Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 112 – Pertempuran Sengit Pangeran Selarong Menghadapi Ki Kebo Saloka

Pangeran Selarong adalah lelaki muda yang sulit dicari bandingannya pada masa itu untuk yang sepantaran dengannya, puji Ki Kebo Saloka dalam hati. Tapi pujian itu pun pupus ketika ia melihat kenyataan pahit yang menimpa anak buahnya. Kegagalan menjadi keniscayaan yang abadi baginya. Jumlah yang sedikit itu pun harus merasakan gilas sangar roda-roda berduri yang dijalankan prajurit Mataram. Hampir tidak ada keuntungan yang akan menghampirinya kecuali malam mendadak tiba tapi itu masih terlampau lama jika dibandingkan dengan gempuran bertubi-tubi Pangeran Selarong.

Pada permulaan perkelahian, Ki Kebo Saloka sempat merasa berbunga hati karena anak buahnya mampu membuat gebrakan hebat. Tapi  jika memperhatikan perkembangan keadaan terakhir, dada Ki Kebo Saloka berdebar-debar ketika tidak ada seorang pun yang tersisa dari anak buahnya. Keresahan itu tidak boleh dibiarkan berlama-lama karena Pangeran Selarong bertempur seperti harimau terluka.

“Anak muda,” kata Ki Kebo Saloka, “tidakkah kau sayang dengan usia? Ada banyak kesenangan pada perempuan, tapi kau berada di sini untuk sesuatu yang bodoh.”

Pangeran Selarong tertawa, lalu berkata dengan dingin, “Di sini kesenanganku satu-satunya adalah membunuhmu.”

loading...

Ki Kebo Saloka tertawa keras. Kemudian ucapnya, “Oh, berarti inilah tujuanmu di sini, mati muda tanpa pernah mencicip kesenangan pada paha dan dada perempuan. Baiklah, aku akan memberimu kebanggaan!” Walau terbersit rasa putus asa tapi Ki Kebo Saloka memancang niat untuk mati bersama Pangeran Selarong. Ia tidak melihat kemungkinan lain untuk memupus harapan Mataram selain membunuh salah satu putra raja. Orang ini meyakini bahwa cara itu dapat mengikis kepercayaan orang-orang Mataram pada senapati dan prajuri lainnyat. Bila sudah muncul keraguan mengenai keamanan dan keselamatan raja, Mataram akan ditinggalkan banyak orang sehingga dapat menerima kehadiran Raden  Atmandaru. Tanpa menambah kata-kata, cambuk pun terurai. Dengan gerak tipu tendangan, ia  menebas menyamping lambung Pangeran Selarong.

Baca pula : Bab 5 Merebut Mataram

Penuh rasa percaya diri dan keteguhan hati seorang bangsawan, tata gerak Pangeran Selarong menjadi tanda awal bagi perkelahian yang akan mengaduk-aduk perasaan orang yang menyaksikan. Pangeran Selarong bergeser mundur sambil meloloskan dua tombak yang berujung lancip lalu  membalas tipuan itu dengan serangan-serangan berbahaya. Sepasang tombak pendek Pangeran Selarong bukan senjata yang sama persis bentuk maupun ukuran. Persamaan dua tombak itu terletak pada ukuran panjang yang hampir sama dengan kaki lelaki dewasa, tapi bagian ujung hingga pangkalnya terdapat banyak perbedaan. Pangeran Selarong cukup terampil memainkan sepsang tombak itu dengan dua tangannya. Bagaikan sepasang naga yang memburu mangsa maka seperti itulah sepasang senjata Pangeran Selarong saat meliuk-liuk, menebas dan mematuk sambil mengeluarkan bunyi bernada tinggi. Itu sudah jelas menunjukkan tingkatan tersendiri!

Ki Kebo Saloka tampak cukup hebat mengayun cambuk. Ia mundur selangkah lalu maju dua langkah tanpa terganggu dengan sambaran sepasang tombak musuh. Itu seperti sebuah permainan gobak sodor yang dilakukan dengan pertaruhan nyawa! Namun demikian, sekalipun terlihat seperti bermain-main, ayun cambuk Ki Kebo Saloka semakin lama semakin dahsyat.

Saling menangkis dan  saling mencoba merampas senjata lawan menjadikan gelanggang perkelahian itu seakan berubah menjadi adu kecerdasan!

