Padepokan Witasem
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 122 – Serangan dari dalam Kabut

Mereka telah berada di sekitar Alas Krapyak berhari-hari lamanya, maka penguasaan medan pun menjadi lebih baik daripada kawan-kawan mereka yang gagal di lembah.  Wayah sirep bocah, pasukan Ki Sekar Tawang mulai bergerak. Keadaan hutan yang gelap, gerimis yang mulai mereda serta udara yang diselimuti kabut seperti menjadi dukungan tersendiri untuk orang-orang ini. Dari arah selatan, mereka menyebar kemudian membentuk garis lurus hingga mencapai batas yang telah ditetapkan oleh Ki Sekar Tawang. Gugus tempur pasukan Ki Sekar Tawang ini cukup berhati-hati memilih jalan. Mereka lebih memilih mengitari semak daripada menebasnya. Keinginan kuat untuk mencapai hasil terbaik tercermin dari kesiagaan dan kewaspadaan mereka.

Kesepakatan pikiran antara Agung Sedayu dan Raden Mas Rangsang menjadi sebab peralihan jalur perondaan. Mereka berdua sependapat bahwa apabila para pengiring raja tidak menemukan kejanggalan saat memasuki Alas Krapyak, maka ada kemungkinan mereka telah memasuki perangkap lawan. Dan seandainya ada serangan mendadak, maka para pembangkang akan memutus jalur supaya segala berita tidak dapat keluar dari Alas Krapyak. Pada alam pikiran sebagai senapati dan juga juru siasat yang dipercaya oleh Pangeran Selarong dalam perburuan itu, maka Agung Sedayu mengumpamakan dirinya sebagai bagian dari kelompok pembangkang.

“Kinasih, apakah kau pernah melihat susunan barisan lawan saat di Karang Dawa? Katakan sesuatu yang mungkin aku dapat terbantu,” kata Agung Sedayu.

Kinasih mengerutkan kening. Pertanyaan mendadak yang dilontarkan Agung Sedayu sedikit banyak membuatnya berpikir keras mengingat suasana pertempuran di Karang Dawa. Sejenak kemudian, ia menggeleng. “Saya memasuki Sangkal Putung ketika hari sudah gelap dan sepertinya telah berlaku larangan bagi orang-orang untuk melakukan kegiatan di luar saat itu, Ki Rangga,” jawab Kinasih.

loading...

Meski selalu terdengar ganjil dan dadanya bergetar dengan cara Kinasih menyebut dirinya, Agung Sedayu berkata lagi, “Hmmm, baiklah. Aku akan terangkan wilayah perondaan berikutnya. Katakan bila kau merasa ada kelemahan pada perondaan ini.”

Agung Sedayu lantas memungut beberapa kerikil dan ranting kemudian menyusun berdasarkan rekaannya. Kinasih memerhatikan dengan sungguh-sungguh. Usai senapati pasukan khusus Mataram itu tuntas dengan penjabarannnya, Kinasih bertanya sekitar tiga atau empat persoalan. Agung Sedayu mengulang sedikit lalu tampaklah  titik terang dan kesesuaian di antara mereka.

Dalam perbincangan itu, Agung Sedayu hampir tidak sanggup memandang wajah Kinasih. Di tengah selubung malam, kemilau wajah Kinasih tidak dapat ditutupi sepenuhnya. Angin terasa lebih sejuk saat melintasi permukaan tubuh. Gerimis tetap turun namun dengan jarak lebih longgar. Sejak memasuki Alas Krapyak dan panjang perondaan, pikiran nakal Agung Sedayu membuat perbandingan seandainya ia melakukan itu bersama Sekar Mirah saat berusia muda, apa kira-kira yang dirasakan gadis itu dan yang akan diucapkan? Sementara Kinasih belum pernah sekali pun mengeluh sejak mereka melakukan perjalanan bersama dari Pengging menuju kotaraja. Hingga kemudian Agung Sedayu kesal dengan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang berkecamuk di dalam dadanya. Meski demikian, perjalanan waktu yang banyak ditempuhnya dengan mesu batin dan raga, menjadi kekuatan batin tersendiri bagi Agung Sedayu sehingga ia dapat kembali menyeimbangkan perhatian. “Semoga tidak ada langkah yang keliru,” ucap harap Agung Sedayu dalam hatinya.

