Swandaru berpikir bahwa tidak perlu lagi berupaya mencari alasan atau menarik garis-garis sebab. Mengatakan bahwa ia dalam pengaruh ramuan? Itu akan menjadi alasan yang sangat bodoh. Apakah Pandan Wangi akan percaya? Pergaulannya yang buruk dengan perempuan lain menjadi tabir yang membuatnya sulit dipercaya.
Seolah dapat mengetahui jalan pikiran Swandaru, Pandan Wangi kemudian berkata, “Mungkin Kakang dapat saja mengatakan bahwa Kakang berada di bawah tekanan seseorang hingga mau melakukan itu semua. Barangkali juga, Kakang mempunyai alasan dengan menyatakan bahwa Kakang terpengaruh oleh ramuan-ramuan yang dibuat oleh tabib mereka. Dua hal itu, dua alasan itu dapat menjadi pembelaan yang membenarkan perbuatan Kakang. Tetapi, aku adalah pemimpin, aku adalah putri Ki Gede Menoreh yang akan mencari bukti bila Kakang mengajukan dua alasan itu, saat ini.” Suara Pandan Wangi bergetar. Menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Swandaru membuang pandangan, menghindari sorot mata tajam Pandan Wangi.
“Pernahkah Kakang membayangkan jika aku yang berbagi tubuh dan hati dengan lelaki lain? Bagaimana bila itu benar-benar terjadi? Dapatkah keluarga ini selamat? Tentu Kakang masih berpikir bahwa aku adalah perempuan yang setia. Pemikiran serta penilaian yang berangkat dari pertemuan sehari-hari akan melahirkan pendapat yang berbeda. Kebiasaan dan kegemaran Kakang sebenarnya dapat juga aku lakukan. Aku akan menarik seorang lelaki, mendekap wajahnya di antara buah dada, lalu membiarkannya berkeliaran di sana. Tetapi, apakah hubungan seperti itu yang menjadi landasan sebuah keluarga? Menjalani hidup tanpa paugeran dan mengabaikan susila? Bagaimana menurut Kakang?”
Wajah Swandaru memerah. Ia tidak mengira bahwa Pandan Wangi begitu berani mengambil peran seorang pengadil.
“Aku tidak ingin bermanis kata dengan mengatakan bahwa aku adalah istri yang setia dan tidak banyak menuntut hak pada suaminya. Aku tahu bahwa itu sia-sia. Sebaliknya, Kakang perlu tahu bahwa pintu rumah di Tanah Perdikan dapat tertutup setiap saat. Keadaan yang sama dapat berlaku di sini bila aku yang melakukan penyimpangan, Kakang dapat mengusirku setiap waktu.” Pandan Wangi menghentikan ucapannya. Ia merasa butuh udara segar lebih banyak untuk mengendapkan gejolak yang menggaungkan suara-suara sumbang di dalam relung jiwanya.
Untuk beberapa lama, keheningan merangkul seisi ruangan.
“Aku dapat saja meminta Ki Demang untuk mengantarku pulang. Aku dapat mengutus seseorang agar Ki Gede segera menjemputku di sini. Aku dapat lakukan semuanya. Dan aku tidak perlu pertimbangan dari Kakang untuk melakukan semuanya,” tegas Pandan Wangi. Ia mengangkat tangan ketika melihat gelagat Swandaru hendak bersuara.
Tiba-tiba, Pandan Wangi merasakan sesuatu yang lain datang menyapa. Suasana yang nyaris sama dengan sebelumnya. Panggraita Pandan Wangi kembali bekerja. Cahaya di dalam ruangan belum begitu temaram meski minyak pembakar mulai berkurang.
Swandaru memandang wajah Pandan Wangi, lalu mendapati bahwa sinar mata istrinya tampak mengerikan karena pantulan cahaya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? batinnya.
“Untuk sementara waktu, aku adalah seorang istri yang tidak dapat membuat keputusan sendiri mengenai segalayang berhubungan dengan keluarga ini. Namun, aku juga tidak ingin ada orang lain yang mengetahui keadaan sesungguhnya di dalam keluarga ini. Tidak Ki Demang sekalian istri, tidak pula Ki Rangga beserta istri. Aku dapat meminta nasehat atau pendapat beliau sekalian, tetapi, bukankah itu sama artinya dengan membenamkan nama baik Kakang? Sedangkan aku juga terikat tanggung jawab untuk menjaga kehormatan Kakang,” kata Pandan Wangi kemudian. Dalam waktu itu, ia merasakan waktunya semakin sempit.
