Orang-orang, seluruhnya yang berada di dalam kedai, sedang membangkitkan semangat. Udara yang panas semakin cepat mendorong ketegangan menuju puncak. Dalam waktu itu, sepertinya matahari dan atap kedai tidak lagi mempunyai jarak. Semakin lama terasa semakin dekat dan kian mendekat hingga salah seorang dari mereka – anak buah Lembu Jati – berteriak, “Bukankah sekarang memang sudah waktunya?”
Kebanyakan atau mungkin semua orang tetap tidak bersuara. Mungkin mereka sedang sama-sama berhitung tentang kemungkinan dapat keluar dengan selamat. Barangkali juga mereka sedang mengukur jarak ke jendela atau pintu untuk menghalangi musuh yang hendak melarikan diri, atau masih banyak kemungkinan yang lain yang sedang mereka pertimbangkan. Kebanyakan atau mungkin semua orang telah merasa tidak dapat bebas berbicara atau bergerak meski hanya sejengkal jarak. Mereka seluruhnya tergantung pada kemampuan membaca perkembangan atau pergerakan yang mungkin terjadi secara mendadak.
Adipati Jipang, Arya Penangsang, memahami perkembangan ini sekalipun sikapnya seolah-olah tiada peduli. Sebelum memasuki kedai, Arya Penangsang telah membuat perkiraan jarak kedai dengan barisan pohon yang berada di samping kiri dan kanan. Dia juga sudah mengingat letak sungai yang diperkirakannya berjarak enam puluh langkah lebar dari kedai. Sungai yang sudah pasti mempunyai kelokan dan dipadati oleh semak-semak yang lebat sepanjang tepinya. “Andaikan ada bala bantuan, di mana mereka bersembunyi?” demikian pertanyaan Arya Penangsang dalam benaknya. Berapa lama mereka dapat mengejar bila seorang saja sanggup keluar dari kedai? Bagaimana bila mereka bertiga yang akhirnya terbunuh dalam perkelahian yang nyaris dapat dipastikan akan terjadi?
“Apakah tidak ada orang yang bersedia menumpuk bangku atau menepikanya?” Gagak Panji berkata lantang tapi matanya tidak tertuju pada arah tertentu.
Itu adalah tanda bagi Arya Penangsang!
“Sekarang!” Tiba-tiba pintu kedai tertutup lalu dislarak dari luar! Enam jendela segera tertutup dan terkunci dari luar! Adipati Jipang tersebut bergerak dengan kecepatan yang sulit dinalar. Pergerakannya tidak dapat dihentikan oleh orang-orang yang sedang mengincar mereka bertiga!
Jengkel karena siasat Lembu Jati ternyata didahului oleh Gagak Panji dan Arya Penangsang, Ki Mojo Tamping menggeram. “Anak-anak setan!” maki Ki Mojo Tamping. Dia berseru agar pengikutnya segera menyerang Adipati Jipang bertiga! “Serang!”
Sebuah suara berwibawa, Ki Tumenggung Prabasena, menggema di dalam kedai, “Hentikan dan menyerahlah!”
“Bunuh mereka semua! Tak perlu berbelas kasih dengan membiarkan mereka hidup. Banyak kerugian bila mereka menjadi tawanan!” seru Ki Bejijong membalas perintah Ki Tumenggung Prabasena.
“Apakah kalian tuli?” seru Arya Penangsang. “Menyerahlah atau kalian lebih baik membunuh diri sendiri!”
Namun perintah Ki Prabasena dan Arya Penangsang tidak dapat memengaruhi mereka yang telah merasa bahwa ; siang itu adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan hasrat mereka menjadi nyata, yaitu menghabisi kerabat Raden Trenggana! Berseling desing senjata yang keluar dari selongsong, mereka menyisingkan lengan dengan tatap mata beringas. Kilau pedang, golok dan parang memantul muram karena cahaya yang berkurang. Bagi mereka, menghabisi tiga keponakan Raden Trenggana adalah suatu keniscayaan untuk merebut singgasana. Adipati Jipang Arya Penangsang, Ki Tumenggung Prabasena dan Ki Rangga Gagak Panji adalah sekelompok orang yang harus dipisahkan dari Adipati Pajang, Mas Karebet. Pendapat itu cukup memadai untuk dipertimbangkan ketika seseorang berhasrat kuat menguasai Demak. Seandainya Raden Trenggana tewas karena peristiwa Panarukan, itu bukan satu-satunya jaminan segalanya akan berjalan dengan mulus. Raden Trenggana masih mempunyai orang-orang kepercayaan yang dapat menyelamatkan Demak dari jari-jari maut binatang ganas. Mereka bertiga ditambah Adipati Hadiwijaya termasuk orang-orang yang kuat dan sangat dipercayainya. Maka, inilah yang dijadikan sebagai sasaran antara yang sedang dijalankan oleh Lembu Jati dan kelompoknya.
“Bertempur!” seru Ki Tumenggung Prabasena.
