Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 10 Lamun Parastra Ing Pungkasan

Lamun Parastra Ing Pungkasan 30

Sejumlah senapati dari prajurit darat tampak sedang duduk dalam suasana yang menegangkan. Perbantahan terjadi di antara mereka. Wajah-wajah kaku menghiasi para pemimpin perang yang berasal dari banyak daerah. Sebagian memilih untuk tetap maju dengan segala akibat yang akan diterima tetapi sejumlah senapati melakukan penolakan keras!

Bila mereka tetap berada di tempat itu tanpa pergerakan, barangkali ketegangan akan membunuh setiap orang, begitu pendapat sebagian orang. Bila mereka bergerak maju, Blambangan akan melumpuhkan mereka lalu menghabisi semua orang tanpa perlawanan. Detak jantung prajurit Demak semakin kencang ketika berita kedatangan sekelompok orang dilaporkan oleh pengamat yang mendahului perjalanan mereka.melaporkan

“Tidak ada guna kita tetap berada di sini. Musuh akan datang sementara kita belum membuat persiapan,” ucap seorang senapati.

“Kita tidak siap? Apa maksudmu? Kita sudah bersiap sejak berangkat dari Demak. Di sini atau di sana, semuanya akan terbakar api perang,” tukas senapati yang berkeinginan agar mereka tetap menunggu.

loading...

Namun senapati yang pertama seolah tidak mendengarkan ucapan lawan bicaranya. Wajah senapati itu hanya memperlihatkan kegusaran yang menyala. Pikirnya, apa yang ditakutkan? Bukankah Blambangan sedang sibuk menghadang laju angkatan laut mereka? Namun ia tidak dapat memaksakan diri dengan menyerang bersama pasukannya sendiri. Ia mendengus kemudian berlalu meninggalkan temannya.

Gerak gerik senapati itu tidak luput dari pengamatan seseorang yang berada sedikit jauh dari tempat senapati itu bicara dengan kawannya. Orang ini begitu hebat menyembunyikan ilmunya yang sangat tinggi. Ia berada di tempat itu untuk mendorong pasukan Demak agar berani menyimpang dari perintah panglima perang mereka. “Ki Danupati tidak dapat dibiarkan sendiri dalam gelombang resah yang melanda hatinya. Aku harus melakukan sesuatu agar ia mendapatkan jalan keluar,” desisnya.

Usai merenung sejenak, ia berjalan mendekati Ki Danupati lalu menyampaikan maksudnya, “Memang sulit dipercaya bila pasukan Demak akhirnya gentar sebelum melihat benteng pertahanan lawan.”

Melihat orang berpakaian prajurit biasa lalu bicara padanya dengan suara yang berwibawa, Ki Danupati mengerutkan kening. “Pakaianmu adalah pakaian seorang prajurit. Nada bicaramu tidak menunjukkan bahwa engkau berasal dari golongan prajurit. Ucapanmu memberi kesan bahwa sesungguhnya engkau berkedudukan lebih tinggi dari seorang rangga. Siapakah dirimu?”

Orang itu tidak segera menjawab. Ia melihat lingkungan sekeliling Ki Danupati seperti sedang memeriksa keadaan. Setelah yakin tidak ada orang yang dapat mendengar pembicaraan mereka, orang itu berkata, “Saya akan mengenalkan diri, tetapi ada satu atau dua hal yang sebaiknya Anda ketahui.”

Kerut kening Ki Danupati semakin rapat. Ia bergumam. “Katakan,” perintahnya.

“Saya mendengar dan melihat Ki Danupati bicara dengan seorang senapati. Saya tahu bahwa Ki Danupati sebenarnya seorang pemberani. Namun Anda sedang terikat pada perintah untuk menunggu lawan keluar dari sarang. Tuan Senapati, saya tahu bahwa pasukan ini tidak sedang berada dalam bahaya. Para pemimpin pasukan ini sedang kalut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Mereka bimbang menghadapi dua pilihan, menyerang atau menunggu.”

“Berbelit-belit,” sergah Ki Danupati.

Orang asing itu tersenyum. Tenang ia berkata, “Kebimbangan tidak akan dapat membuat Demak keluar sebagai pemenang dalam peperangan di tempat ini. Kalian bukan orang-orang yang berkedudukan lebih rendah dari Blambangan. Keterampilan dan kemampuan kalian jauh lebih baik dari prajurit Blambangan. Maka, sesungguhnya, tidak ada alasan yang kuat dengan menahan seluruh pasukan di tempat yang jarang dilalui orang. Ada kebenaran yang sedang disembunyikan oleh para pemimpin prajurit Demak. Kebenaran yang terjaga dari pendengaran dan penglihatan Ki Danupati.”

“Kebenaran? Aku tidak mengerti tujuan pembicaraanmu.”

“Rupanya waktu seperti tidak lagi berteman dengan Ki Danupati,” kata orang asing itu dengan wajah menunjukkan perhatian. “Kita dapat melihat pasukan Demak yang duduk tanpa sandaran. Mereka membeku tanpa gerak. Sudah berapa lama mereka berada di tempat ini? Dan selama itu pula sama sekali tidak ada perubahan. Yang saya lihat hanya wajah-wajah muram yang tidak mempunyai masa depan. Itu adalah bahaya yang nyata. Tuan Senapati, saya tidak membual mengenai sesuatu yang saya sebut sebagai kebenaran. Tujuan sesungguhnya dari penaklukan Blambangan ini memang tidak diketahui banyak orang.”

“Meski aku sedang tidak ingin mendengar suara orang lain, tetapi…sepertinya engkau mempunyai persoalan yang menarik.”

“Ki Rangga, sebentar lagi mungkin seluruh prajurit Demak akan ditarik mundur. Namun, bila ternyata ramalan saya berlainan dengan kenyataan, maka bergerak maju hanya sebuah pemandangan yang menipu banyak mata. Barangkali Ki Danupati memang tidak diberi keterangan atau penjelasan lebih jelas selain rencana penaklukan ini. Blambangan, bagaimanapun, adalah negeri yang mewarisi watak dan sifat orang-orang Majapahit. Maka, wajar jika seseorang mempunyai anggapan bahwa Blambangan masih menyimpan pusaka atau ilmu atau sesuatu yang berharga yang berasal dari Majapahit. Ini yang tidak diketahui oleh kebanyakan tumenggung. Bahkan kecil kemungkinan Raden Trenggana memberitahukan itu pada patih Demak.”

Wedaran Terkait

Lamun Parastra Ing Pungkasan 9

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 8

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 7

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 6

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 5

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.