“Sekarang, aku telah membuat keputusan sebagai seorang panglima. Aku berada di dalam wilayah tanggung jawab yang lain ; mengendalikan keseimbangan Sangkal Putung. Di dalam keputusanku, Kakang sebaiknya tidak mencoba untuk melepaskan diri atau membuka jalan untuk sebuah kebebasan,” ucap Pandan Wangi lalu beranjak bangkit dari tempatnya duduk.
“Wangi, apa maksudmu?”
Pandan Wangi menatap dingin, kemudian berjalan mendekati pintu lalu memanggil seorang penjaga regol.
“Engkau antarkan Ki Swandaru ke gandok kanan. Layani dan penuhi segala yang dibutuhkannya,” perintah Pandan Wangi.
“Baik, Nyi.”
Seketika itu, Swandaru berkata, “Wangi, apa yang kau lakukan ini?”
“Aku adalah panglima tinggi. Sebaiknya Kakang dapat menahan diri,” sahut Pandan Wangi kemudian berlalu, melewati pintu lalu bersandar pada tiang penyanggah beranda. “Apakah aku telah kehilangan akal sehat dengan mengurung suami dalam sebuah ruangan?” kata Pandan Wangi diam-diam dalam hatinya. Namun, ia memang merasa harus melakukan itu agar Gondan Wates yang mulai teguh tidak dapat terguncang oleh kehadiran Swandaru. Perhitungannya, apabila Swandaru bergerak bebas di dalam pedukuhan – selain membahayakan keselamatannya sendiri – pengawal akan melihat mereka sebagai matahari kembar dan itu menyulitkan.
Keadaan Swandaru benar-benar mengenaskan. Ia harus menjalani kurungan badan di gandok kanan dan buruknya, hukuman itu dijatuhkan oleh istrinya sendiri. Tidak ada pembela dan penuntut dalam pertemuan itu, tetapi Swandaru dapat memaklumi alasan Pandan Wangi. “Bersalah dan menyesal sudah barang tentu akan datang kemudian,” desis Swandaru sambil menertawakan dirinya sendiri. Ia duduk di tepi pembaringan dengan pandangan nanar menatap dinding berkeliling yang terasa seperti menertawakannya. Ia sudah terlanjur menempuh jalan yang salah dan membuat jurang kehinaan bagi dirinya sendiri. Oh, tidak, Swandaru sempat berpikir bahwa ia juga sudah melampiaskan kebiadaban yang keji pada anaknya. Ya, anaknya. Pertanyaan muncul dalam benaknya, bagaimana jika anaknya yang melakukan itu pada perempuan lain?
Di dalam gandok, Swandaru melapangkan perasaannya agar menerima keputusan Pandan Wangi. Pandan Wangi melakukan hal yang benar, pikirnya, mengendalikan keseimbangan dengan menempatkanku di ruang ini. Ia tidak perlu merasa malu karena itu terlambat. Menghapus rasa malu hanya dapat dilakukan melalui dua hal : berbuat baik dan kebijaksanaan, demikian pesan Kiai Gringsing di masa lalu. Walau bukan sepenuhnya menghapus tetapi apa lagi yang dapat diperbuatnya? Kembali dalam barisan Raden Atmandaru sudah pasti akan lebih menghancurkannya.
“Aku tidak pernah takut mati, tetapi peristiwa ini akan mengendap dalam ingatan orang-orang dalam masa yang panjang. Aku hanya takut pada pendapat orang-orang tentang lelaki yang menjalani hukuman dari istrinya sebagai upaya menebus kesalahan. Mungkin mereka berpikir bahwa Swandaru telah hilang kehormatan karena dirampas istrinya. Mungkin mereka menilaiku sebagai lelaki yang lemah dan berada di bawah kendali istri,” gumam Swandari dalam hati. “Aku dapat keluar dari sini. Pintu tidak terkunci. Dinding begitu rapuh menahan cambuk. Namun, bagaimana selanjutnya? Orang-orang akan mengira bahwa Swandaru adalah pembangkang, dan pembangkang seharusnya dilumpuhkan. Orang-orang akan berkata bahwa Swandaru tidak pernah belajar dari kesalahan, dan itu lebih buruk dari seekor binatang. Di sinilah aku sekarang, aku yang tidak mendengarkan suara hati. Di sinilah aku sekarang, aku yang dikalahkan oleh sebuah permainan yang berpusar di sekitar pusat kekuasaan. Di tempat ini, aku harus lahir sebagai seorang Swandaru yang baru.”
