Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 19

“Jaga mereka baik-baik!” seru Ken Banawa pada Bondan saat ia telah berada di luar halaman banjar. Ia kemudian membawa kudanya berlari cepat mengambil jalan memutar menyusul Jalutama ke arah barat.

Pada saat itu, Bondan melangkah maju. Tetapi terdengar desah pelan dari balik punggungnya, “Sertakan aku, Bondan,” ucap lirih dua orang pengawal nyaris bersamaan. Tubuh mereka masih mengucurkan darah cukup deras.

Bondan berhenti melangkah. Ia menarik napas dalam-dalam. Ia telah melihat kekejaman di medan perang. Ia telah banyak melihat orang menemui kematian. “Tetapi tidak ada orang-orang sekejam orang di pedukuhan ini.” Tubuh Bondan berguncang hebat menahan gejolak membara di dadanya. “Baiklah, kita bertempur bersama,” jawab Bondan kemudian memapah pengawal itu lantas bersiap menyambut terjangan kelompok itu. Bondan berat untuk melangkah. Betapa tidak, ia bertempur dengan hati seperti disayat sembilu. Dua  pengawal memaksa diri berjalan terhuyung-huyung. Ia merasa seperti menyerahkan dua nyawa manusia gagah pada sekawanan serigala lapar. Bondan tidak peduli lagi dengan keselamatan dirinya sendiri, tetapi menjaga kedua pengawal yang hampir tak berdaya seperti membuat dirinya terhimpit Gunung Merapi.

“Buatlah kami bangga, Bondan,” lirih mendesah seorang pengawal yang usianya sebaya dengan Ken Banawa. Sementara kawannya menatap lurus ke arah lawan-lawannya.

loading...

“Kemarilah, aku sudah melihat langit terbuka lebar. Aku sudah melihat lereng-lereng perbukitan Menoreh,” gumamnya.

Sebagian dari lawan mereka telah mengelilingi Bondan. Dua pengawal Menoreh tiba-tiba dapat berdiri tegak. Sesuatu yang besar datang membantu mereka. Selagi mereka tidak sadar dengan kekuatan yang muncul secara tiba-tiba, Bondan dapat merasakan kekuatan yang menyelimuti mereka.

“Tidak lain dan tidak bukan. Inilah yang pernah dikatakan Eyang.” Bondan mengenang ajaran Resi Gajahyana.

“Saat manusia sudah merasa tidak ada batas untuk bersandar, saat ia merasa tidak mampu bergerak, di saat seperti itulah kekuatan besar dalam dirinya akan muncul. Kekuatan itu akan  mendorongnya menjadi lebih besar dan lebih kuat dari Merapi, Ngger.” Resi Gajahyana tatkala membenahi olah gerak Bondan saat usia belia.

“Bersiaplah kalian berdua!” Bondan memegang erat tangan dua pengawal yang berada di kedua sisinya. “Lemaskan tangan kalian. Kita akan bersama,” kata Bondan merendahkan tubuh pengawal.

Hukuman mati telah dijatuhkan. Para pengeroyok menerjang tiga lawan mereka dari berbagai penjuru. Terdengar suara Ki Kalong Pitu berteriak memberi aba-aba dan kata-kata yang memanaskan suasana. Lingkaran itu semakin kecil. Dua pengawal masih menunggu Bondan yang belum menunjukkan pergerakan.

