Beberapa hari setelah Toh Kuning meninggalkan barak pasukan khusus, pecahlah perang antara Kediri dengan Tumapel. Peperangan dahsyat yang melibatkan ribuan orang, pertarungan siasat-siasat cerdas di Desa Gantar membara dan membakar Kediri.
Di daerah lain, sekelompok orang berjalan cepat menyusur tebing-tebing curam dan jalanan yang terjal, bahkan tak jarang mereka harus mendaki tebing tegak lurus untuk mempersingkat waktu tempuh.
“Kita telah mendekati kotaraja,“ berkata seorang yang sepertinya ia adalah pemimpin kelompok itu. Lalu, ”Kita akan lebur kotaraja dari dalam. Aku harap berita itu benar.”
“Ken Arok! Berita seperti apa yang belum terdengar olehku?” kata seorang yang berusia lanjut dan berjalan di tengah-tengah rombongan.
“Bahwa Toh Kuning melepaskan diri dari pasukan khusus dan menetap di Alas Kawitan,” jawab Ken Arok. Ia menambahkan, ”Aku sungguh-sungguh berharap Toh Kuning tidak turun di medan perang dan benar-benar di Alas Kawitan.”
“Jika tidak?” sahut orang tua itu lagi.
“Malapetaka akan menjemput prajurit Tumapel. Meski begitu, Kediri tidak akan menang melawan Tumapel apabila kita berhasil membawa keluar Kertajaya,” jawab Ken Arok.
“Sepertinya kau jerih jika melawan Toh Kuning,” orang tua itu tersenyum sambil berkata,”kita akan menghancurkan Kediri meskipun Toh Kuning berada di tengah-tengah mereka. Kita tidak mungkin berhenti saat ini, segala sesuatu telah berjalan dengan berbagai akibat yang mungkin akan menyertai banyak orang.”
Di sebuah lembah yang diapit dua tebing yang curam, kedatangan orang-orang Tumapel telah diketahui oleh pengawas yang ditempatkan oleh Toh Kuning. Pengawas ini kemudian berlari cepat mendatangi tempat seorang penghubung yang terletak paling dekat dengannya. Secara berantai mereka saling memberitahukan kedatangan sekelompok orang yang merintis jalur baru.
Tibalah kemudian berita itu di hadapan Toh Kuning.
Katanya, “Keterangan itu sudah pasti dan aku yakin mereka adalah orang-orang Ken Arok. Meskipun kabar itu dapat dikatakan belum menghasilkan kepastian, tetapi menyambut mereka adalah pekerjaan yang pasti kita lakukan.”
Pandang tajam Toh Kuning menabur wibawa pada anak buahnya. “Kalian tidak perlu mencemaskan perbedaan jumlah jika mereka datang dengan kekuatan lebih banyak dari kita. Namun merintis jalur baru hanya dilakukan oleh orang-orang terpilih. Mereka mungkin mempunyai pengalaman, tetapi kita mempunyai keyakinan dan kebersamaan. Kita akan sampai pada babak terakhir yang lepas dari hasil peperangan yang terjadi saat ini.”
Lantas para pemimpin kelompok kemudian mempersiapkan diri. Di bawah aba-aba Toh Kuning kini mereka bergerak maju menyambut kelompok yang datang dari arah berlawanan. Mereka akan berjumpa di mulut lembah yang dibatasi dinding tebing cadas.
Matahari tidak tampak payah ketika mendaki tangga langit sementara cahayanya berusaha menyusup hingga menyentuh tanah. Kicau burung dan sesekali terdengar auman harimau seperti tidak peduli dengan ketegangan yang merambati pasukan Toh Kuning.
Toh Kuning, yang berjalan paling depan, tiba-tiba melejitkan tubuh lalu memanjat sebatang pohon yang tinggi dengan ringan. Dalam sekejap ia telah berada di puncak pohon. Segenap perhatian dikerahkan untuk memusatkan daya penglihatan agar dapat menembus jauh dan melihat bayangan yang tersembunyi di balik dedaunan.
Sekejap kemudian ia melayang turun. Katanya, ”Kita akan berpisah dan melingkari jalur itu lalu menyergap mereka di dekat batu yang berujung lancip.”
Ia menunjuk sebuah tempat yang berjarak selemparan anak panah untuk menyergap. Kemudian ia memberitahu gelar yang akan mereka gunakan dan beberapa pesan penting lainnya. Toh Kuning berjalan jongkok dan mengendap di balik sebatang pohon dan ditemani oleh sejumlah anggotanya. Lalu ketika kelompok yang diduganya berasal dari Tumapel telah muncul dari balik pepohonan, Toh Kuning keluar menyambut mereka.