Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 10

”Kakang Jalutama, bukankah senjata kalian telah dilucuti?” tanya Bondan bersungguh-sungguh.

”Benar,” desah Jalutama sambil beringsut maju.

”Baiklah, begini rencana selanjutnya. Kakang tidak perlu mengatakan sedikit pun rencana ini pada pengawal Menoreh. Tempatkan satu atau dua pengawal secara khusus mengawasi senjata kalian,” Bondan membeberkan gagasannya. Lalu ia melanjutkan, ”Sementara itu, saya dan Paman Hanggapati akan berada di sekitar tempat ini. Paman Swandanu akan mengambil tempat di sebelah pedati paling belakang.”

”Ki Swandanu juga ada di sini?” tanya Jalutama menoleh Ki Hanggapati yang menjawab dengan anggukan kepala. ”Baiklah, aku ikuti gagasan itu,” ia berkata kemudian.

loading...

”Tetapi tetaplah diam dan tenang hingga kalian mendapat tanda dari kami,” kata Bondan.

”Tanda apa yang akan kau berikan?”

Bondan menoleh Ki Hanggapati, lalu orang tua dari Pajang menjawab, ”Suara burung perkutut tiga kali berturut-turut.”

”Hmm, baiklah. Kita tinggalkan tempat ini, marilah. Biarkan aku yang bayar semuanya,” kata Jalutama ramah. Setelah Jalutama membayar semua pesanan termasuk yang dipesan orang yang menjaganya, ia kembali ke banjar sementara Bondan dan Ki Hanggapati menunggang kuda meninggalkan pedukuhan.

Bersamaan dengan pertemuan di kedai, Ken Banawa dan Ki Swandanu berada di pintu utara pasar pedukuhan. Keduanya berada di sebelah penjual tikar pandan dan kerajinan dari bambu. Sebelah utara pasar adalah sebuah hutan kecil yang mempunyai tiga jalan setapak yang menghubungkannya dengan pedukuhan. Matahari belum sampai menyentuh puncak pohon ketika mereka melihat satu demi satu orang berjalan beriringan menyusur salah satu dari tiga jalan setapak. Lalu dari arah pedukuhan juga keluar sekelompok yang berjalan beriringan meninggalkan pedukuhan.

”Rencana yang rapi, Ki Swandanu,” gumam Ken Banawa yang masih lekat mengawasi hilir mudik orang di jalan setapak.

”Bagaimana maksud Anda, Ki Rangga?” tanya Ki Swandanu yang tidak pernah mendalami ilmu keprajuritan.

”Mereka bertukar orang, dengan demikian pedukuhan tidak terlihat sunyi. Orang-orang yang tidak dapat memegang senjata keluar dari pedukuhan.” Ken Banawa menunjuk pada beberapa perempuan dan orang lanjut usia. Ki Swandanu menganggukkan kepala. Kegiatan seperti itu semakin meningkat sedangkan keadaan di dalam pasar semakin larut dalam sepi. Agaknya para pedagang juga ikut berkemas meninggalkan pasar ketika beberapa perangkat pedukuhan memukul kentongan kecil.

 

Di sebuah tempat yang berjarak puluhan tombak dari pedukuhan.

Hari perlahan-lahan mengubah dirinya agar pantas disebut siang ketika bayangan pohon menjadi lebih pendek. Sejumlah kegiatan masih tampak berlangsung tanpa rasa lelah di Padepokan Sanca Dawala. Beberapa orang berpakaian hitam dengan sabuk berbahan kulit ular tampak sibuk menyiapkan kuda. Senjata dan anak panah tergantung pada lambung kuda. Tiga orang lelaki setengah baya menunggang kuda memasuki halaman padepokan. Agaknya yang menjadi pemimpin mereka adalah seorang yang memakai ikat kepala bersulam benang warna keemasan. Menilik cara berpakaian agaknya mereka bukan orang-orang padepokan yang berpakaian ringkas dan sederhana. Hiasan emas berukir tombak bersilang menempel anggun pada sabuk yang mereka kenakan.

Mereka bertiga memasuki bangunan paling besar yang berada di depan. Tidak ada seorang pun dari padepokan yang menghentikan ketiganya. Rasa-rasanya tiga orang tersebut telah dikenal dengan baik  oleh orang-orang padepokan. Tiga orang tersebut melangkah tegap memasuki sebuah ruangan yang besar. Setelah melewati pintu, kemudian tampak seorang yang berusia lebih muda duduk di ujung tikar pandan yang dilapisi kain berwarna hitam. Pada bagian tengah kain itu tergambar sebuah pemandangan gunung dengan seekor ular yang melayang di atas gunung.

Tiga orang yang baru masuk itu segera membungkuk hormat pada lelaki yang berada di ujung tikar. Agaknya lelaki itu termasuk orang yang disegani di padepokan. Sikap hormat dan segan yang ditunjukkan orang-orang sekitarnya telah cukup memberikan tanda tentang kedudukan lelaki muda itu.

“Untung saja Ki Bekel tidak terlambat datang,” bisik orang yang duduk disebelahnya. Ternyata yang menjadi pemimpin dari tiga orang adalah seorang bekel pedukuhan. Ki Bekel dengan wajah pucat menganggukkan kepala pada orang itu.

Lalu lelaki yang di ujung tikar mengangkat tangannya kemudian berbicara sepatah dua patah. “Beberapa pekan lalu seorang kawanku yang sering berdagang di Pajang memberti tahu tentang satu kabar. Dan mungkin ini adalah berita gembira bagi kita semua,” kata lelaki itu dengan tenang dan wibawanya yang besar memancar darinya. Lantas ia melanjutkan, “Kemudian aku meminta kesediaan Ki Kalong Pitu dan Ki Gancar Sengon mencari tahu kebenaran berita itu.” Lelaki – yang mungkin berusia setengah baya lebih sedikit-  itu diam sesaat sambil memandang berkeliling. Satu demi satu ia menatap wajah orang-orang yang hadir di ruangan itu. Beberapa orang terlihat seperti menahan napas, sebagian duduk merenung. Ruangan dalam sekejap telah menjadi sunyi hingga jarum yang jatuh pun akan terdengar. Ketegangan merebak menanti keterangan selanjutnya dari orang yang memimpin pertemuan dalam ruangan. Namun tidak seorang pun yang bersuara karena mereka tahu bahwa lelaki itu dapat berbuat kejam jika merasa terganggu pembicaraanya.

“Lantas mereka berdua mencari bukti kebenaran hingga Sima Menoreh.” Ia berhenti bicara ketika banyak berseru kaget. Lelaki itu mengangkat tangannya, lalu melanjutkan, “Sesampainya di tanah itu, mereka mendapati kenyataan bahwa para pande besi Tanah Perdikan dilarang oleh Ki Buyut untuk menerima pekerjaan untuk beberapa lama.”

Kembali orang-orang terkejut dan berseru karena tegang.

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 9

kibanjarasman

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 7

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 5

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.