Barangkali karena masing-masing orang merasa bahwa pertarungan mereka bersentuhan dengan harga diri tertinggi yaitu kepandaian menggunakan otak, maka perkelahian antara Pangeran Selarong dengan Ki Kebo Saloka semakin berkobar-kobar. Perbedaan usia seakan lenyap tanpa bekas. Keluasan pengalaman dan wawasan Ki Kebo Saloka pun bertemu dengan ketangkasan serta ketenangan Pangeran Selarong, maka nyaris dapat dikatakan mereka dalam kedudukan yang seimbang.

Tidak banyak yang diketahui oleh Ki Kebo Saloka tentang kemampuan Pangeran Selarong, tapi ia sudah mendengar kemampuan Glagah Putih. Dengan begitu, ketika menghadapi kenyataan bahwa putra raja itu dapat mengimbanginya, maka ia pun sadar bahwa anak muda yang dihadapinya pasti dapat dibandingkan dengan Glagah Putih. Beda halnya dengan Pangeran Selarong yang buta terhadap kemampuan lawannya, tapi ia tidak menjadikan itu sebagai persoalan. Pangeran Selarong dapat mengabaikannya sehingga ia dapat memusatkan perhatian pada tata geraknya beserta cabangnya yang dapat dikembangkan.

Sekarang mereka sudah terlibat dalam pertarungan yang mendebarkan. Tidak ada waktu lagi untuk memutar waktu atau menggali ingatan tentang segala sesuatu mengenai lawannya. Yang ada di dalam hati mereka adalah kesadaran bahwa mereka sama-sama tangguh. Meski sempat membuatnya heran, Ki Kebo Saloka pun tidak silap mata dengan kemampuan Pangeran Selarong. Pun demikian dengan putra raja yang tetap sungguh-sungguh meladeni serangan demi serangan Ki Kebo Saloka yang sangar lagi kuat.

Putaran cambuk terus berlanjut. Serangan tetap mengalir dengan kecepatan yang belum berubah. Pangeran Selarong sadar bahwa lawannya sedang menguji kesabarannya. Ia enggan berpikir dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa orang itu tidak segera meningkatkan kemampuan? Tidak, Pangeran Selarong tidak berpikir bahwa Ki Kebo Saloka sedang menjajagi ilmunya. Karena itu, dengan hati-hati, Pangeran Selarong mendahului musuhnya agar dapat memaksanya beralih setingkat lebih tinggi lagi. Ayun putar sepasang tombak putra raja itu pun semakin kuat dan cepat. Suara mendecit pun terdengar lebih pelan atau samar-samar ketika angin bertiup. Dan ternyata itu justru mendorong pertarungan pada tingkatan yang lebih berbahaya! Ki Kebo Saloka menggeram saat ujung tombak nyaris merobek kulit kakinya. Sambil melompat mundur, ia melecut sendal pancing membelah dada Pangeran Selarong!

Tata gerak yang indah dan sangat indah dapat dilakukan Pangeran Selarong ketika menghindari serangan musuhnya. Tetapi itu tidak dapat dibanggakan karena ujung cambuk yang tajam – karena sebilah logam pipih yang terikat – kembali menerjangnya. Sebersit rasa muncul dalam benaknya, apakah permainan musuhnya itu sebanding dengan Agung Sedayu? Mungkin masih sedikit di bawah Swandaru Geni atau Ki Widura?

Lagi-lagi, dengan gerak jumpalitan di udara yang terlalu indah untuk digambarkan, Pangeran Selarong dapat menggagalkan serangan lawannya. Ketika lidah cambuk nyaris menyabet pinggangnya, Pangeran Selarong menggerakkan tombaknya dengan tangkas mengikuti arah juluran. Sekedipan mata kemudian, putra raja itu memutar tubuh lalu menggempur balik Ki Kebo Saloka!

Ketika mereka agak berjauhan, Ki Kebo Saloka membentak keras lalu menghardik Pangeran Selarong, “Hey, berguru di manakah engkau ini? Yang kau lakukan sama sekali bukanlah kepantasan seorang lelaki sejati!”

“Benar,” sahut Pangeran Selarong, “aku memang nyata seperti yang kau pikirkan, Ki Sanak.”

