Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 37

Tetapi, yang terjadi kemudian, Swandaru terhuyung lalu jatuh di atas dua lututnya. Dengan sisa kekuatan yang ada, ia berusaha mengangkat tubuhnya sedikit tetapi nyaris tidak berdaya. Swandaru mendadak terkulai. Tenaganya benar-benar habis terhisap oleh perkelahian melawan pengikut Raden Atmandaru. Tubuh Swandaru banyak dipenuhi goresan luka. Sementara salah satu kakinya menderita memar yang tidak kepalang. Ada lelehan darah yang keluar dari tepi kulit yang memar akibat patukan selendang lelaki asing itu. Jantung Swandaru berdenyut sangat hebat. Ia termenung untuk beberapa saat dan mengabaikan pertempuran hebat yang terjadi di depan matanya. Napasnya terengah-engah ketika merangkak menyeret badan dengan susah payah.

“Aku kalah,” desis Swandaru. Ia mengepal tangan lalu memukul tanah berulang-ulang. Kekalahan memang memalukan bila mengingat ketangguhannya pada sejumlah pekan yang telah lalu. Tiga atau empat pekan sebelumnya, siapa yang berani beradu dada melawannya? Mendengar nama Swandaru Geni disebutkan pun sudah cukup untuk menggentarkan lawan. Namun ia sadar harus mencegah dirinya agar tidak hanyut dalam perasaan itu. Swandaru harus melapangkan dada agar nalarnya tidak jatuh tenggelam ke dalam jurang kebinasaan.

Seorang pengawal datang kemudian duduk di sampingnya, lalu berkata lirih, “Marilah, Ki Swandaru. Anda dapat meninggalkan tempat ini lalu menyerahkan segalanya pada Pangeran Purbaya. Ki Swandaru sebaiknya segera beristirahat untuk menyembuhkan luka. Jalan panjang masih setia menunggu Sangkal Putung mengayunkan langkah. Mari, saya bantu berdiri.”

Beberapa pengawal – yang baru datang – segera memapah Swandaru guna menjauhi lingkaran perkelahian.

loading...

Swandaru kemudian bertanya sambil terpincang-pincang, “Bagaimana Pangeran Purbaya bisa datang ke tempat ini?”

Seorang pengawal mengangkat tangan, katanya, “Saya mengambil gagasan untuk memberitahukan sekilas keadaan kepada Pangeran Purbaya. Maafkan saya.”

Swandaru bergumam, meski sebelumnya menolak bantuan, tetapi tekanan hebat memaksa dirinya untuk menerima keadaan. Dengan langkah pelan, para pengawal menyempatkan diri menengok ke belakang, melihat pertarungan. Namun mereka tidak dapat menyaksikan pergerakan tiga orang yang begitu cepat dan hebat.

Perkelahian tidak seimbang yang mengagumkan. Perkelahian yang mengeluarkan banyak bunyi siulan beraneka nada. Selendang lelaki asing itu mematuk, menebas datar, memotong silang Pangeran Purbaya dengan kekuatan yang nyaris tidak terkira. Sementara udara sakti yang memancar dari ilmu Ki Ajar Mawanti kerap membelah udara dengan gaung yang sanggup menyumbat pendengaran. Lingkar perkelahian seoalah menjadi lebih kecil daripada gelanggang perkelahian Swandaru sebelumnya. Itu karena mereka bertiga mempunyai kecepatan luar biasa. Mereka bergerak jauh lebih cepat dari lontaran anak panah atau kelebat gesit burung elang. Meski bertarung dengan cara dikeroyok, Pangeran Purbaya hampir dapat dikatakan belum mendapatkan halangan dalam mengendalikan keseimbangan. Ini, ini benar-benar luar biasa!

Iring-iringan Swandaru semakin jauh dari gelanggang pekelahian kemudian lenyap setelah memasuki sebuah pekarangan. Mereka memintas jalan untuk mencapai kedudukan di barisan belakang pengawal yang sedang menghadapkan wajah ke padang Karang Dawa.

Dalam waktu itu, siasat yang dirancang Pangeran Purbaya serta sepak terjang Pandan Wangi benar-benar membuat pertempuran menjadi berat sebelah. Biarpun pasukan Ki Sor Dondong berbalik arah, kemudian berlarian seperti air bah, namun itu belum membuat guncangan yang berarti bagi para pengawal Gondang Wates.