Setelah memantapkan rencana dengan caranya sendiri, Agung Sedayu meneruskan perondaan ke bagian selatan hingga perbatasan hutan. Langkah pun terayun menyibak kabut yang memadati setiap jengkal ruang kosong di Alas Krapyak. Sapta Pangrungu pun diterapkan agar tidak ada yang terlewatkan karena ketebalan kabut dapat menghalangi suara yang merambati udara.

Dalam waktu itu, Kinasih menyimpan ketegangan dan juga kecemasan dalam hatinya. Ia tidak cukup baik untuk mengerahkan ilmu atau tenaga cadangan. Tentu saja keadaan itu akan membebani lelaki perkasa yang berjalan berdampingan dengannya. “Sebenarnya ini keadaan yang cukup gawat, oh, bukan cukup tapi memang gawat,” Kinasih membatin. “Meski demikian, aku hanya merasa aman bila dekat dengan Ki Rangga. Jika tidak terluka, aku dengan senang hati akan lebih memilih bersama-sama para pengiring Panembahan Hanykrawati.”

Pemikiran yang masuk akal karena bila terjadi benturan, maka Agung Sedayu lebih mudah melindunginya daripada berada di tengah-tengah prajurit Mataram. Kedudukan Kinasih sebagai murid tunggal Nyi Ageng Banyak Patra dan juga sebagai senapati pendamping adalah dua keadaan yang tidak dapat diabaikan oleh pengawal Mataram. Senapati mereka akan terbelah perhatian karena beban baru yaitu keselamatan Kinasih sendiri.

Saluran Youtube Padepokan Witasem. Nikmati ksiah silat dengan rasa yang berbeda. Ayo klik ini.

Agung Sedayu dan Kinasih berjalan sebelah menyebelah membelah selaput kabut yang benar-benar membatasi pandangan. Penglihatan dengan mata wadag hanya sanggup mencapai jarak sekitar empat atau lima langkah , selebihnya adalah kabut yang tebal. Dalam waktu itu, perjalanan mereka berdua  tampak seperti sudah tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Meski pada mulanya ada rasa enggan, tapi kemudian Agung Sedayu tak segan-segan meraih lengan Kinasih apabila gadis itu kehilangan keseimbangan karena terantuk akar atau terpeleset. Hubungan mereka pun meningkat lebih dekat dan lebih akrab dibandingkan saat masih bersama-sama di Kepatihan.

Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Ia segera duduk di atas salah satu tumitnya sambil memberi tanda agar Kinasih mengikuti gerakannya. Mereka tidak membuat gerakan untuk beberapa lama. Kinasih pun tak bertanya pada senapati pilih tanding karena jika Ki Rangga Agung Sedayu bersiaga berarti ada sesuatu yang tidak diketahuinya.

Pohon, tanah dan semak-semak seakan turut membeku di dalam kabut. Bahkan waktu pun seolah ikut berhenti. Namun pendengaran Kinasih kemudian menangkap suara orang bercakap-cakap. “Inikah sebab Ki Rangga tiba-tiba berhenti bergerak?” tanya Kinasih pada dirinya sendiri. Mungkinkah suara orang-orang itu menjadi akhir dari perondaan mereka? Kinasih membebani pikirannya dengan pertanyaan tersebut. Dan, perkiraan Kinasih benar adanya. Urat saraf Kinasih menegang. Aliran darah Kinasih menjadi lebih deras mengalir di dalam tubuhnya. Ia tidak khawatir mengenai keadaan dirinya tapi juga tidak tahu yang harus dilakukan bila terjadi pertempuran. Mengandalkan lelaki yang berada di sampingnya itu sudah pasti, tapi apakah seperti itu selama ia dilarang mengerahkan kemampuan? Kinasih berada di pertengahan antara cemas dan bahagia. Ia pantas cemas karena mengkhawatirkan keadaan mereka berdua, bagaimana Agung Sedayu dapat bertempur dengan sangat baik bila terbebani olehnya? Tapi dari dalam hati gadis ini pun muncul sebongkah harapan yang menjanjikan kebahagiaan ; senapati Mataram itu pasti mempunyai jalan keluar, baik dengan cara berkelahi yang mungkin dapat memberinya pengalaman atau sesuatu yang tidak terduga olehnya. Siapa tahu?

Agung Sedayu cepat mengamati lingkungan. Agung Sedayu yang mengetrapkan Sapta Pangrungu pada tingkat puncak memang mendengar getar halus yang berasal dari jejak kaki lebih dari tiga orang. Lalu lintas di dalam benak murid utama Kiai Gringsing ini pun melesat sangat cepat. Sekalipun ia sudah melihat bayangan hitam di balik kabut dan semak-semak, tapi itu belum cukup membuatnya bergerak. “Mereka tidak akan melewati jalur ini,” ucap Agung Sedayu dalam hati.