Ki Kebo Saloka mendengus tanpa mengerti maksud ucapan Pangeran Selarong. Ia sedikit merasa bingung dengan tata gerak Pangeran Selarong yang gemulai dan penuh kembangan yang tidak terduga. Sepanjang pengalaman dan pengetahuannya, Pangeran Selarong menjadi orang pertama baginya yang tampak aneh! Itu bukan kanuragan menjadi kalimat bantahan yang terus bermunculan dalam benak Ki Kebo Saloka. Benar, tata gerak Pangeran Selarong lebih mirip dengan tarian yang kebanyakan dilakukan para perempuan muda saat bulan purnama. Anak itu mungkin akan mampu mengalahkannya atau mungkin juga tidak, pikir Ki Kebo Saloka. Ia perhatikan sekelilingnya. “Baiklah, aku tidak ingin ada waktu yang terbuang. Orang-orang sudah mati jadi aku tidak perlu memikirkan mereka lagi,” desis Ki Kebo Saloka dalam hati.

Sorot mata dan sikap Pangeran Selarong begitu luar biasa, tetap tenang meski keadaan ayahnya cukup mengkhawatirkan. Dan ia pun tetap tenang atas segala yang dilakukan Ki Kebo Saloka sepanjang pertarungan. Kendati demikian, putra raja ini tidak ingin berkelahi lebih lama lagi. “Tidak perlu ada tambahan waktu karena ayah sudah tidak memungkinkan turut bertempur, dan bisa jadi Ki Rangga serta yang lain sedang kesulitan di mulut lembah,” kata Pangeran Selarong tanpa suara.

Ketika kata hatinya berakhir, sepasang tombak Pangeran Selarong pun menyibak udara, lalu memburu Ki Kebo Saloka yang mulai memutar-mutar cambuk. Namun ia sangat kaget dengan perubahan gerak Pangeran Selarong yang demikian mantap dan dalam waktu singkat dapat mendesaknya. Dari enam atau tujuh serangan Pangeran Selarong, Ki Kebo Saloka hampir saja jatuh terjungkal. Permainan tombak Pangeran Selarong mengurung Ki Kebo Saloka yang menjaga diri dalam keadaan merunduk. Ki Kebo Saloka ingin mengambil keuntungan dari sikap tubuh yang rendah. Ia bergeser dengan tekuk lutut dengan sudut agak lancip, lalu bergeser setapak demi setapak sambil melindungi tubuhnya dengan putaran cambuk sehingga Pangeran Selarong kesulitan menekan lebih jauh lagi.

Sedikit jauh dari lembah, dua gelanggang perkelahian yang sama-sama bising dan ribut masih berlangsung!

Pada bagian tanah lapang terjadi perkelahian yang tidak seimbang dan sangat berisik pada gelanggang perkelahian Ki Grobogan Sewu. Gerombolan anjing liar mampu membuat porak-poranda barisan pengikut Raden Atmandaru. Senjata mereka yang beraneka rupa tetap terayun tapi hampir semuanya tidak sesuai dengan kehendak. Tanpa tersirat rasa takut atau gentar pada mata mereka, anjing-anjing itu meloncat, menerkam dan menggigit setiap orang yang berada di dekat mereka, termasuk Ki Grobogan Sewu. Setiap kali ada orang yang terjatuh maka dalam sekejap ia akan menderita karena selalu ada anjing yang mengoyak betis, lengan atau paha dengan gigi yang runcing. Kawanan anjing itu semakin ganas tiap kali ada anggota mereka yang terlempar atau terluka. Mereka menggeram dan menyalak dengan kekuatan alam. Kebisingan yang mereka timbulkan benar-benar merusak perhatian banyak orang. Tapi anjing tetaplah anjing walau bertarung mati-matian. Tumbanglah korban satu demi satu, baik dari pengikut Raden Atmandaru maupun dari kawanan anjing hutan itu.

Ki Grobogan Sewu membelalakkan mata dengan rasa lega dan tidak percaya. Siasat Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar jitu, pikirnya. Namun ia juga tersentuh karena sesungguhnya kawanan anjing itu tidak terganggu dan tidak pula dapat disalahkan. “Tapi inilah pertempuran yang mengharuskan senapati dapat meraih kemenangan,” desah Ki Grobogan Sewu dalam hati dengan perasaan sedih. Berlawanan dengan kesedihannya itu, ia pun merasa lega karena terbantu dengan adanya gerombolan anjing hutan. Dengan demikian, ia hanya perlu menghindar dari serangan musuh atau anjing. Kemampuannya sudah lebih dari cukup untuk menjatuhkan orang-orang yang ingin menyergap Panembahan Hanykrawati sekeluar dari lembah. Kelegaannya bertambah ketika melihat Ki Banyudana berdiri lebih dekat dengannya. Walau hatinya masih bertanya-tanya, Ki Grobogan Sewu bertekad menuntaskan tugas yang diberikan Agung Sedayu padanya.

