Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 45

Waktu yang dimiliki Sabungsari semakin berkurang ketika bayangan pohon kian panjang menutup sebagian tanah datar Karang Dawa. Pada perkelahian yang mengguncang Karang Dawa itu, Sabungsari sadar bahwa ia harus lebih kuat memeras tenaga dan mengerahkan kemampuan puncaknya. Namun demikian, puncak ilmu yang terletak pada kekuatan pandangannya tidak mudah dilontarkan begitu saja. Ki Astaman begitu cerdik dengan tidak menetap terlalu lama di sebuah tempat. Lebih buruk lagi adalah kenyataan bahwa kekuatan Ki Astaman belum terkesan mulai berkurang. Arus serangan Ki Astaman menerjang Sabungsari bertubi-tubi tanpa celah atau memberinya kesempatan untuk membalas serangan.

Suasana jiwani Sabungsari merayap cepat menuju ketegangan yang benar-benar mencengkeram nalarnya. Sebagai prajurit yang telah melewati banyak pertempuran, Sabungsari sadar bahwa pertempuran akan berakhir sebelum malam tiba tetapi perkembangan yang tampak, sungguh, di luar dugannya. Satu sisi, Sabungsari merasa lega pengawal Gondang Wates dapat lepas dari tekanan lalu membalikkan keadaan. Tetapi ketika ia mendengar pekik suara yang beredar, Sabungsari tahu bahwa para pemimpin Gondang Wates berangsur-angsur mendekati masa sulit. Di samping itu, pada lingkar perkelahiannya sendiri, sambaran tenaga yang ditebarkan dari ujung senjata Ki Astaman seperti menunjukkan bahwa sesaat lagi, musuhnya akan tiba di puncak kekuatan. Sabungsari hanya dapat menghindar dan menghindar, mengelak dan menangkis tanpa ada kesempatan untuk berbalik menjadi pemburu. Serangan Ki Astaman semakin cepat dan kuat! Sabungsari sedikit terlambat ketika keris Ki Astaman menebas datar pada bagian bawah. Ujung senjata Ki Astaman menggores betis Sabungsari.

Sabungsari harus tetap menjauh agar ketajaman senjata lawan tidak meneruskan ancaman dengan mengoyak pangkal pahanya, tetapi usahanya seakan-akan menjadi sia-sia. Ki Astaman berpusing sedemikian cepat, tertutup debu dan daun-daun kering yang bergerak karena sambaran angin yang mengibas dari putarannya. Tiba-tiba sejulur lengan dengan telapak terkepal mengeluarkan pukulan jarak jauh disusul tusukan senjata yang mengarah ke bagian atas Sabungsari. Mungkin inilah tata gerak yang menjadi pamungkas dari Ki Astaman!

Sabungsari sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya terlempar ke dalam kebinasaan, maka pedangnya pun berayun ganas. Bukan sebuah persoalan, pikir Sabungsari, bila tidak mendapatkan waktu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya karena masih ada jalan utuk meraih kemenangan. Di bawah tekanan lawan yang luar biasa, Sabungsari berusaha bangkit, menyerang balik dengan kegigihan yang hebat. Maka, secara mengejutkan, tenaga cadangannya pun terungkap bersama dengan ayunan pedang yang sangat deras! Ki Astaman mengelak lalu menjauh ketika angin pedang Sabungsari nyaris menyayatnya. Meski demikian, sekejap berikutnya, Ki Astaman kembali menerjang dengan serangan membadai yang lebih hebat dari sebelumnya. Lambung Sabungsari tergores ujung keris Ki Astaman, lalu sebuah pukulan yang dilontarkan dari jarak sedepa pun telak menghantam dada lurah prajurit Mataram itu. Sabungsari terpental, terjatuh lalu mengeluh dengan suara tertahan. Dadanya terasa hancur akibat lontaran tenaga cadangan yang menyerbu bagian dalamnya. Namun, Sabungsari tidak dapat berlama-lama pada kedudukannya yang sejajar dengan permukaan tanah karena Ki Astaman datang. Meski mempunyai ruang pandang yang cukup, Sabungsari tidak dapat mengerahkan ilmunya yang memancar dari pandangan mata. Bagian dalam dadanya terasa remuk disertai rasa sakit yang membelit pembuluh darahnya. Sabungsari beringsut, menggulingkan tubuh, menghindari tusukan demi tusukan Ki Astaman yang datang bagaikan hujan lebat wayah rendeng.

loading...