Itu akan menjadi pertempuran yang menentukan keselamatan mereka dan akan memengaruhi suasana di ibukota Demak. Tentu, yang dimaksudkan oleh Ki Tumenggung Prabasena adalah perkelahian yang memusatkan segenap jiwa dan pikiran disertai pengerahan kecakapan dalam gelar yang tidak perlu dibicarakan lagi. Itu bukan pertempuran yang mempunyai tujuan yang sama dengan pertempuran Panarukan. Itu adalah pertempuran belasan atau puluhan orang tetapi akan dapat memberi warna pada perjalanan Demak selanjutnya. Meski terjadi di dalam kedai yang sederhana, tetapi tekad tiga kerabat Raden Trenggana begitu jelas terlihat dari bahasa tubuh dan sinar wajah. Demikian pula para pengeroyoknya. Mereka memancarkan sorot mata yang teguh dan wajah yang menyiratkan keyakinan ; pasti dapat menguasai Demak!
Karena sadar bahwa tiga mangsa mereka mempunyai kemampuan yang tidak sembarangan, Ki Mojo Tamping meneriakkan aba-aba berupa perintah mengubah susunan barisan serang. Anak buahnya menyambut dengan pekikan-pekikan perang, berpindah sambil meloncat liar dan memutar senjata tanpa arah.
Arya Penangsang memperhatikan perubahan itu sambil mengatur siasat dengan cara membatasi jarak jangkau mereka. Itu adalah cara yang berdaya guna tinggi ketika dia juga akan memulai serangan. Perhitungan yang sama pun sedang ditempuh oleh Gagak Panji dan Ki Prabasena di ruang pikiran masing-masing. Sebuah tebasan dari depan akan disambut tebasan lain dari arah yang berbeda, ini adalah pemikiran utama mereka bertiga. Maka, sebagai orang yang mempunyai wawasan luas dalam peperangan, mereka bertiga lantas mengikuti perubahan dengan gerakan-gerakan yang mengesankan pertahanan yang tangguh.
Adu teriak, pertengkaran suara pun menghebat! Dimulai Ki Bejijong yang melompat panjang menerjang Arya Penangsang, sekelompok orang lainnya pun menghujani Gagak Panji dengan senjata telanjang.
Perkelahian sengit dan mendebarkan pun meledak di dalam kedai!
Liar dan ganas, orang-orang yang mengeroyok kerabat Raden Trenggana itu menyabetkan senjata. Berteriak-teriak gaduh. Memaki dan mengumpat tanpa aturan. Meskipun setiap saat mereka dapat mengubah arah lalu menebaskan senjata pada lawan terdekat, tetapi mereka telah terbagi menjadi tiga kelompok petarung. Poh Kecik, Ki Bejijong dan Ki Mojo Tamping masing-masing memimpin orang untuk menyerang Arya Penangsang sekalian.
Tekanan demi tekanan terus berlangsung, sampai akhirnya Ki Tumenggung Prabasena memperingatkan dua saudaranya agar tidak menggunakan ilmu berdaya hancur tinggi.
“Tutup saluran ilmu kalian! Mereka adalah orang-orang goblok yang tidak tahu diri, tetapi jangan bunuh mereka!” perintah Ki Tumenggung Prabasena pada Adipati Jipang dan Ki Rangga Gagak Panji.
Dalam keadaan itu, Arya Penangsang tidak mempersoalkan mengenai orang yang memegang kendali. Baginya, Ki Prabasena adalah saudara tua yang berarti kadang-kadang mempunyai wibawa dan pengaruh pada dirinya. Hubungan darah berada di depan pada keadaan tertentu. Maka, walaupun secara kedudukan Ki Prabasena dapat dikatakan lebih rendah dari Arya Penangsang namun silsilahnya jauh lebih tua.
“Mengapa, hah? Mengapa? Kalian takut terbunuh dengan ilmu kalian sendirikah?” sahut Poh Kecik. yang menjadi pimpinan sejumlah orang yang mengepung Gagak Panji.
Datar wajah Ki Rangga Gagak Panji ketika menyahut, “Selain mengumpat dan memaki, apalagi yang dapat kau lakukan? Marilah, berkelahilah seperti seorang lelaki sejati!”
Serentak, orang-orang yang dipimpin Poh Kecik kembali menyerang Gagak Panji. Senjata berdesing, mengoyak udara bersamaan dengan pekik mengguntur dari mulut orang-orang bersekongkol menumbangkan Raden Trenggana. Bibir Gagak Panji mengatup rapat. Napasnya tetap teratur tetapi genderang perang berbunyi bertalu-talu di sepanjang peredaran darahnya. Dia menggunakan bangku sebagai tameng bertahan hingga rusak. Gagak Panji lantas menggunakan dua kaki bangku yang agak panjang sebagai senjatanya. Pada saat demikian, para lawan Gagak Panji seolah sedang mengincar ular pemangsa yang sedang mendesis. Ngeri!