Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 3 Pendadaran

Pendadaran 1

Kademangan Grajegan adalah wilayah yang makmur pada masa itu. Terletak di lembah yang menghubungkan lereng Merbabu dengan Merapi, Grajegan seolah tidak mempunyai paceklik air. Sungai-sungai terus mengalir sepanjang tahun. Di bawah pimpinan Ki Juru Manyuran, kademangan ini berhasil meningkatkan hasil panen. Bahkan mampu menghasilkan banyak alat-alat pertanian hingga dalam jumlah lebih. Sumba Sena, anak lelaki Ki Juru Manyuran, kerap mulai melakukan perjalanan jauh. Ia mengadakan banyak pertemuan ke wilayah-wilayah Pajang, Glagah Wangi hingga Sima Menoreh. Jerih payah Sumba Sena membuahkan hasil ketika permintaan besi-besi alat pertanian mulai dikirim keluar kademangan.

Kemajuan setahap demi setahap yang dicapai Kademangan Grajegan menambah rasa hormat dan segan dari daerah di sekitarnya.Untuk menunjang kemajuan yang dicapai oleh kademangannya, Ki Juru Manyuran memandang perlu untuk meningkatkan kemampuan para pengawal kademangan. Ia mengundang beberapa pemimpin padepokan dan orang-orang yang dahulu pernah menjadi prajurit untuk melatih para pengawal. Mereka bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan pribadi para pengawal kademangan dan penguasaan gelar perang.

“Tentu saja saya harus mampu menjamin keamanan setiap orang yang berdagang dengan kademangan, Ki Buyut,” kata Ki Juru Manyuran pada suatu ketika. Ia meneruskan ucapannya, ”Oleh karenanya saya akan menambah lagi jumlah pengawal kademangan meskipun harus mengambil anak–anak muda dari luar kademangan ini.”

“Saya sependapat dengan Ki Juru. Dan mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku akan meminta Jalutama agar menyesap ilmu dari kademangan ini. Mungkin Ki Demang dapat membantunya membuka mata dan hatinya agar wawasannya semakin luas, seluas dan sedalam Anda tentunya,” kata Ki Buyut Giritama, pemimpin tertinggi Sima Menoreh, sambil mengangguk hormat.

loading...

“Itu langkah yang sangat baik, Ki Buyut. Beberapa waktu lalu, saya meminta Angger Sumba Sena berjalan lebih jauh dan hasilnya seperti yang Ki Buyut lihat sekarang ini,” kata pemimpin Kademangan Grejagan dengan  bangga. “Banyak pedagang dari lain wilayah yang mengambil hasil dari kami.”

Sebenarnyalah, Ki Juru Manyuran merasa gelisah karena tanah untuk persawahan mulai berkurang. Sebagian telah digunakan sebagai tempat bagi pande besi dan kerajinan-kerajinan yang lain. Tetapi, ia belum berencana untuk membuka hutan yang tersedia di sekeliling kademangan. Untuk membuka lahan baru, Ki Demang harus mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pemimpin pedukuhan dan kademangan yang ada di sekitar Kademangan Grajegan. Dan baginya, itu sangat merepotkan di kemudian hari. Tatap mata Ki Juru menerawang jauh menggapai punggung Merbabu yang lambat-lambat terdorong menuju senja. Dalam hati Ki Demang membuncah satu angan panjang dan cukup terjal untuk digapai.

“Angger Sumba Sena memang anak muda yang cekatan dan tanggap dengan keadaan. Ia memang tidak begitu lama di Menoreh, namun begitu, ia meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi anak-anak muda di sana.” Senyum Ki Buyut mengembang.

Ki Juru Manyuran mengerti maksud dari Ki Buyut, lalu katanya, ”Benar. Saya sendiri juga mempunyai perasaan yang sama dengan Ki Buyut. Apalagi usianya sudah hampir cukup untuk sebuah kehidupan baru.” Ia termenung beberapa lama. Pada waktu mengucapkan itu, Ki Juru Manyuran teringat Siwagati yang dari waktu ke waktu semakin menunjukkan kedewasaan sebagai perempuan. Namun begitu, keraguan membungkus hatinya karena sikap manja yang ada dalam diri Siwagati.

“Ah,” desah Ki Juru Manyuran tanpa sadarnya. Sejenak ia terkejut lalu menyadari bahwa di hadapannya adalah seseorang yang mungkin akan mempunyai hubungan khusus dengan keluarganya.

