Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 34

Meski pertanyaan itu hanya menggema di dalam ruang hatinya, Swandaru sadar bahwa mengingat Agung Sedayu di dalam keadaan genting dapat membuatnya beralih pada dunia yang berbeda. Api mulai menyala lalu menerangi segenap ruangan yang di dalam dirinya. Swandaru melihat Sangkal Putung sedang membara karena keputusannya yang salah! “Ini keadaan yang berbeda jika dibandingkan dengan perkenalanku dengan Ki Ambara,” ucap  Swandaru di tengah gemuruh yang membadai dalam hatinya. Sepintas terlihat sama, tetapi ia sempat meremehkan kemampuan Agung Sedayu pada masa itu. Namun kenyataan yang dihadapinya sekarang adalah Agung Sedayu tidak meninggalkan kabar atau pesan padanya. Dulu, jika mau, Agung Sedayu dapat membunuhnya. Sekarang, Agung Sedayu seolah berada di balik dinding-dinding kayu yang tertutup kain berwarna gelap. Swandaru bertanya pada dirinya, “Tanpamu, Kakang, apa yang dapat aku lakukan. Apa yang akan Kakang lakukan dalam keadaan seperti ini?”

Pertanyaan yang datang dengan cara yang senyap serasa menguatkan kesadaran Swandaru. Ia merasa beruntung karena mendapat kesempatan untuk lmelepaskan diri sebagai tahanan rumah. Kemudian, ia memaksa diri agar dapat menghargai keputusan Pandan Wangi selaku pemimpin keamanan Gondang Wates. Seandainya Pandan Wangi tidak bersikap keras padanya, mungkin Swandaru akan selamanya menjadi lelaki piaraan janda bermata nyalang. Atau mungkin ia akan berkelana dengan sematan terburuk sepanjang masa. Lelaki minggat atau orang terusir!

Seorang pengawal pedukuhan melihat Swandaru sedang termangu-mangu, lalu menghampirinya kemudian berkata, “Ki Swandaru, kami sedang menunggu perintah Anda.”

Suara pengawal itu memulangkan Swandaru dari tanah lamunan. Ia terpesona oleh ketergantungan seperti sepasang mata yang melihat nyala api di dalam kegelapan hutan. “Bukan, kalian bukan sedang menunggu perintah,” sahut Swandaru setelah menghela napas.

loading...

Para pengawal memandangnya heran.

Dengan bahasa tubuh yang seolah tidak mengacuhkan kehadiran para pendampingnya, Swandaru berkata, “Sebagian Sangkal Putung telah hangus. Bila kita tidak dapat mengusir lawan dari Gondang Wates, itu berarti kademangan sedang terjerumus ke dalam jurang lalu menghancurkan kita menjadi remah-remah kering. Aku dan kalian adalah api yang tersisa. Abaikan mereka yang sedang bertempur di Karang Dawa.” Swandaru tidak melanjutkan kata-kata. Ia merenung, berusaha menggapai alam pemikiran Agung Sedayu jika sedang mengawasi perbatasan dengan sedikit jumlah pengawal.

Seorang pengawal memandang Swandaru agak lama. Tiba-tiba ia tersenyum, kemudian mengepalkan tangan. Bisiknya pada orang yang berdiri di samping, “Ki Swandaru telah kembali pada jati dirinya. Aku yakin itu.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Lihat sikap tangannya, perhatikan baik-baik nada bicaranya,” jawab pengawal pertama.

Swandaru sedang menepis semua prasangka buruk yang akan menimpa Sangkal Putung. Ia mencurahkan perhatian pada usahanya untuk mengawasi perbatasan. Ini bukan tugas yang ringan, pikirnya. Murid kedua Kiai Gringsing itu lantas memandang tajam secara bergantian pada pengawal di sekitarnya. Perintahnya kemudian, “Kita tinggalkan tempat ini. Kita berlari menyusuri jalan atau pekarangan yang tidak terlihat dari luar.” Swandaru menatap wajah para pengawal, lalu berkata lagi, “Kita tidak mungkin kembali ke garis belakang barisan Pangeran Purbaya. Maka, aku akan membagi kalian menjadi tiga kelompok. Dua kelompok harus berlari melingkari sisi utara dan selatan, lalu bertukar tempat dengan cara menyilang. Kelompok ketiga bertugas membelah padukuhan lalu kembali ke tempat ini melalui jalur yang berbeda. Kalian mengerti?”

Tanpa menunggu jawaban dari pengawal pedukuhan, Swandaru berjongkok, membuat garis-garis agar dapat menjelaskan pada mereka secara lebih mudah.

“Kami mengerti,” kata para pengawal hampir serentak.

Seketika Swandaru memerintahkan mereka agar lekas bergerak. Keputusan Pangeran Purbaya dengan menugaskan Swandaru memimpin perondaan selama pertempuran berlangsung menjadi bukti ketajaman nalarnya. Dalam waktu itu, Swandaru mengambil bagian dengan memimpin kelompok yang bertugas menyisir bagian selatan. Ketika perjalanannya baru mencapai kurang dari seperempat jarak tempuh, pendengaran Swandaru dapat menangkap siulan yang lamat-lamat terdengar dan berasal dari hutan kecil di seberang pedukuhan.

“Berhenti!” perintah Swandaru, lalu memberi tanda agar mereka meringkuk di balik rerimbun tanaman liar. “Kalian dengar siulan itu?”

Dua pengiringnya menggeleng.

Swandaru memandang jauh ke depan, pada jalan yang memanjang. Persimpangan.

