Sedangkan di tengah gulungan sinar kehijauan yang saling membelit, Toa Sien Ting tersentak bukan kepalang. Pada hari itu, untuk pertama kali, semenjak tiba di Tanah Jawa, Toa Sien Ting melakukan pertarungan dan ia tidak mengira bahwa yang menjadi lawannya – dan sangat tangguh – adalah seorang gadis yang sangat lincah. Tubuh Siwagati meliuk seperti tarian yang biasa terselenggara di istana raja. Namun demikian, Toa Sien Ting telah kaya dengan pengalaman sehingga cepat menguasai diri dan mulai menekan Siwagati dengan tongkat yang telah dilambari tenaga dalam.
Kelincahan Siwagati, yang luar biasa dapat dibatasi dengan pengalaman luas dari Toa Sien Ting, sudah tidak lagi mengejarnya. Toa Sien Ting menggeser kaki setapak demi setapak, terkadang memutar tubuh tetapi tidak bergeser dari tempatnya. Tongkat Toa Sien Ting berputar lebih cepat dan sesekali ia membenturkan ke tongkat Siwagati.
Terasa bagi Siwagati bahwa lawannya mempunyai kekuatan beberapa lapis lebih tinggi darinya. Meski begitu, ia tidak menunjukkan kelemahan dengan menahan rasa nyeri akibat getaran yang timbul dari benturan yang terjadi. Namun lambat laun Siwagati merasakan gerakannya terhalang oleh rasa nyeri di kedua tangannya. Rasa nyeri itu terasa hingga menusuk ke dadanya. Tiba-tiba ia melompat jungkir balik menjauhi lawannya, dalam waktu itu, Toa Sien Ting menyimpan rasa hormat pada Siwagati. Sebelum pedadaran baginya dimulai, Toa Sien Ting memperkirakan lawannya akan roboh terkulai sebelum pertarungan senjata menapak lima puluh jurus. Hanya saja, kekuatan hati Siwagati menjadi sebab utama sehingga mampu melanjutkan pertarungan itu, bahkan memaksa Toa Sien Ting harus mengungkap tenaga cadangannya.
Selagi Toa Sien Ting termangu-mangu mengagumi kehebatan Siwagati, tiba-tiba Siwagati kembali menyerang dengan hebat. Tongkat Siwagati berputar lebih cepat hingga mengeluarkan suara berdengung.
“Apa yang terjadi dengan anak ini?” pikir Toa Sien Ting. Kawan-kawannya terbelalak karena mereka tahu bahwa Siwagati belum sampai pada tataran penyingkapan tenaga cadangan. Namun kekuatan wadag yang tersimpan dalam tubuh semampai Siwagati, sungguh luar biasa.
Memang sulit untuk dipercaya di balik tubuh langsing Siwagati tersimpan tenaga yang dapat merobohkan seekor lembu. Sungguh, untuk saat itu, Toa Sien Ting sudah tidak lagi dapat berpikir lebih panjang. Dia harus segera mengakhiri pendadaran yang disaksikan juga oleh Ki Wisanggeni. Toa Sien Ting menyambut badai serangan Siwagati dengan lompatan pendek dan secara langsung ia membenturkan tongkatnya pada setiap putaran yang dibuat oleh Siwagati.
Nyaris bersamaan dengan gebrakan Siwagati.
”Buka regol!” perintah Ki Wisanggeni yang telah berada di depan rumah Ki Juru Manyuran. Penjaga regol bergegas melakukan perintahnya, sejenak kemudian ia telah kembali di halaman. Kala itu pertarungan seru dengan tongkat yang saling melibat dan mematuk sedang terjadi.
”Siwagati cukup tangguh dan namun kedudukan mereka tidak seimbang,” desisnya dalam hati dengan memberi hormat kepada Ki Sarwa Jala dan Ki Juru Manyuran. Sekilas ia menoleh tamu-tamu Ki Demang yang berada di bagian kirinya. Ki Wisanggeni memberi hormat dan mereka pun membalas penghormatan Ki Wisanggeni.
Sejurus kemudian terdengar keluhan tertahan dari Siwagati, kembali ia merasakan rasa nyeri pada tulangnya. Rasa nyeri itu merasuk hingga seperti meremas setiap jengkal tulang tangan dan dadanya. Toa Sien Ting lantas cepat mengakhiri perlawanan Siwagati dengan dua pukulan pelan yang menyentuh simpul urat di bagian leher dan pundak lawannya. Sentuhan itu menjadikan Siwagati terkulai lemas dan akhirnya roboh.