Pandan Wangi yang melihat kepulan asap membubung dari kedalaman pedukuhan sempat merasa cemas. Batinnya mengira bahwa ada ancaman yang sedang merebak di antara rumah-rumah penduduk. Namun ia segera menampiknya. Penuh keyakinan ia berkata pada dirinya sendiri, “Kakang Swandaru tidak mungkin bertopang dagu ketika tanahnya dibumihanguskan musuh.” Dari atas punggung kuda, Pandan Wangi melanjutkan putaran pedang, menyibak kerumunan, memberi perintah pada pengawal Gondang Wates agar tegar menjalankan rencana Pangeran Purbaya.

Sementara itu, pasukan Raden Atmandaru yang dipimpin Ki Sor Dondong mulai tercerai berai walaupun belum terlihat melonggarkan serangan. Cahaya matahari memantul dan menari-nari di seluruh bagian yang menjadi arena pertempuran. Dalam waktu itu, pertempuran seolah terpusat pada bagian tengah Karang  Dawa. Dapat menjadi sedemikian itu karena Pangeran Purbaya menerapkan gelar Emprit Neba pada empat bagian. Perintah selanjutnya adalah empat gelar Emprit Neba harus mampu berputar seperti roda penggilingan dan dimulai dari bagian tepi yang dipimpin Sabungsari. Rencana itu sebenarnya cukup sulit dipahami oleh orang-orang dusun seperti pengawal Gondang Wates.

Namun, kehadiran Glagah Putih serta Sabungsari sendiri membuat segalanya terlihat mudah dan lancar dilaksanakan. Secara umum, pengawal pedukuhan hanya mengikuti aba-aba dari Sabungsari. Demikian pula Glagah Putih yang sama sekali tidak mendapatkan gambaran mengenai rancangan perang Pangeran Purbaya. Tetapi perintah yang diserukan Pandan Wangi secara sederhana ternyata mampu diterjemahkan sangat baik oleh sepupu Agung Sedayu itu. Oleh karenanya, siasat Pangeran Purbaya yang didukung empat punggawanya yang berusia muda benar-benar membuyarkan keinginan membawa harta jarahan bagi orang-orang yang menyimpan hasrat itu. Keadaan berbalik meskipun perlahan. Selanjutnya, kesulitan demi kesulitan lantas berdatangan menghampiri pengikut Raden Atmandaru. Mereka benar-benar di bawah tekanan yang semakin meningkat karena kegarangan dan daya juang tinggi para pengawal Gondang Wates seakan menjadi jurang pemisah yang sangat curam.

Bila empat punggawa Pangeran Purbaya dapat dianggap sebagai senapati perang, maka Sukra adalah senapati yang berkedudukan paling dekat dengan barisan belakang pasukan Ki Sor Dondong. Disertai sejumlah pengawal yang mendapat perintah agar menempelnya dengan ketat, Sukra tiada berhenti menggerakkan senjata membelah udara. Ia berkelebat, berloncatan, menghisap perhatian lawan sehingga mereka bernafsu untuk menghabisinya. Setiap musuh yang memburu Sukra akan terjebak di dalam perangkap barisan yang tak terlihat oleh mata prajurit biasa. Untuk menandai gelar rahasia itu sudah jelas dibutuhkan wawasan dan pengalaman yang cukup dalam pertempuran. Sukra selalu diapit oleh dua atau tiga pengawal yang seakan-akan tidak memberinya dukungan. Tetapi, begitu ada musuh yang bergerak mendekat untuk menyerang maka para pengawal segera berbalik lalu meninggalkan lawan masing-masing guna memotong maksud lawan. Ketika  selesai dengan tugasnya, para pengawal tadi akan bertukar tempat. Gelar yang begitu rumit namun dapat dijalankan dengan baik karena Sukra pun tak segan mengambil peran sebagai prajurit pengapit.

Keputusasaan menyelinap dalam pikiran orang-orang yang membangkang pada Mataram. Sejumlah orang merasa bahwa merebut Mataram akan menjadi mimpi yang tersampir pada tali-tali jemuran di pekarangan. Mereka mendapati kenyataan apabila sebuah dusun kecil seperti Gondang Wates mampu bertahan begitu jauh, bagaimana dengan prajurit Mataram yang terlatih?