“Pergilah ke persimpangan, kalian berdua. Tutup jalan utama tanpa membuat keributan dengan orang-orang yang mungkin akan melaluinya.”

Sejenak dua pengawal di samping Swandaru beradu pandang dengan sinar mata yang lain.

“Tidak akan ada sesuatu yang mengerikan yang akan menimpa kalian. Kalian dapat mengalihkan jalur dengan tanda-tanda yang mudah dimengerti orang. Aku kira beberapa orang sedang berkeliaran dalam kelompok-kelompok kecil. Mungkin mereka akan memanfaatkan keadaan yang lengang untuk penjarahan. Karena alasan itulah, aku minta kalian bersegera. Bakarlah gardu kecil yang terletak di sudut jalan. Itu akan menjadi pertanda bagi pengawal yang lain. Namun, perhatikan, kalian harus tetap berada di tempat meski mendengar perkelahian atau melihat kegaduhan yang berjarak dekat.”

“Kami mengerti,” sahut seorang pengawal kemudian bertanya, “bagaimana jika Pangeran Purbaya atau Nyi Pandan Wangi mengkhawatirkan akibat kebakaran itu?”

“Lakukan saja. Pangeran Purbaya memberiku kebebasan bergerak di dalam pedukuhan.”

Mereka berpisah. Swandaru mengambil jalan memutar, mengendap dengan kecepatan gerak yang luar biasa untuk ukuran tubuh yang memunyai bobot cukup berat. Bunyi siulan semakin pelan terdengar menurut pendengaran tajam Swandaru. Hampir bersamaan dengan menurunnya gaung siulan, terdengar suara orang bercakap-cakap.

“Apakah Ki Sor Dondong akan keberatan jika kita membuka gerbang pedukuhan ini tanpa sepengetahuan beliau?” bertanya seorang lelaki berkain putih pada orang yang berjalan mengendap di sampingnya.

Yang ditanya menjawabnya dengan gelengan kepala, lalu suaranya terdengar menyusul sedikit berbisik, “Tidak, aku kira. Yang kita lakukan justru akan meringankan beban Ki Sor Dondong. Selain itu, kita dapat memilih benda-benda terbaik lebih cepat dari kawan-kawan kita yang lain.”

“Termasuk perempuan?”

“Hanya satu perempuan yang sedap dipandang di pedukuhan ini.”

“Dan yang terburuk adalah perempuan itu sedang berada di tengah-tengah pertempuran,” sahut lelaki bertubuh gempal yang berada di belakang dua rekannya. Mereka tertawa kecil.

Orang pertama berkata kemudian, “Kita tidak mungkin dapat membawa serta istri Agung Sedayu. Aku dengar dari petugas sandi, Ki Gede Menoreh dan para cantrik Perguruan Orang Bercambuk telah berada di sana. Maka, aku kira, bukan tidak mungkin sejumlah prajurit dari pasukan khusus juga telah mengintai di lorong-lorong pedukuhan induk.”

“Pedukuhan induk sedang mendapat perlindungan penuh. Mungkin pasukan Mataram di Jati Anom bersiap menuju ke sana. Jadi, aku pikir keberadaan kita di sini adalah buah dari keputusan terbaik,” kata orang berpakaian putih dengan sinar mata licik.

Tiba-tiba, sekelebat bayangan meloncat dari balik tanaman yang berbaris menyerupai pagar. Menutup jalan dengan cara menyerang mereka dari belakang. “Aku akan percepat kalian memperoleh jalan penyelesaian!” kata Swandaru usai membentak mereka dengan sangat keras sebagai serangan pertama.

Seorang pengikut Raden Atmandaru mengumpat, “Si gendut jalang! Pendekap janda!”

“Kau akan terus memaki sebagai pengecut atau berkelahi sebagai lelaki sejati?”

Orang yang bertubuh gempal tertawa, kemudian katanya, “Swandaru, sejak kapan kau mengerti arti dari yang kau ucapkan? Lelaki sejati? Apakah kau akan cuci tangan dari kematian Ki Bekel Randulanang? Dan sebaiknya memang begitu agar kau dapat meniduri jandanya!”

“Sebut nama agar aku tidak menyesal setelah membunuh kalian semua!”ucap geram Swandaru. Ia menyerang lawan-lawannya yang cukup cepat membuat kepungan. Lingkaran yang rapat, rapi dan terkendali dalam satu perintah dengan baik. Cambuk telah terurai di tangan Swandanru, berputar-putar dengan dahsyat, meledak-ledak dengan bunyi yang menggiriskan. Namun kepungan tidak menjadi longgar, lawan-lawan Swandaru mempunyai kemampuan yang merata. Mereka berloncatan menghindar tetapi setiap lubang segera terisi oleh yang lain. Pergerakan mereka cukup rumit dan membingungkan.

Swandaru terus menerjang, memburu setiap lawan dengan serangan-serangan yang cukup hebat. Namun demikian, kecakapan laskar Raden Atmandaru memang di atas rata-rata kebanyakan orang, bahkan jika dibandingkan dengan prajurit Mataram. Itu terbukti dengan kemampuan mereka untuk menyerang balik ketika menghindari ujung cambuk Swandaru. Orang-orang yang menjadi lawan Swandaru pun kerap dapat menjaga jarak dari jangkauan serangan menantu Ki Gede Menoreh itu.

Di tengah perkelahian yang sedang berlangsung, lelaki berpakaian putih – yang mungkin sepantaran usia dengan Swandaru – lantas berseru, “Kau ingin mengetahui namaku? Siapakah engkau, Swandaru? Seberapa pantas kau mempunyai harga diri untuk berkenalan denganku?”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.