Tiba- tiba Bondan mendorong Kang Sapta maju lalu ia bertumpu pada pundak Kang Sapta dengan dua tangannya. Ia menggenjot kedua kakinya, lalu melayang berputar sambil menendang beruntun ke arah penyerang. Serangan cepat dan mendadak itu membuat porak poranda barisan pengepung. Mereka yang berada di depan segera terpelanting karena sentuhan kaki Bondan mengenai kening dan dada mereka. Sementara itu Kang Sapta keheranan karena tidak merasa dibebani tubuh Bondan yang sangat ringan. Juwari yang sibuk menangkis hantaman senjata-senjata lawan tiba-tiba merasakan tubuhnya ringan. Ia bergerak sangat cepat seiring dengan ayunan tangan Bondan. Keduanya seakan sedang menari-nari berpasangan. Mereka berkelahi dalam jarak dekat. Bondan sibuk mengatur alur serangan bagi mereka bertiga. Kadang-kadang Bondan berpasangan dengan Kang Sapta, sekali waktu bersama Juwari. Meski begitu perlawanan mereka benar-benar membuat kelabakan kelompok penyerangnya.

Mereka bertiga berloncatan ketika badai serangan mulai menerjang, tetapi tiga orang ini sesekali mampu membalas serangan pengeroyoknya. Pertahanan mereka cukup rapat. Ketangkasan dan kecekatan Bondan mengamati pertempuran memang luar biasa. Meskipun tidak ada orang berilmu tinggi dalam barisan penyerang, namun jumlah dan keadaan mereka jauh lebih baik dari Bondan yang juga harus menjaga keselamatan dua pengawal.

Lambat laun pengawal Menoreh harus menerima kenyataan bahwa tubuh mereka semakin lemah. Juwari meninggalkan jasadnya terlebih dahulu menemui Penciptanya. Ia terjatuh ketika melepas tangannya dari genggaman Bondan. Juwari tak bergerak lagi. Namun para penyerangnya masih terus menghujani jasad yang tergolek lemas dengan senjata hingga tak dapat dikenali. Kata-kata kotor keluar dari mulut mereka berbarengan sumpah serapah dari yang lain. Sepertinya kebencian atau kegeraman memenuhi benak mereka hingga menjadi buta melakukan kekejian tiada tara.

Bondan dan Kang Sapta yang menyaksikan pun tak kuasa membendung air mata. Mereka kini bertempur dengan air mata terurai. Sesekali Kang Sapta mendengar Bondan terisak.

Matahari semakin meninggalkan bayangan ketika senja mulai merambati hutan di sebelah barat Kademangan Asem Gedhe. Samar-samar jejak kaki kuda dapat dilihat melalui cahaya yang menyelinap melalui sela-sela daun yang rimbun. Di sebuah persimpangan kecil, jejak-jejak itu kemudian menghilang.

Sebentar kemudian mendung berarak-arak datang mengurangi terang cahaya yang tersisa dari matahari yang beringsut tenggelam. Bondan masih berupaya untuk mencari jejak yang mungkin saja masih tersisa. Ia mendongakkan kepala dan bergumam, ”Hari sesaat lagi akan menjadi gelap.” Ia masih terus berjalan setapak demi setapak mencari jejak yang hilang. Di tengah rasa putus asa karena keadaan yang semakin gelap dan menghalangi jarak pandangnya, ia melihat sehelai kain yang tersangkut di sebuah ranting yang patah. Dari jarak yang cukup dekat masih tampak olehnya darah yang mengering.

“Mereka melewati jalur ini,” desah Bondan kemudian membaringkan jasad Kang Sapta. Bondan mencoba menelusuri jejak dengan lebih leluasa. Lamat-lamat terdengar olehnya kuda meringkik. Dipandangnya tubuh Kang Sapta membujur di atas rumput basah tersiram gerimis yang mulai turun ke bumi. Sejenak keraguan datang di hatinya, ia berkata lirih, ”Aku tinggalkan kau sendiri. Aku akan kembali dalam sekejap.” Sambil menarik napas dalam-dalam, Bondan berusaha menghalau keraguan untuk meninggalkan kang Sapta. Ia telah membuat keputusan, tubuh Bondan melayang ringan dan cepat di antara dahan dan ranting di dalam hutan itu. Ia berloncatan di atas pohon yang berjarak agak renggang mencari asal suara kuda yang meringkik.

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 9

kibanjarasman

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 7

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 5

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.