Di gelanggang yang menjadi tempat Sukra bertempur.

Sukra pikir, harus mencapai garis belakang, lalu tugas utama telah menanti untuk dilaksanakan. Ia harus sanggup menembus batas akhir barisan pengikut Raden Atmandaru,  meninggalkan medan pertempuran lalu secepat mungkin mencapai Pajang. Pangeran Purbaya memberinya izin karena tugas itu datang dari Ki Patih Mandaraka dan Nyi Ageng Banyak Patra. Agar kepergian Sukra tidak meninggalkan lubang pada ujung pasukan pemukul Gondang Wates, Pangeran Purbaya menunjuk dua  kepala pengawal agar sigap menggantikan Sukra bila mereka telah memisahkan regu terakhir musuh dari pasukan induk.

Jika musuh-musuhnya menilai Sukra adalah pengawal yang beringas, namun penilaian berbeda datang dari orang-orang Gondang Wates. Sukra adalah prajurit atau pengawal yang sabar menanti lawan membuat kekeliruan atau kesalahan perhitungan meski sangat kecil. Kemudian Sukra akan menyambar mangsa, melumatnya dengan sepasang cakar tajam yang terwujud melalui pedang yang digenggamnya. Sukra harus menang demi pertemuannya dengan Agung Sedayu. Baginya, tidak ada yang perlu diperhitungkan lagi selain kemenangan dan kemenangan. Sukra sadar napasnya dapat berhenti setiap saat dalam jumlah hitungan yang tidak dapat ditetapkan, maka segenap tempaan Nyi Banyak Patra pun dikerahkan tanpa kecanggungan sedikit pun. Kekuatan tekad dan semangatnya benar-benar tercermin dari ketidakpeduliannya pada luka-luka yang semakin banyak menghias wadagnya.

Pusaran tempur yang melibatkan Sukra beserta pengawal pendampingnya membetot perhatian Ki Sor Dondong. Lelaki yang dipercaya Raden Atmandaru untuk mengendalikan gugus tempur yang bertugas di Sangkal Putung ini menghadapi pilihan sulit. Bila ia bergerak lalu membekuk Sukra, maka Pandan Wangi akan berputar seperti roda gila yang melibas pasukannya. Sebaliknya, bila ia berketetapan mengikat Pandan Wangi dalam perang tanding, maka Sukra akan merontokkan pilar terakhir pasukannya.

Ki Sor Dondong sadar bahwa semua pilihan tidak ada yang membuahkan kemungkinan terbaik. Sebagai penglima perang, maka mengikat Pandan Wangi menjadi satu-satunya pilihan yang paling cepat mendatangkan akibat. Menundukkan Pandan Wangi akan melemparkan tinggi semangat tempur pasukannya hingga melampaui puncak Merapi. Kuda perang Ki Sor Dondong berhenti. Ujung pandangannya menatap lekat Pandan Wangi yang berkelahi sengit sambil menyeret sekelompok orang agar terpisah dari kelompok yang lain.  “Perempuan itu terlihat tangguh dan kuat. Memang tidak akan mudah mengalahkannya karena ia pasti bertarung habis-habisan,” kata Ki Sor Dondong pada hatinya. Dalam sekejap, Ki Sor Dondong menghimpun kekuatan hingga pembuluh darahnya seolah bergetar karena darah mendebur kencang.

Walaupun tandang Sukra seakan tidak menemui hambatan, Glagah Putih tetap mengamati dengan paras wajah yang sangat tegang. “Sukra dapat kehabisan darah kapan pun,” demikian Glagah Putih mendesis dalam hati. Namun mengingatkan Sukra agar mengurangi daya gempurnya adalah keputusan bodoh yang mungkin pernah dibuat Glagah Putih. Tidak, Glagah Putih tahu bahwa peringatan itu akan memberi dampak buruk bagi pengawal Gondang Wates. Ia dapat merasakan api semangat pengawal Sangkal Putung telah membakar langit, lalu dipadamkan demi keselamatan Sukra? Itu sama saja dengan menyuruh para pengawal supaya melemparkan senjata lalu menyerah. “Tidak, biarlah Sukra bertempur semaunya dan sekuat-kuatnya. Kewajibanku adalah melindunginya dengan cara yang dapat aku tempuh atau menyelematkannya jika waktu telah tiba. Selain itu, barangkali memang ada perintah yang disembunyikan dariku,”  kata Glagah Putih menenangkan hati. Mereka terpisah pada jarak yang agak jauh dan Glagah Putih berkewajiban menjaga kelompok yang dipimpinnya tidak terseret lebih jauh dari pusaran Sukra.  Dan itu tidak menjadi masalah bagi Glagah Putih yang tak pernah berhenti bergerak. Sekali waktu, murid Ki Jagaraga ini menggunakan kelebihannya dengan mengerahkan tenaga cadangan untuk mengibaskan musuh yang menutupi pandangannya.