Mendadak Ki Astaman melontarkan diri serong ke belakang ketika terdengar suara berdesing nyaring yang menyakitkan telinga. Sebatang panah meluncur sangat cepat, mungkin lima atau enam kali lebih cepat dari lontaran yang dilakukan prajurit terlatih, lalu menancap sangat dalam dengan menyisakan bagian ekornya saja. Anak panah itu menjadi peringatan agar Ki Astaman tidak meneruskan hasratnya menghabisi Sabungsari. Ki Astaman menyeringai kemudian memandang asal anak panah. Seseorang mengggerakkan busur sebagai isyarat agar Ki Astaman meninggalkan Sabungsari.

“Pangeran Purbaya,” desis Ki Astaman. Sorot mata Ki Astaman memancarkan perasaan geram. Namun menuruti kehendak pemanah itu pun bukan sebuah pilihan yang wajib dijalaninya. Ki Astaman yakin bahwa dengan sekali menghentakkan tangan, maka Sabungsari akan terbunuh seketika di depan matanya tanpa ada pertolongan lagi. Selanjutnya, ia akan menghadapi Pangeran Purbaya yang pasti datang melabraknya dengan seluruh kekuatan. Sebagai orang yang masih dapat mengendalikan perasaan, Ki Astaman berpikir bahwa meladeni Pangeran Purbaya sudah pasti tidak akan mendatangkan keuntungan baginya. Daya tahannya pasti jauh berkurang sementara Pangeran Purbaya memulai perkelahian dalam keadaan lebih bugar. “Itu bukan pertarungan yang adil, menurutku,” kata Ki Astaman pada dirinya.

Kemudian, kepada Sabungsari, Ki Astaman berkata, “Setidaknya engkau masih dapat melanjutkan hidup. Luka-luka pada bagian dalam tubuhmu tidak akan sembuh dalam enam atau delapan pekan mendatang. Sepanjang waktu itu, kau akan mengenangku sebagai pengadil yang masih menggenggam keputusan mati untukmu.”

Sekali kaki Ki Astaman menghentak ke tanah, tubuhnya melayang cepat, meninggalkan Sabungsari yang memandang kepergiannya dengan berbagai perasaan. Ketika Ki Astaman melintasi garis pertahanan pasukan Ki Sor Dondong, ia berseru, “Tinggalkan tempat ini. Kalian sudah meraih kemenangan! Tinggalkan tempat ini. Kembalilah ke jalur masing-masing!”

Baca pula ; Kisah silat berlatar belakang Majapahit ketika Gajah Mada masih berpangkat bekel prajurit. Klik di sini.

“Bagus, Kiai! Hebat!” sahut Mangesthi dengan lantang dari lingkar perkelahiannya yang telah bergeser lebih dekat pada kerumunan dua pasukan yang beradu senjata.

Orang-orang memandangnya dengan heran. Bagaimana Ki Astaman dapat meneriakkan kemenangan sementara mereka sedang berjuang di garis pertahanan? Dan Mangesthi membenarkan? Sesaat pun berlalu ketika kebanyakan orang sadar dengan yang dikumandangkan Ki Astaman. Benar, mereka harus segera menyusun ulang dengan melepaskan Gondang Wates. Mereka sadar bahwa Gondang Wates adalah tujuan samping karena inti gerakan bukan terletak di Kademangan Sangkal Putung.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.