Mereka berpisah dengan pemahaman bahwa masing-masing mempunyai tanggung jawab yang harus diselesaikan sebagai akibat dari rencana besar Raden Trenggana. Adipati Jipang, Arya Penangsang, harus secepatnya tiba di ibukota Demak terlepas dari segala yang akan terjadi. Tetapi keadaan lain pada akhirnya menahan Ki Tumenggung Prabasena serta Ki Rangga Gagak Panji yang tidak dapat melanjutkan perjalanan bersama Arya Penangsang. Mereka mengerti bahwa yang terjadi di dusun kecil itu bukan suatu kesalahan mereka memutuskan tempat singgah, tapi karena sekelompok orang memang ingin memisahkan Raden Trenggana dari kawalan setia kerabatnya.
Mereka bertiga pun berpisah dengan api menyala di dalam dada. Api yang baru saja disulut oleh para pengintai kekuasaan di Demak. Mereka tidak begitu memikirkan keadaan di Blambangan yang telah diserahkan pada Hyang Menak Gudra bersama orang-orang yang menghargai perjanjian.
Dalam waktu itu, ketika tubuh Arya Penangsang sudah tidak lagi dapat dipandang, Gagak Panji berkata, “Sebaiknya kita mencari bantuan untuk menyeret sekelompok pecundang ini ke Jipang.”
Sambil merapatkan dua telapak tangannya pada dua pipi, Ki Prabasena menyahut, “Aku kira itu justru akan mendatangkan bahaya baru. Aku tidak mengkhawatirkan keselamatan kita berdua, tetapi jika ada lagi penyerbuan, maka, bisa jadi, perhatian mereka tidak teralihkan.”
Gagak Panji menggerakkan kepala berulang-ulang. “Mungkin itu ada benarnya. Namun saya pikir, bila ada penyergapan kedua kali maka itu dapat menjadi tanda bahwa kita tidak menutup mata. Atau barangkali mereka dapat menganggap kita masih tidak mengetahui perkembangan yang sedang terjadi. Kita mungkin masih dianggap bodoh oleh mereka.”
“Marilah, sebelum kita lanjutkan perjalanan ke Jipang,” ajak Ki Tumenggung Prabasena pada Ki Rangga Gagak Panji, “kita ikat orang-orang ini. Tidak ada yang perlu ditutupi dari bagian wajah mereka supaya orang-orang tahu bagaimana nasib mereka bila menantang Demak.”
Mereka berdua lantas membelit leher para pengikut Ki Maja Tamping dengan simpul sederhana, lalu menyambungkannya dengan tiga orang lain agar menjadi satu barisan dalam satu ikatan. Sepasang tangan mereka pun terikat erat dengan bagian pinggang. Sulit bagi mereka untuk lolos karena apabila salah satu dari mereka berusaha melarikan diri, maka barisannya pasti terseret pula. Dengan demikian, Ki Prabasena dan Gagak Panji pun cukup mengendalikan tawanan dengan satu hentakan saja.
Angin berbisik perlahan melalui hembusan yang menyejukkan. Daun-daun bambu bergesek dan menimbulkan suara gemerisik seperti kaki yang menginjak dedaunan kering. Tidak ada kesempatan bagi pengikut Ki Maja Tamping untuk meraung keras, lalu mengeluarkan segala ilmu simpanan karena mereka sedang membayangkan kebinasaan yang sedang menanti di Jipang. Mereka enggan pula mengangkat wajah tinggi-tinggi untuk memanjatkan harapan agar dapat melepaskan diri dari cengkeraman dua orang kepercayaan Arya Penangsang.
Setelah bertanya pada salah seorang wanita yang berjalan beriringan dengan sejumlah perempuan, Ki Prabasena mengarahkan para tawanan menuju rumah bekel pedukuhan. Sesampainya di depan rumah bekel, Gagak Panji menolak ajakan bekel pedukuhan yang meminta agar mereka berdua bersedia masuk ke dalam rumah. Gagak Panji dan Ki Prabasena tidak sedang meminta izin meninggalkan dusun, tapi lebih pada penyampaian pesan bahwa pedukuhan mereka berada di bawah pantauan peronda yang akan dikirim dari Kadipaten Jipang. Tentu itu bukan peringatan main-main karena Gagak Panji bersuara dengan nada penuh ancaman.
“Sayang,” kata Gagak Panji, “aku tidak mempunyai waktu untuk bersoal jawab dengan Anda, Ki Bekel. Aku mencukupkan diri dengan berpikir bahwa Anda tidak mengetahui rencana dan tidak terlibat dengan gerakan mereka. Tapi ini adalah peringatan supaya Anda tidak menganggap suasana hening adalah gambaran dari rasa aman sesungguhnya. Andaikata kami berpikir gelap, kepala Anda akan dapat dilihat banyak orang ketika tergantung pada salah satu dahan yang ada di hutan kecil di belakang dusun. Kami tidak ingin berburu. Jadi, aku minta, Ki Bekel dapat menolong orang seisi dusun dengan tidak bersikap atau berpikir neko-neko.”
“Saya akan perhatikan pesan Ki Rangga,” ucap bekel pedukuhan setelah Gagak Panji mengenalkan diri sambil memperlihatkan tanda kepangkatan prajurit.
Gagak Panji menebar pandangan berkeliling. “Orang-orang ini sudah mendapatkan bukti bahwa tidak ada penolong bagi mereka di sini,” katanya. Kemudian dia berpaling pada para tahanan, lantas berseru, “Perhatikan diri kalian baik-baik, apakah ada orang yang menolong kalian saat ini?”
Tidak ada jawaban dari para pengepung yang sudah tertawan.
“Apakah kalian yakin bahwa orang yang menyuruh kalian, yang memberi perintah pada kalianm yang menjanjikan bayaran tinggi pada kalian akan dan pasti mempunyai keberanian dengan merebut kalian dari tangan kami di dalam perjalanan?” Gagak Panji kembali bertanya.
Masih tidak ada jawaban dari para pengepung yang sudah tertawan.
“Bagus,” sambung Gagak Panji. “Bila demikian dan kemudian seperti itu, aku dapat meminta Adipati Jipang atau Ki Patih Matahun agar meringankan hukuman bagi kalian.”
Ki Prabasena maju selangkah, kemudian berkata, “Baiklah. Ki Bekel, kami akan mengundurkan diri dan meninggalkan pedukuhan Anda. Rahayu.”
“Rahayu,” ucap pelan bekel pedukuhan diikui gerak hormat tanpa mengucap kata lebih banyak. “Tak perlu aku menyahut dengan ucapan aneh-aneh,” pikirnya, “setiap kata yang aku ucapkan dapat saja menjadi senjata yang menusukku lebih dalam.”
Matahari semakin merapat pada tempat yang menjadi kedudukannya ketika terbenam. Dalam waktu itu, Arya Penangsang telah melintasi sungai yang sangat lebar dengan sebuah perahu yang sanggup menyeberangkannya tanpa meninggalkan kuda. “Semestinya ada seseorang yang membuntutiku,” gumam Arya Penangsang dalam hatinya. “Cukup aneh karena aku tidak dapat mengetahui keberadaannya meski perasaanku mengatakan ada penguntit di belakangku.”