Dapatkan dalam bentuk cetakan dengan menghubungi WA yang tercantum pada blog Padepokan Witasem. (Klik gambar)

Meski dapat menenangkan hati, Glagah Putih terkesiap ketika melihat bayangan Sukra sedang menerobos empat prajurit lawan yag berdiri sejajar. “Anak keras kepala!” Glagah Putih mengertakkan rahang. Ia meloncat surut, sejenak mengambil ancang-ancang untuk menyelamatkan Sukra, harapnya dalam hati, “Mudah-mudahan tidak terlambat.”

Lagi-lagi Sukra mengejutkan Glagah Putih! Dengan kaki melingkar, Sukra melempar tubuh ke samping menghindari ujung lembing yang hendak meraih dadanya. Sebelah tangan Sukra melemparkan pedang pada seorang lawan yang bergerak mendekat padanya. Nyaris bersamaan dengan semua gerakan itu, Sukra melanjutkan rangkaian geraknya dengan cara menjatuhkan diri, bergulingan lantas melejit bangkit dengan dasar kanuragan bertangan kosong yang cukup mewah.

Sukra mempertahankan kedudukannya dengan pengerahan dasar-dasar tata gerak yang disesuaikan Nyi Ageng Banyak Patra untuknya. Meski terlihat cukup sederhana dan lemah tetapi sangat sukar dipatahkan. Ditambah limpahan sedikit tenaga cadangan Ki Patih Mandaraka, maka tanpa disadarinya, kecepatan serta daya tahan Sukra meningkat berlipat-lipat.

Sukra meloncat deras sambil menjulurkan sebelah tangan pada lawan yang menyerong di sebelah kanan. Benar-benar keras kepala! Sukra mencoba lagi usahanya menerobos barisan terakhir pasukan Ki Sor Dondong. Namun, empat lawan Sukra agaknya juga merasa geram bercampur malu karena tandang Sukra yang sangar dan ngawur – menurut empat orang itu– akan membuat mereka berada di dalam kepungan! Mereka gesit mengubah susunan. Dua orang berada sedikit di belakang dua yang lain dengan jarak yang berlainan namun terukur. Sekali Sukra memasuki bagian tengah, pasti sulit baginya keluar hidup-hidup!

Sukra sudah menduga perangkap yang disiapkan untuknya, maka dari itu serangannya mengalir ke sisi kanan lawan. Namun mustahil baginya untuk bergeser lebih jauh karena akan terpisah dengan pengiringnya dari Gondang Wates. Sukra cermat membaca setiap celah yang terbuka oleh pandangannya. Ia terus menerus menimpakan serangan pada bagian kanan lawan, lalu berputar jauh agar pengawal yang menempelnya dapat memecah barisan pengikut Raden Atmandaru. Tampaknya Sukra kesulitan membuka jalan karena lawan-lawannya terus membabi buta dengan senjata. Jika ia tidak cepat menarik serangan, tentu bagian tangan atau kakinya akan tergeletak di atas tanah.

Kemunduran Sukra segera diketahui oleh kepala regu pendampingnya. Ia mengayunkan senjata pada seorang musuh, ketika lawannya menghindar, kepaIa regu segera menyodorkan tombak pendeknya pada Sukra. “Pakai ini!” serunya tegas.

“Kakang?” sahut Sukra.

“Lupakan!” Usai senjatanya berpindah tangan, kepala regu segera menyelinap, memungut pedang yang tergeletak lalu mengayunkan datar pada seorang lawan yang berada di belakangnya.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.