“Tidak ada salahnya kita mencoba membuat suatu bayangan tentang masa depan, Ki Rangga. Setidaknya itu akan memberi kita panduan agar tetap mampu menatap masa depan. Terlebih aku telah menyaksikan asap hitam kebakaran saat aku berada di sebuah pasar sebelah timur kademangan induk.”
Agung Sedayu menganggukkan kepala, ia dapat menerima alasan Ki Prayoga bahkan ia sendiri telah mempunyai rencana yang belum pernah ia ungkapkan pada Sekar Mirah. Tanpa praduga buruk sekalipun terusik dengan tempat asal Ki Prayoga, Agung Sedayu kemudian bertanya, ”Dari manakah asal Ki Prayoga?”
Ki Prayoga tidak segera menjawab pertanyaan itu. Sedikit ia mengerutkan kening karena ia tidak menduga bila pemimpin pasukan khusus Mataram itu tiba-tiba bertanya.
“Padukuhan Dawang.”
Agung Sedayu menautkan alisnya, lalu, ”Aku ingat tempat itu.” Sebuah peristiwa ketika kelompok kecilnya secara mendadak diserang oleh murid-murid padepokan yang berpihak pada Demak.
Sejenak ia berpikir ulang tentang orang yang berdiri sebelah menyebelah dengannya dan mengaku bernama Ki Prayoga. Tajam ingatan Agung Sedayu seperti mengingatkan bahwa sebenarnya pedukuhan itu terletak cukup jauh dari tempat pertempuran antara pasukannya dengan orang-orang padepokan. Kecurigaan mulai merambati hati Agung Sedayu, namun ketika ia berpaling pada Swandaru maka yang terlihat olehnya adalah adik seperguruannya terlihat sedang berusaha keras mempercepat laju rakit.
Agung Sedayu dapat menangkap getar keraguan dari nada Ki Prayoga, lalu ia berkata lagi, ”Ki Prayoga tentu orang yang mempunyai kemampuan lebih. Saya dan pasukan hanya melintas pedukuhan itu dalam sekali waktu dan itu kami lakukan dengan menggunakan jalur yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa Ki Prayoga bukan orang biasa.”
“Aku tidak berbeda dengan kebanyakan orang lainnya, Ki Rangga.”
“Mendengar Anda menyebut pasar di Tanah Perdikan, saya tidak melihat Ki Sanak membawa barang untuk diperdagangkan ,” kata Agung Sedayu dengan nada rendah lalu, ”seperti apakah barang yangditawarkan oleh Ki Prayoga pada orang-orang di Kademangan Sangkal Putung?”
“Aku bukan pedagang seperti kebanyakan orang, Ki Rangga.”
Kening Agung Sedayu mengerut. Tetapi ia tidak langsung memandang wajah Ki Prayoga, lalu lawan bicaranya kembali bersuara, ”Aku mempunyai pekerjaan yang panjang untuk diselesaikan.”
Agung Sedayu tidak berkata mengenai tanggapan Ki Prayoga pada saat itu. Untuk beberapa saat kemudian, Ki Prayoga berkata lagi, ”Aku datang ke Tanah Perdikan untuk melihat sebidang pategalan yang menurut kabar sedang mencari penawar tertinggi. Dan apabila kau ingin tahu alasanku datang ke Sangkal Putung, maka aku dapat katakan bahwa aku ingin melihat beberapa kuda yang kabarnya cukup istimewa. Kuda yang hanya dimiliki seseorang berkedudukan tinggi di kademangan itu.”
“Bukankah di Mataram juga banyak kuda yang tegar dan merupakan kuda pilihan, Ki Sanak,” sahut Swandaru yang agaknya tertarik ketika Ki Prayoga menyebut tentang kuda.
“Ia adalah Swandaru,” kata Agung Sedayu yang melihat sorot mata ingin tahu dari Ki Prayoga.
“Benar, Ki Swandaru,” kata Ki Prayoga kemudian, ”Mataram merupakan tempat banyak kuda pilihan tetapi aku masih mempunyai pilihan yang lain di luar Mataram.”
“Dan kau kira itu adalah Sangkal Putung?” tanya Swandaru.
Ki Prayoga menggelengkan kepala, lalu, ”Bukan sebuah perkiraan tetapi kepastian. Awalnya adalah sebuah pertaruhan tetapi setelah Ki Rangga menyebut namamu, maka aku tahu bahwa kuda pilihan yang ada di Sangkal Putung adalah satu kepastian.”
“Aku belum mengerti maksudmu. Mengapa kau berkata bahwa ada satu kepastian di Sangkal Putung tentang kuda?” tanya Swandaru.
Ki Prayoga tersenyum kepada Swandaru. Ia bergeser selangkah lalu, ”Tidak seorang pun dari pecinta kuda yang tidak mendengar nama Ki Swandaru Geni sebagai orang yang hebat tentang kuda selain para pangeran Mataram?”
Hidung Swandaru sedikit mengembang. Lantas katanya ,”Apakah kau mengira bahwa aku akan melepas kuda itu dengan harga yang diluar jangkauanmu?”