Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 73

Pembicaraan pun segera mengerucut seputar persoalan pokok ; bagaimana cara Agung Sedayu memasuki istana Panembahan Hanykrawati tanpa dikenali atau diketahui prajurit Mataram? Keberadaan Agung Sedayu akan mendatangkan bahaya apabila diketahui secara terbuka meski oleh segelintir orang.

Ki Patih melanjutkan perkataannya kemudian, “Seluruh laporan maupun keterangan belum sepenuhnya kami terima dari para petugas sandi maupun prajurit yang bertugas secara khusus. Aku sudah mendengar kekalahan pasukan Raden Atmandaru di Sangkal Putung, tapi bagaimana dengan nasib panglima mereka? Ki Sor Dondong masih belum diketahui keberadaannya. Orang ini tidak dapat diabaikan karena kemampuannya mengatur pergerakan prajurit nyaris dapat melumpuhkan Sangkal Putung hingga Pangeran Purbaya tiba. Di samping Ki Sor Dondong, Mataram masih harus mengatasi kesulitan yang timbul dari dalam Kepatihan maupun garis semu yang melingkari Panembahan Hanykrawati. Aku tidak dapat membuat perkiraan lebih jauh sebelum mengetahui rencana Wayah Mas Rangsang.”

“Garis semu…,” gumam Agung Sedayu. Nalar tajam Agung Sedayu segera menggiringnya pada pemikiran bahwa batas kesetiaan orang-orang di sekitar pusat kekuasaan Mataram sudah sedemikian tipis. Senapati pasukan khusus itu mengangguk-anggukkan kepala dengan kerut wajah seakan menggambarkan pertanyaan yang sangat cepat melintas di dalam pikirannya. Begitu banyak perkembangan yang terjadi dengan sangat cepat dan dia tidak banyak mengetahui. Sejenak dia menarik napas panjang dengan sedikit guncangan penyesalan. Tapi, bagaimana lagi? Bukankah serangan kilat di Slumpring dan kekuatan asing yang tersimpan pada Kyai Plered itu berada di luar kehendaknya?

Mendengar ucapan lirih Agung Sedayu, Ki Patih Mandaraka mengangguk perlahan. “Memang tidak  banyak keterangan yang dapat kita himpun. Namun, inilah tantangan bagi Mataram. Bersama-sama, kita harus dapat mengubah ketidakpastian ini menjadi sesuatu yang terang benderang.” Dan Ki Patih Mandaraka serta Nyi Ageng Banyak Patra berulang-ulang membicarakan permasalahan itu secara diam-diam. Pengaburan kesetiaan menjadi hal baru di dalam lingkungan Kepatihan dan istana Panembahan Hanykrawati.

loading...

Dengan wajah sungguh-sungguh, Agung Sedayu berkata kemudian, “Saya tidak tahu apakah seorang lurah yang kami lihat di luar Sangkal Putung adalah utusan Mataram atau bagaimana? Saya sedikit mendengar percakapan antara Sukra dan lurah tersebut.”

“Sukra?” potong Ki Patih Mandaraka.

“Benar, Ki Patih. Kami melihat Sukra dalam perjalanan menuju Sangkal Putung.” Lantas Agung Sedayu mengulang sedikit perkelahian yang melibatkan pengikut Raden Atmandaru dengan tambahan-tambahan dari Kinasih.

Pandangan Ki Patih segera beralih pada lembaran kulit yang tergelar semenjak tadi. “Ke mana mereka pergi? Mungkinkah mereka sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih besar atau sebuah langkah antara?” bertanya Ki Patih di dalam hatinya. Lantas, dengan nada tenang, Ki Patih menanyakan suatu keadaan pada Agung Sedayu.

Dan yang disampaikan Agung Sedayu cukup mengejutkan Ki Patih Mandaraka. “Rasanya hampir tidak mungkin bila mereka akan membangun padukuhan meski sekadarnya saja. Yang saya pikirkan adalah bahwa mereka sedang mengumpulkan para pengikut yang tercerai berai di sebuah tempat yang sulit dijangkau petugas sandi Mataram,” ucap Agung Sedayu. “Tanpa bermaksud mengabaikan maupun merendahkan kecepatan para petugas sandi, tapi… kita kehabisan waktu jika harus menunggu kedatangan utusan Mataram.”

“Ki Lurah Sura Pawira tidak akan kembali ke kotaja,” ucap Ki Patih Mandaraka. Ketika bertatap mata dengan Agung Sedayu, ia melihat sorot mata dengan rasa ingin tahu yang besar. lalu Ki Patih menambahkan, “Lurah itu bernama Ki Lurah Sura Pawira. Ia memang utusanku yang bertugas khusus membayangi senapati lawan. Begitu pula Sukra yang sengaja aku perintahkan kepadamu dengan satu pesan ; segera ke kotaraja.”

“Oh… Jadi…,” kata Agung Sedayu sedikit terperanjat. Tapi ia tidak melanjutkan ucapannya. Dalam pikiran Agung Sedayu, berdasarkan keterangan Ki Patih Mandaraka, ia sudah dapat menduga bahwa Sukra pasti telah mencapai pondok kecil Nyi Ageng Banyak Patra yang terletak di luar kota Pajang. Maka, Agung Sedayu dapat membayangkan betapa sulit perasaan Sukra ketika gagal menjumpainya di Pajang.

“Jika segalanya berlangsung sesuai rencana dan atas izin Yang Maha Agung, Sukra pasti bersama Pangeran Purbaya di Sangkal Putung saat ini,” kata Ki Patih Mandaraka seakan menjadi jawaban untuk pertanyaan Agung Sedayu yang tidak disuarakan.

Agung Sedayu bernapas panjang. Sejenak ia merenung lalu berkata, “Saya dapat merasa tenang karena Pangeran Purbaya berkenan mengambil kedudukan sementara di Sangkal Putung. Itu akan mempersulit lawan jika mereka ingin melumpuhkan Mataram dengan cara merebut lumbung pangan. Satu hal lain adalah Tanah Perdikan Menoreh pun masih cukup menenangkan karena pengalaman Ki Gede Menoreh yang ditunjang kemampuan para pengawalnya.”

“Benar, sepertinya Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu mengkhawatirkan karena juga terdapat barak pasukan khusus,” ucap Ki Patih yang paham bahwa Agung Sedayu tidak akan menyebut pasukannya yang berhimpun di perbukitan Menoreh.

Agung Sedayu tersenyum.

“Kinasih,” kata Ki Patih Mandaraka ketika berpaling pada murid Nyi Ageng Banyak Patra. “Sepertinya tidak ada jalan lain selain mengalihkan perhatian lawan melalui dirimu. Bagaimana pendapatmu,  apakah kau bersedia memancing keributan di depan istana Panembahan?”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.