Hanykrawati saja. Kesal, tapi mau bagaimana lagi?
Para penyusup itu ternyata mempunyai tambahan beberapa orang lagi meskipun jumlahnya tidak sebanding dengan keseluruhan oran-orang yang mengiringi Panembahan Hanykrawati. Namun mereka mungkin menjadi pukulan terbesar karena menghantam dari dalam!
Dinding kesetiaan terkoyak dan kepercayaan tercabik-cabik! Itulah pemandangan pada tempat Panembahan Hanykrawati dilindungi dan Pangeran Selarong berhadapan dengan Ki Kebo Saloka. Orang-orang yang dulu bermanis muka dan selalu menunjukkan diri sebagai yang pertama, sebagian besar, berbalik arah. Menghujani dua orang terkemuka Mataram itu dengan kata-kata yang menyakitkan. Sumpah serapah dan jenis binatang hampir seisi hutan pun terlontar dari mulut mereka.
Panembahan Hanykrawati bergeming, Pun demikian Pangeran Selarong. Mereka berdua tetap bertahan dalam kedudukan sebagai pengendali keadaan. Panembahan Hanykrawati masih dapat memberi petunjuk dan mengikuti alur gelar para pengawal raja yang berjibaku melindunginya dari serangan Ki Kebo Saloka. Lelaki yang berusia di atas Agung Sedayu itu melancarkan serangan bertubi-tubi. Seperti sudah melupakan kebaikan Mataram atau Panembahan Hanykrawati padanya selama ini. Bahkan ia berteriak keras-keras, “Mas Jolang atau Selarong harus mati terlebih dulu!”
Ki Kebo Saloka benar-benar tidak ingin ada gangguan yang mengusik pikirannya. Berita kekalahan kelompok-kelompok Raden Atmandaru di Tanah Perdikan dan Sangkal Putung sudah dirasa cukup olehnya. Betapa mereka, pendukung gerakan makar, adalah orang-orang yang kenyang dengan pertempuran dan juga cerdas menjalankan gelar perang. Selain kemampuan pribadi yang berada di atas rata-rata, bukankah mereka juga mendapatkan dukungan dari sebagian orang Mataram? Itu adalah aib yang sangat besar, pikirnya. Mati atau tidak, terluka atau tidak, dua-duanya sudah tidak lagi menjadi pilihan penting bagi Ki Kebo Saloka dan kawan-kawan.
Tak kalah seru : Sultan Trenggana dalam Penaklukan Panarukan
Sejumlah orang yang memang menjadi pengikut Ki Kebo Saloka langsung setuju ketika orang itu berkeliling sambil menyebarkan rencana di belakang dua pemuka Mataram. Beberapa lagi yang sedang berdiri gamang hanya mendengar. Tapi ketika rencana itu terlaksana, mereka tiba-tiba menjadi bagian yang tidak diperhitungkan. Saat menyampaikan rencananya, Ki Kebo Saloka sadar bahwa itu sama dengan bunuh diri. Hanya saja, Ki Kebo Saloka sudah bergelap mata. Ia tidak peduli tentang nasibnya atau nasib orang-orang yang mengikutinya. Yang terpenting adalah sakit hati saat kekalahan di Madiun dapat terobati. Lagipula, ia tidak merasa telah mengeluarkan biaya atau pengorbanan yang lain. “Aku hanya seorang penumpang di dalam gerakan ini,” ucap Ki Kebo Saloka suatu ketika. Dengan dasar pikiran itu, ia pun menarik para cantrik Ki Kebo Lungit yang selamat ketika terjadi penumpasan padepokan mereka. Ternyata gayung bersambut karena mereka pun berpengharapan jika dapat membunuh Panembahan Hanykrawati itu sama dengan melihat kematian dua kali Panembahan Senapati. Kemuliaan dan kejayaan hanya pencapaian semu belaka bagi mereka.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.