Tak lama kemudian, Ki Wisanggeni menyentak kuda lalu melompat di depan orang-orang asing.
”Kepung mereka!” perintah Ki Wisanggeni.
Keadaan seketika menjadi tegang. Dalam saat-saat itu, Ki Sarwa Jala bergegas membawa Siwagati ke dalam rumah. Tangan Ki Sarwa Jala cekatan menepuk bagian-bagian tubuh Siwagati untuk membuka jalan darah dan simpul pernapasan. Beberapa saat setelahnya Siwagati telah membuka mata dan mengeluh kesakitan.
”Jangan banyak bergerak, Ngger,” kata Ki Sarwa Jala, ”kau terlalu memaksa diri dalam adu senjata tadi. Lawanmu menggunakan sedikit simpanan tenaganya untuk memukul tongkatmu.”
”Dasar licik,” geram Siwagati sambil meringis kesakitan.
”Tidak, Ngger. Itu bukan suatu kelicikan karena sebenarnya kau akan melampaui batasan dalam dirimu. Dan itu pada akhirnya akan membawa akibat buruk bagimu.” Sambil berkata-kata, Ki Sarwa Jala mengoleskan ramuan yang terbuat dari dedaunan. Sesekali Siwagati menahan pedih ketika kulitnya terusap cairan dari ramuan yang dibuat oleh gurunya. Usai merawat muridnya, Ki Sarwa Jala bangkit dan beranjak keluar dari bilik Siwagati.
”Guru,” kata Siwagati lemah.
Langkah Ki Sarwa Jala tertahan. Ia memutar tubuhnya.
”Guru, bagaimana Guru mengatakan ia tidak berbuat licik? Bukankah saya sama sekali belum menguasai bagian untuk menyingkap tenaga cadangan? Artinya, tadi adalah pertarungan yang tidak seimbang”.
”Tidak seperti itu, Ngger. Ketika kau telah mampu menyingkap tabir kekuatan dalam dirimu, maka lawanmu tadi akan roboh lebih awal.” Senyum Ki Sarwa Jala mengembang.
”Apakah Guru sedang menghiburku?”
Ki Sarwa Jala menggeleng kemudian katanya, ”Tidak, Ngger. Kau akan menjadi terlalu besar jika gurumu harus menghiburmu dengan kata-kata yang lucu.”
”Baiklah, terima kasih Kiai.”
”Istirahatlah. Sementara aku akan mengamati keadaan di halaman.” Ki Sarwa Jala melangkah keluar bilik dan dilihatnya Ki Demang beserta Nyi Demang sedang menunggu dengan cemas.
”Bagaimana keadaan anak saya, Kiai?”
”Silahkan Nyi Demang melihatnya. Ia sudah cukup kuat untuk bertemu Nyi Demang.” Ki Sarwa Jala mengangguk hormat dan berlalu menuju halaman depan.
Nyi Demang bergegas menerobos ke dalam bilik. Katanya, ”Aku sangat takut kalau kau terluka parah.” Nyi Demang mengusap memar yang tampak pada tubuh anaknya. Isak tangisnya tertahan melihat luka yang diderita anaknya.
Siwagati tersenyum, ” Keadaan saya baik-baik saja, Bu.” Ia mengulurkan tangan mengendapkan riak-riak kecil perasaan hati seorang ibu. Siwagati menerima limpahan kelembutan dan perhatian selanjutnya dari nyi demang.
Semasa Ki Sarwa Jala membopong tubuh Siwagati yang terkulai lemas, Ki Wisanggeni telah mengepung empat orang asing dengan senjata merunduk. Liem Go Song dan Feng Kong Li menghunus senjata mereka dengan tubuh sedikit merendah. Sementara Tung Fat Ce masih mengamati keadaan, Toa Sien Ting telah mengurai cambuk rantainya.
”Ki Sanak,” berkata Tung Fat Ce, ”Ki Sarwa Jala tidak ingin pertumpahan darah terjadi di sini. Kita bergeser keluar jika kau akan menangkap kami.”
”Tidak. Pengepungan ini untuk membuktikan kalian memang pantas bekerja untuk kademangan ini,” tegas Ki Wisanggeni seraya menatap mata empat orang asing satu demi satu.