Mereka harus menunggu beberapa saat tanpa pergerakan. Mereka masih berkedudukan lebih rendah dari pinggang orang dewasa melindungi diri dari pandangan orang-orang yang bermata tajam. Seketika di atas mereka, langit seakan terbelah ketika kilat memamerkan kekuatannya. Sekilas tampak keadaan sekitar mereka. Jalan setapak yang menjulur panjang di bawah kaki mereka, batang-batang pohon yang mendadak berkilau karena air yang memantulkan cahaya kilat dan gerakan orang-orang yang melangkah di samping mereka. Jarak mereka cukup dekat namun masih belum terdengar jelas persoalan yang dipercakapkan oleh sekumpulan orang tersebut.

Tak lama kemudian, Agung Sedayu mendengar lagi langkah-langkah kaki beberapa orang. Kali ini mereka berada di sisi yang berseberangan sehingga mengesankan Agung Sedayu dan Kinasih berada di tengah dua jalur yang dilalui dua kelompok orang. Lalu berturut-turut gendang telinga Agung Sedayu menangkap gemerisik suara kaki yang menginjak tanah basah. Sejenak kemudian senapati Mataram ini menyimpulkan ada beberapa kelompok sedang melintas di dekat mereka menuju perkemahan Panembahan Hanykrawati!

Lalu, tiba-tiba, Agung Sedayu mendadak berdiri. Diraihnya tangan Kinasih lalu mereka berjalan searah dengan orang-orang yang juga berjalan berkelompok menuju tempat Panembahan Hanykrawati. Sudah barang tentu gerakan Agung Sedayu dan Kinasih diketahui oleh dua kelompok yang mengapit mereka.

Pemimpin kelompok yang berada di belakang Agung Sedayu dan Kinasih pun berseru garang, “Hey, siapa kalian?” Pandangannya tak cukup dapat mengenali dua orang yang berada di jalur yang agak serong dari jalurnya. Orang ini hanya mendengar kecipak genangan air yang tersaruk langkah kaki Agung Sedayu yang dengan sengaja membuat bunyi-bunyian ketika melangkah.

Mendengar ada orang yang bersuara dan itu ditujukan padanya, Agung Sedayu memotong arah sehingga keluar dari jalurnya. Dengan cara itu, Agung Sedayu pun dapat mendahului pemimpin kelompok yang menegurnya. Kinasih tetap mengikuti pergerakan Agung Sedayu tanpa bertanya atau rasa heran yang mengikuti. Ia percaya penuh pada setiap keputusan dan ucapan senapati Mataram itu walau tetap merasa sedikit waswas karena keterbatasannya.

“Hey, berhenti!” perintah orang itu dengan garang. Kemudian terdengar langkah kaki yang diayun lebih cepat dan kuat. Agaknya ia berlari-lari kecil disertai tiga orang di belakangnya. “Berhenti!” Ia membentak keras ketika sudah berada lebih dekat dan tepat di belakang Agung Sedayu dan Kinasih.

Agung Sedayu pun menghentikan langkah lalu memutar tubuh, demikian pula Kinasih. Sadar bahwa Kinasih dalam keadaan sangat terbatas, Agung Sedayu menarik murid Nyi Banyak Patra agar lebih mendekat padanya. “Maaf, Ki Sanak. Aku tidak dapat mendengar dengan baik suara kalian,” kata Agung Sedayu sambil membungkuk berulang-ulang. “Dan lagi, saat ini sangat menakutkan karena suara tadi bisa saja suara jadi-jadian. Sekali lagi, aku minta maaf.”

Sebenarnya Kinasih ingin tertawa, namun ia harus menahan rasa geli itu di dalam hati saat melihat sikap Agung Sedayu yang berbuat seakan-akan mereka adalah orang yang sangat lemah. Gadis ini kemudian beringsut setapak di belakang Agung Sedayu seperti menunjukkan sikap berlindung.

“Kalian ini….,” lanjut ketua kelompok itu berkata, “… di tengah hutan ini…. Apa yang kalian lakukan?”

“Tidak ada, Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu dengan terbata-bata. “Kami ingin memotong jalur dengan melintasi hutan ini agar lebih cepat sampai di dusun kecil tempat kerabat kami yang akan melahirkan.”

