Agaknya para pengawal enggan menjawab pertanyaan Ki Wijil.
“Mungkin ini adalah bagian sikap mereka yang harus berhati-hati terhadap orang yang baru dikenal, dan boleh jadi Ki Jagabaya yang menuntun mereka untuk selalu siaga.” Ki Wijil bergumam dalam hatinya.
Sebentar kemudian Sayoga telah duduk di sekitar mereka. Para pengawal menyilahkan Sayoga untuk makan pagi yang sebenarnya sudah terlambat. Sedikit gurauan mereka saat Sayoga melahap makanan yang disisakan untuknya. Sayoga memang seorang yang mudah bergaul dan sedikit periang, sehingga para pengawal merasa senang kepadanya, apalagi sejak menyaksikan kemampuan Sayoga ketika bertarung untuk pertama kali di pedukuhan melawan Ki Jagabaya.
Para pengawal lantas meminta diri untuk kembali ke sawah dan pategalan mereka. Nyi Wijil membantu para pengawal untuk mengemasi dan mengembalikan peralatan makan ke bangunan kecil di belakang banjar yang agaknya menjadi tempat tinggal bagi sepasang suami istri yang menunggu banjar.
Sepeninggal tiga pengawal, Sayoga menceritakan bahwa ia telah selesai melaksanakan pesan ayahnya, dan juga mengenai kesulitan yang didapatkan semasa mesu diri sejak pagi.
Ki Wijil menganggukkan kepala lalu berkata, ”Itu pencapaian yang bagus. Kau akan dapat naik selapis lagi jika dibandingkan semalam. Kelenturan tidak selalu menjadi kelemahan, tetapi kelenturan akan menjadi kekuatan yang besar jika dapat mengenali wataknya. Air dan angin adalah kekuatan yang terpendam jika kita tidak mengamati keduanya. Keduanya dapat mendatangkan bencana besar apabila kita tidak bersahabat dengannya.”
Sayoga mendengar penuturan ayahnya dengan mata menerawang menatap kayu-kayu yang menyanggah atap banjar. Setelah membenahi letak duduknya, ia bercerita tentang orang yang berkelebat secepat bayangan dan perkampungan yang ia lihat di hutan.
Nyi Wijil mengerutkan kening lalu bertanya, ”Apakah kau melihat kuda yang ditinggalkan orang itu?”
Sayoga menggelengkan kepala. Katanya, ”Saya pikir akan menjadi kesulitan jika saya kembali hanya untuk melihat kuda itu. Apalagi jika mengambilnya.” Ia menoleh pada ibunya, lalu, ”Apakah saya harus bercerita kepada Ki Jagabaya?”
Nyi Wijil dan suaminya bertukar pandang lalu menggelengkan kepala. Kata Ki Wijil, ”Nanti malam jika keadaan memungkinkan, kau dapat ceritakan itu kepadanya.”
Sayoga tiba-tiba maju setapak dengan wajah tegang, ia bertanya, ”Apa yang menjadi penghalang diantara ayah dengan Ki Jagabaya? Tentu ayah dan Ki Jagabaya masih seusia saya ketika itu atau mungkin sedikit lebih banyak dari saya saat ini.”
“Baiklah, aku katakan semuanya padamu,” kata Ki Wijil kemudian bangkit dan berjalan menuju tangga banjar.
Sesaat ketika bayangan akan berada tepat di bawah benda, datang seorang lelaki memasuki halaman banjar bersama dua orang pengawal pedukuhan. Langkah lelaki itu menunjukkan bahwa ia adalah orang yang cekatan dan tangkas. Dari jauh ia mengangguk hormat pada Ki Wijil yang menghadap arah kedatangannya.
Seorang pengawal mendahului lelaki itu, bisiknya pada Ki Wijil, ”Ki Bekel telah tiba dari Tanah Menoreh.”
Sejenak Ki Wijil mengernyitkan kening lalu tersenyum dan menyambut kedatangan Ki Bekel.
Ki Bekel dengan lincah menaiki anak tangga banjar. Tubuhnya yang agak gemuk serasa ringan ketika ia cekatan menapak setapak demi setapak dengan langkah cepat. Senyumnya mengembang saat ia sedikit membungkuk hormat pada ketiga tamu yang datang dari jauh.
Setelah dua orang pengawal yang mengiringinya menyiapkan hidangan kecil sekedarnya, Ki Bekel dengan ramah menanyakan keadaan Ki Wijil sekeluarga. Para pengawal pun tahu diri kemudian menjauh menuju regol banjar. Beberapa saat lamanya Ki Bekel dan tiga tamunya berbincang tentang keadaan masing-masing.
“Memang benar aku baru saja tiba dari Tanah Perdikan Menoreh,” Ia terdiam sejenak lalu mengambil nafas panjang. Raut mukanya sedikit berubah. Wajah sumringah dan riang yang ia tunjukkan pada awal pertemuan mendadak berubah seperti tertutup awan gelap.
Sebentar kemudian ia meneruskan, ”Aku membawa kabar yang sebenarnya aku sendiri juga masih merasa berat untuk mengatakannya.” Kembali terdengar ia menghela nafas panjang. Lalu untuk sementara Ki Bekel masih berdiam diri.
Setelah ia merasa dadanya agak lapang, ia kembali berkata, ”Ki Gede Menoreh adalah kerabat jauh dari keluargaku. Namun kesulitannya adalah kesulitan bagiku juga.”