Sedikit jauh dari lembah, satu gelanggang perkelahian yang sangat bising dan sengit masih berlangsung! Satu gelanggang yang benar-benar bergemuruh dengan tekanan udara yang menyesakkan dada! Dua petarung yang juga merupakan orang terkemuka Mataram bertempur dengan kepercayan diri tinggi. Pertarungan meningkat lebih tinggi ketika Agung Sedayu melambari tubuh dengan ilmu kebal. Udara menanjak perlahan lebih panas, sambaran angin terasa lebih cadas! Daun-daun kering mulai berasap meski tidak tersentuh api. Bentakan-bentakan keras Ki Sanden Merti terasa seperti pukulan jarak jauh yang menggetarkan. Meski ujung pukulannya masih berjarak dua jengkal tapi kibas angin  yang mengiringi tenaga cadangannya dapat dirasakan oleh Agung Sedayu. Seandainya tenaga cadangan dan lapisan ilmu kebal dapat dilihat wujudnya secara nyata maka pasti benar-benar berisik karena suara benturan yang tak henti berdentang.

“Benar-benar lawan yang berat,” kata Agung Sedayu dalam hati. Sepanjang waktu perkelahian, Agung Sedayu belum mendapatkan waktu yang tepat untuk melepaskan ilmu yang dapat diungkapkan melalui pandangan mata.

Tidak ada satu pun dari mereka yang menganggap dirinya lebih unggul daripada lawan. Mereka sama-sama mampu mengendalikan diri sehingga setiap pukulan dan tendangan sama sekali tidak dilakukan secara serampangan. Maka, meski Ki Sanden Merti tampak terbuka untuk serangan namun Agung Sedayu tidak gegabah untuk melepaskan bagian puncak ilmunya. Senapati pasukan khusus itu cenderung menggali bagian lain dari kedalaman ilmu yang pernah dibacanya dari kitab Ki Waskita. Walau pun bab ilmu tersebut lebih banyak membahas mengenai ilmu kebal, tapi Agung Sedayu cermat mengamati salah satu bagian khususnya. Setelah diperbincangkan dengan Ki Waskita dan mendapatkan izin, Agung Sedayu pun memperdalam lalu membuat penyesuaian-penyesuaian dengan jalur ilmu Orang Bercambuk dan Ki Sadewa. Itu bukan main-main! Telapak tangan Agung Sedayu dapat menjadi keras seperti batu karang yang dapat merobek pula sehelai kain tipis dalam sekali tebas! Dengan pertimbangan dan perhitungan yang tepat, Agung Sedayu memutuskan akan menjajagi kemampuannya sendiri. Bisa jadi akan ada bahaya tapi ia telah berhasil melampaui perkiraan Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita sendiri ketika lelaku untuk ilmu baru tersebut.

Sepanjang perkelahiannya melawan banyak orang, Agung Sedayu termasuk orang yang jarang mengeluarkan suara sekeras pekik perang. Pembawaan dirinya seolah tidak mengalami perubahan sejak benturan pertama di Sangkal Putung ketika membantu Untara menghadapi pasukan Tohpati. Namun dalam olah kanuragan, Agung Sedayu membuat perkembangan yang jauh melebihi persangkaan banyak orang. Termasuk Ki Sanden Merti yang mulai sering mengerutkan kening ketika musuhnya mengeluarkan tata gerak yang mempunyai banyak kembangan. Dari lompatan ke samping sambil mengayun tumit mengarah bagian atas, Agung Sedayu pun menebaskan lengan sebagai serangan susulan. Yang membuat serangan itu terasa mengerikan adalah munculnya suara mendecit tajam yang menusuk gendang telinga.

Wajah muram tampak membayang Ki Sanden Merti. “Ini ilmu yang tidak pernah dibicarakan orang,” Ki Sanden Merti membatin. Apalagi benturan suara mulai kerap terjadi. Pada gelombang dan tekanan yang sama, suara mendecit yang timbul dari kibas lengan Agung Sedayu ternyata mampu menghambat laju gebrakan bentakan-bentakan Ki Sanden Merti. Akibatnya adalah udara pun menggelepar, memukul-mukul permukaan tanah tanpa dapat dilihat benda yang menjadi pemukulnya! Kepercayaan diri tumenggung pembelot ini mulai goyah. Betapa ia telah berlatih dan membuat persiapan untuk perjumpaannya dengan Agung Sedayu, ternyata senapati pasukan khusus itu justru tidak mengeluarkan cambuk dan ilmu dari pandangannya yang dahsyat. Ini, sungguh, di luar perkiraannya!

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.