“Mana mungkin? Tidak ada dusun meski kalian seharian terus berjalan ke utara,” kata ketua kelompok itu lalu menghampiri Agung Sedayu. “Angkat wajahmu, aku ingin melihat seperti apa laki-laki yang berani memasuki hutan saat gelap dan penuh kabut ini. Apalagi dengan seorang penakut yang meringkuk di belakangmu.” Orang ini mengira Kinasih adalah seorang lelaki karena pakaian yang ringkas. Saat wajah Agung Sedayu sudah berada dalam jangkauannya, orang itu mengulurkan tangan.

Agung Sedayu mengelak, lalu mundur selangkah.

“Kau ini…!” Laki-laki itu mengangkat tangan, mengayun kuat-kuat hendak memukul kepala senapati Mataram yang sedang menyembunyikan jati dirinya.

Agung Sedayu menghindar lalu sigap membalas serangan kecil itu! Agak pelan kemudian ia berbisik pada Kinasih, “Sesuaikan.’

Seketika pecah teriakan-teriakan perang dari mulut tiga pengikut orang itu. Mereka menghamburkan diri, menerjang dua orang asing yang dianggap layak mendapat pukulan. Empat orang itu segera berpencaran lalu mengurung Agung Sedayu dan Kinasih. Mereka sepertinya tidak ingin berlama-lama dalam pertempuran itu, maka benda-benda tajam pun segera tergenggam erat pada tangan masing-masing.

Sementara itu, Kinasih sadar bahwa dirinya terancam bahaya meski Agung Sedayu berada di sampingnya. Berapa jumlah kelompok yang berada di dekat mereka? Berapa orangkah? Gadis ini dilanda kebingungan karena tidak terbiasa menggantungkan diri atau harapan pada orang lain. Selain itu, ia masih berpikir dari maksud kata Agung Sedayu. Sesuaikan, apa yang harus disesuaikan olehnya?

Agung Sedayu sepintas melihat raut wajah Kinasih yang kebingungan dari jarak dekat. Setelah membuat pengamatan singkat, Agung Sedayu meraih tangan Kinasih lalu menggenggamnya erat. Sebelah tangan lain telah meloloskan cambuk dari pinggang. Tanpa menunggu cambuknya terjuntai, Agung Sedayu segera menarik Kinasih ke dalam kancah perkelahian. Cambuk senapati  Mataram itu mulai bergulung-gulung, melindungi sekaligus menyambar lawan yang berada di dekat Kinasih. “Ikuti gerakanku,” perintah Agung Sedayu.

Kinasih mengangguk tapi tidak bertanya lebih lanjut. Tanpa melepaskan pegangan tangan, ia pun   mengikuti arah pergerakan Agung Sedayu dengan luwes dan lincah. Beberapa gerakan berlalu dengan pengamatan seksama, Kinasih pun paham dasar tata gerak Agung Sedayu. Maka ia cepat menyesuaikan diri pada saaat senapati Mataram itu mulai menampakkan unsur-unsur dasar serangan balasan. Demikianlah kemudian yang terlihat adalah perpaduan gerak yang indah seperti dua burung yang saling menyentuhkan sayap saat terbang! Berkat ketajaman nalar dan kecermatannya, Kinasih tidak lagi menjadi beban bahkan ia mampu menjadi senjata rahasia Agung Sedayu. Tiba-tiba ia menumpuk berat badan pada lengan Agung Sedayu sebelum melancarkan serangan balik yang menyulitkan lawan. Sehingga Agung Sedayu mendapatkan kelonggaran memainkan cambuk. Senjata utama perguruan Orang Bercambuk pun segera meledak-ledak di udara dengan suara yang seakan-akan sanggup memecah dinding pendengaran. Gelegar ledakan cambuk kuat menerobos sekat kabut yang tebal, mencapai pendengaran orang-orang yang berjarak hingga belasan tombak!

Perhatian pasukan Raden Atmandaru yang mendengar segera terpecah. Antara membantu kawan atau tetap menjalankan tugas menghabisi Panembahan Hanykrawati.

Ki Sekar Tawang memandang ke atas dengan satu pikiran ; sesuatu yang tidak terduga telah terjadi meski demikian jalan lain telah disiapkan olehnya. Maka ia mengirim seorang penghubung – yang kemudian berangkat bersama Ki Ajar Mawanti – agar menemui Mangesthi atau Ki Banyuasri agar tetap meneruskan rencana. Sementara ia akan memimpin pasukannya menghajar orang yang bermain cambuk pada malam itu.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.