Sedikit berbeda dengan Ki Juru Manyuran. Ki Buyut Menoreh tidak ingin mendesak Jalutama untuk membina kehidupan dengan seseorang yang dapat mengerti keadaan dirinya. “Ia masih ingin meluaskan wawasan dan memanjangkan langkah-langkahnya. Dan aku harus menyadari karena bagaimanapun juga masa depan Sima Menoreh akan berada di pundak Jalutama,” bisik Ki Buyut pada dirinya sendiri. Ia teringat ketika kakeknya, Ki Giriwangsa, banyak memberi keleluasaan pada ayahnya, Ki Girindanu. Begitu pula ketika ia mewarisi Sima Menoreh yang sempat mengalami kemunduran sepeninggal ayahnya.

“Tetapi kemunduran itu bukan karena aku sebagai penyebabnya. Peralihan dari Kadiri ke Majapahit adalah penyebab yang utama. Jika bukan Ki Tumenggung Purnabawa tidak memaksa diri untuk menguasai Sima Menoreh sudah tentu tidak akan terjadi peperangan. Tetapi keterlambatanku untuk pulang juga dapat menjadi pemicu Ki Purnabawa untuk memasuki Sima. Baiklah, setidaknya aku dan Jalutama tidak akan mengulang kesalahan di masa lalu,” desahnya dalam hati sembari mengusap wajah yang tidak basah oleh keringat.

“Jadi…, baiklah, Ki Buyut. Dalam waktu dekat saya akan mengunjungi Menoreh. Tentu akan ditemani beberapa orang tua dan Sumba Sena sendiri,” Ki Juru Manyuran menutup perbincangan senja itu.

Demikianlah akhirnya Ki Buyut Menoreh meminta diri untuk kembali pulang ke Sima Menoreh. Ia sudah bermalam beberapa lama di Grajegan dalam usahanya untuk membuka jalur perdagangan secara khusus dengan Ki Juru Manyuran, dan sudah barang tentu juga perihal khusus yang harus dirundingkan. Namun untuk hal itu, sepenuhnya Ki Giritama akan menyerahkan keputusan pada anaknya, Jalutama.

“Ki Buyut akan kemalaman di perjalanan,” kata Ki Demang.

“Sudahlah, Ki Demang. Sesekali saya ingin mengenang kembali masa muda dengan menjelajah daerah yang sebenarnya sudah tak asing. Saya kira saya juga membutuhkan kesegaran untuk otot yang sudah lama tak bergerak,” ramah Ki Buyut Menoreh berkata.

Ki Juru Manyuran tersenyum lebar, agaknya ia mengerti betapa penat jiwa Ki Giritama. “Sebaiknya memang ia menyegarkan diri dengan berjalan–jalan di malam hari,” desah Ki Juru Manyuran pada dirinya sendiri.

Menjelang wayah sepi bocah, Ki Buyut meninggalkan Kademangan Grajegan ditemani dua orang pengawal yang menyertainya dari Sima Menoreh.

Dalam kurun waktu itu, jalur Kademangan Grajegan dan Sima Menoreh masih banyak melewati hutan luas yang pepat dan banyak tumbuh pohon-pohon yang sangat besar. Meskipundemikian, jarang sekali ada gangguan dari penyamun di jalur itu. Selain belum seramai jalur yang lain, pekatnya hutan dan jalanan yang berbahaya membuat para penyamun sendiri kesulitan menguasai daerah. Sehingga kebanyakan dari mereka memilih sasaran di jalur yang menghubungkan wilayah barat Merbabu hingga sisi timur kota Pajang. Ruas itu telah lama menjadi jalur perdagangan antardaerah, dan lebih aman karena termasuk wilayah yang sering didatangi prajurit peronda dari Pajang.

Sementara itu, dalam jajaran pelatih pengawal kademangan terdapat empat orang asing yang berasal dari Tiongkok. Empat orang ini tiba di Kademangan Grajegan setelah melarikan diri dari pengejaran Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan.

 

Sebelumnya Cerita Silat Majapahit

Wedaran Terkait

Pendadaran 9

kibanjarasman

Pendadaran 8

kibanjarasman

Pendadaran 7

kibanjarasman

Pendadaran 6

kibanjarasman

Pendadaran 5

kibanjarasman

Pendadaran 4

kibanjarasman

1 comment

Papua : Yahukimo Dan Desa Kilise Yang Terkenal Menarik - SuaraKawan.com 08/10/2021 at 13:56

[…] Baca Cerita Silat : Bara di Borobudur […]

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.