Sejenak ia menghentikan ucapannya lalu memandang wajah-wajah keras di sekelilingnya. “Hutan jati, pategalan dan sawah yang subur, begitu pun perempuan, dan semua itu dapat dijadikan ladang yang menyenangkan… dan pasti menjadi milik kalian selamanya. Namun, itu tidak semudah seperti seorang raja menunjuk anaknya menjadi pengganti. Benar, jauh di dalam hati, kita mungkin merasa aman berada di tempat yang jauh dari keberadaan orang. Bahaya tetap dapat mendatangi kita setiap saat. Sebenarnya kita masih berada di dalam jangkauan barak prajurit Jati Anom dan pasukan khusus Tanah Perdikan. Untara dan Agung Sedayu adalah dua nama yang tidak dapat diabaikan sepanjang kita masih berada di tempat ini.”
Sepertinya Ki Sambak Kaliangkrik mempunyai panggraita yang cukup tajam. Meskipun telinganya tidak mendengar suara selain gemuruh hujan, tetapi sesuatu sedang mendesaknya dari dalam agar memunculkan sebuah kecurigaan. Usai bercakap, sepasang tangannya memberi tanda bagi pengikutnya agar merunduk atau meratakan tubuh nyaris mendekati permukaan tanah. Sesaat kemudian, keadaan menjadi tegang. Mereka tidak dapat mengandalkan pertahanan melalui tatapan mata karena keadaan yang benar-benar gelap. Mungkinkah ini yang dimaksud Ki Sambak Kaliangrik mengenai bahaya yang sedang mengancam hidup dan perjuangan mereka? Meski pertanyaan itu muncul di dalam benak setiap orang, tetapi tidak ada seorang pun yang menyatakan dengan suara.
“Siapa?” Ki Sambak Kaliangrik bertanya pada dirinya meski tidak begitu yakin. Setiap bayangan yang bergerak dapat saja itu adalah ranting dengan daun yang lebar atau kepak sayap kelelawar, tapi bukan lebih baik memeriksa keadaan? Empat orang beringsut, lalu berpencar. Ki Sambak Kaliangkrik memerintahkan mereka untuk memeriksa lingkungan sambil tetap memperhitungkan jarak dengan kelompok. Namun mereka kembali dengan laporan nihil.
Sejumlah orang memandang Ki Sambak Kaliangkrik dengan tatap mata tidak sabar. Seseorang bertanya dengan suara berbisik, “Tidakkah kita dapat melanjutkan perjalanan sekarang?”
Pertanyaan yang masuk akal karena hasrat yang besar untuk menguasai Mataram. Sebenarnyalah gerakan makar yang digagas oleh Raden Atmandaru benar-benar sulit diketahui oleh para petugas sandi Mataram. Mereka mendadak muncul seperti serangan kilat, lalu menghilang bagaikan hantu di tengah malam. Sejumlah lurah prajurit peronda melaporkan bahwa tempat persembunyian para pengikut Raden Atmandaru sangat sulit dilacak. Mereka tidak membuat sarang di tengah hutan lebat atau ladang-ladang yang jauh dari permukiman. Sebaliknya, mereka menyatu dengan kebanyakan orang di Mataram. Membaur dalam kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pengawal kademangan. Mereka bersembunyi dan memusatkan kegiatan justru di tengah-tengah kerumunan, demikian laporan para senapati sandi.
Meski begitu, meski beranggapan bahwa keberadaan mereka cukup jauh dari pantauan orang, tetapi mereka sama sekali tidak menduga ada dua pasang mata yang mengawasi mereka dengan kecermatan yang tinggi. Dari sebuah tempat yang tidak terjangkau oleh mereka dan Ki Sura Pawira, seorang lelaki – yang berusia sekitar empat puluh tahun atau lebih – sedang mengetrapkan Sapta Pangrungu pada tingkat puncak. Ia berupaya memisahkan bunyi hujan, angin, gesekan daun dari suara orang. Sementara di sampingnya, seseorang yang berperawakan lebih kecil darinya, pun terlihat sedang menyaring segala bunyi yang memasuki pendengarannya. Mereka duduk bertumpu pada salah satu tumit dalam keadaan berdekatan satu sama lain.
Ki Sambak Kaliangkrik, atas pertanyaan seorang bawahannya, pun menjawab, “Segera kita lakukan. Namun, kali ini, aku minta kalian dapat membuat keputusan dengan cepat untuk sebuah tindakan bila ada gangguan. Meski aku ingin melarang kalian supaya tidak bicara atau berbuat sekehendak hati, tetapi perasaanku seperti sedang meraba adanya bahaya mengancam kita.”
Debar jantung anak buah Ki Sambak Kaliangkrik serasa lebih keras memukul dada. Walau begitu, mereka berusaha bersikap tenang dengan urat wajah menegang. Rasanya mereka ingin mengatakan sesuatu tetapi kemudian lebih memilih percaya pada Ki Sambak Kaliangkrik.
Secara samar-samar ucapan Ki Sambak Kaliangkrik dapat terdengar oleh Agung Sedayu – yang memaksakan diri pergi meninggalkan pondok kecil Nyi Ageng Banyak Patra di Pajang. Ucapan itu mengejutkan Agung Sedayu. Meskipun ia telah mengerahkan ilmu menyerap bunyi-bunyian, tetapi ketajaman panggraita pemimpin rombongan yang diintainya cukup memberinya kejutan.