Di luar gandok, Pandan Wangi menetapkan hati bahwa yang dilakukannya adalah kebenaran. Pandan Wangi tidak berpikir mengenai alasan-alasan yang dapat menjadi pembenaran keputusannya. Ini bukan tentang Swandaru semata, tetapi kehidupan lebih banyak orang. Dan setiap orang juga mempunyai peran penting dalam perjalanan masing-masing. Swandaru tidak lebih penting dari penjaga regol. Petani tidak lebih penting dari pedagang, demikian juga sebaliknya dan seterusnya.
Suara kentongan terdengar bertalu-talu sebagai penanda bahwa waktu telah bergeser lebih dalam.
Ekor mata Pandan Wangi menangkap pergerakan dua orang yang mengendap-endap di balik rimbun tanaman yang menjadi batas pekarangan. Sejenak ia mengambil gulungan yang tersimpan di balik kainnya, melihatnya sepintas dan ia tahu asal benda tersebut. Gulungan yang berisi beberapa gambar yang dapat dipahaminya dan sedikit tulisan yang memberinya petunjuk dalam menghadapi Ki Garu Wesi. “Kakang, aku tidak tahu di mana keberadaan Kakang sekarang. Kain ini…,” desis Pandan Wangi berhenti dalam hati. Setidaknya, ada kelegaan bahwa ia tidak sendiri menghadapi tekanan yang luar biasa berat.
“Ternyata orang asing yang datang diam-diam itu adalah seorang perempuan,” ucap Pandan Wangi lirih dalam benaknya. Ia terkenang dengan kecepatan gerak dan kemampuan perempuan asing – yang namanya disebutkan Agung Sedayu di atas lembaran kain itu – dalam menyerap bunyi-bunyian. Bila Kinasih masih berusia muda, tentu gurunya adalah orang yang sangat hebat, puji Pandan Wangi. Tetapi, mengapa harus datang dengan cara mengendap? Bukankah akan lebih baik bertemu dalam keadaan terang benderang? Meski demikian, Pandan Wangi segera meletakkan pertanyaan itu di bagian lain ruang pikirannya. Tidak lagi penting karena ancaman masih menghembuskan napas haus darah, pikirnya.
Pandan Wangi kembali tegak dalam sikap sedang menunggu perkembangan. Perkembangan yang mungkin segera terjadi sebagai kelanjutan pergerakan dua orang yang sepertinya berhenti melangkah.
“Mengapa kita berhenti?”
“Kedatangan kita telah diketahui olehnya,” jawab salah seorang pengintai pada kawannya.
“Bagaimana engkau tahu?”
Yang ditanya hanya memberi isyarat agar temannya tidak lagi banyak mengumbar kata.
Pandan Wangi dan dua orang asing itu sama-sama merasakan ketegangan yang menanjak menuju puncak. Mereka sama-sama menunggu, kecuali tiga penjaga regol yang masih sibuk berincang lirih mengenai Swandaru yang terkurung di dalam gandok.
6 comments
Tambah seru dan menegangkan…
Ki, Haturnuwun Ki, semoga selalu sehat sareng keluarga aamiin
Salan Klik!!
matur nuwun, ki..
Jazakallahu Khoiron Ki… Mugi selalu diparingi sehat wal afiat sekeluarga… Dimudahkan semua urusan nya… Aamiin
matur nuwun pandunganipun, Ki.. amin.. mugi2 ijabah..
RAPAT AGUNG SEDAYU KALI INI SERIUS SEKALI SAMPAI BELUM SELESAI SAMPAI KINI
KITA TUNGGU DG SABAR
hahaha.. terima kasih, Ki.. semoga KKG segera berlanjut meski tersendat-sendat..