“Kami mendengar, Tuan Senapati!” sahut enam senapati dengan serempak dan tegas.
Gagak Panji tahu betapa keras semangat dan keinginan orang-orang Blambangan untuk menuntaskan pertempuran. Mereka bukan orang yang senang melihat darah yang tumpah, tetapi mereka hanya tidak ingin peperangan beralih ke daratan, pikir Gagak Panji.
Semambung seolah tidak menaruh perhatian pada percakapan singkat itu. Dari jarak dua langkah, Semambung sedang mencari hubungan antara gagasan Gagak Panjikelanjutan dan perang yang juga ditetapkannya. “Berdamai dan tetap berperang? Bagaimana Gagak Panji dapat membagi jalan-jalan pikirannya?” demikian Semambung bertanya pada diri sendiri. Namun, baginya, Gagak Panji adalah seorang kawan yang patut dibela dalam segala keadaan. Baik dan buruk, Gagak Panji adalah teman yang setia padanya. Gagak Panji tidak pernah mengeluh dengan segala sepak terjangnya, termasuk ketika meringkus segerombolan orang yang akan membekuk Pangeran Prawoto di sisi luar hutan kecil di selatan Jepara. Mengenang peristiwa itu, Semambung berkata dalam hatinya, “Sulit bagiku memahami pilihan sulit yang ada di depannya. Gagak Panji adalah orang yang keras menuntut agar pembunuh ayah Arya Penangsang segera ditangkap dan digelar pengadilan untuknya. Gagak Panji pula yang mengejar orang-orang yang dinilainya dapat mengacaukan keseimbangan Demak. Dan belakangan, Gagak Panji memilih berhadapan dengan Demak hingga melakukan perang tanding melawan Raden Trenggana.”
“Kita adalah orang-orang yang mungkin sedang membersihkan kotoran di depan rumah orang lain, padahal bukan kita yang mengotorinya. Mungkin kita adalah segolongan orang yang ketiban tahi abuh,” gurau Gagak Panji seusai mereka meringkus bagian kecil dari kelompok orang menyebut diri sebagai Supit Urang.
Ketika merenungkan semua pengalamannya bersama Gagak Panji, Semambung dapat melihat kecenderungan yang ada di dalam diri Gagak Panji. Ia berkata kemudian, “Bila kita memenangkan pertempuran, apakah Pangeran tetap menerima uluran damai yang diajukan Demak?”
“Sebenarnya aku mempunyai keinginan untuk tetap bertahan. Blambangan tidak perlu mengawali perang dengan setiap serangan. Aku pikir lebih baik kita hanya menerima pukulan demi pukulan. Bila membalas, itu pun tak lebih dari sekedar unjuk kekuatan,” jawab Gagak Panji, “namun demikian, bila kita mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama, itu sama saja telah mengambil tombak kemenangan. Bertahan untuk menang. Apabila kemenangan datang untuk kita, Demak tidak pantas mendapatkan perlakuan sebagaimana orang-orang kalah. Kita bukan kelompok pecundang yang memanfaatkan keunggulan untuk memeras atau menghina lawan.”
“Tetapi, apakah Demak sanggup bersikap sama dengan kita?”
Gagak Panji terdiam dengan pertanyaan itu. Sulit karena Demak – menurut penilaiannya – tidak mempunyai kegagahan kegagahan jiwani yang tangguh dan teruji.
Pertempuran di perairan Panarukan kembali meletus keesokan harinya. Ki Wadas Palungan, Gending Pamungkas, Ki Lembu Ancak serta para pemimpin kapal perang Demak lainnya mendapatkan perintah agar tetap menghujani lawan dengan besi-besi panas yang sanggup meledakkan kapal perang lawan. Sepanjang hari itu, Blambangan masih sanggup menerima semua serangan. Pergerakan kapal perang mereka seolah tidak mendapatkan halangan besar. Dan seperti yang diinginkan Gagak Panji, Blambangan pun membalas serangan dengan dahsyat. Namun tidak lagi terlihat ungkapan-ungkapan ilmu yang menggiriskan hati. Tidak ada lagi tandang senapati pilihan yang hebat dan dahsyat karena mereka semua berada di kapal-kapal perang. Dua angkatan perang saling melontarkan butiran-butiran besi yang meluncur sangat deras. Ombak lautan pun seakan bersikap ramah dengan segala yang terjadi di permukaan.
Sekali waktu, tampak kapal perang Blambangan berlayar mendekati garis serang lawan lalu menggerakkan haluan untuk memancing lawan agar mengejarnya. Namun, itu seterusnya dapat dilakukan karena Demak paham tujuan Blambangan. Mereka tidak ingin kehilangan kapal dan prajurit lagi. Maka pengepungan disertai hujan peluru dijadikan satu-satunya pilihan Demak untuk menaklukkan Panarukan.
Keadaan yang hampir sama juga terjadi di daratan. Rombongan panjang orang-orang yang datang dari barat sama sekali tidak menemui benturan yang berarti. Setelah berhari-hari melintasi jalur darat, pasukan Demak akhirnya berhenti di tepi sungai yang tidak begitu lebar namun menyulitkan mereka. Jembatan-jembatan yang kokoh sudah dibongkar lalu digantikan dengan titian yang berbahan ala kadarnya. Ini jelas menjadi ancaman karena jembatan baru akan ambruk bila dilalui puluhan orang bersenjata lengkap. Mereka harus berbaris dalam jumlah belasan atau sedikit mengurangi jumlah kuda yang akan lewat di atas jembatan bambu itu.
Siasat yang digelar oleh para pemimpin yang bersekutu dengan Blambangan sepertinya berjalan dengan baik. Setelah menarik para prajurit, lalu membuat pertahanan yang sangat kuat di lereng-lereng gunung dan bukit-bukit kecil yang mungkin akan dilewati oleh pasukan darat Demak, kemudian mereka mengubah alat penyeberangan yang kokoh menjadi jembatan yang ringkih. Pada awalnya, rancangan ini menimbulkan kebimbangan dalam pikiran sebagian pemimpin perang Demak. Apakah mereka sedang memasuki sebuah jebakan atau pihak lawan memang telah menyerah? Namun ketika menemui kenyataan selanjutnya, para pemimpin angkatan darat pun membuat kesimpulan ; bahwa Blambangan sedang menunggu mereka di sebuah tempat lalu menyerang pada saat yang benar-benar telah diperhitungkan!