Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 20

Gelapnya kedalaman hutan merintangi penglihatannya untuk dapat melihat dari jauh. Bondan bergeser semakin dekat pada sumber suara. Dalam kedudukannya yang sekarang, Bondan dapat mengenali sosok Ken Banawa. Sekejap kemudian Bondan telah berbalik arah dan meluncur sangat cepat menjemput Kang Sapta. Tanpa kesulitan mencari arah untuk kembali ke Kang Sapta, Bondan telah berdiri tegak dengan tubuh Kang Sapta berada dalam gendongannya. Membutuhkan waktu sedikit lebih lama bagi Bondan karena keadaan yang semakin gelap untuk mencapai tempat ia melihat Ken Banawa.

“Bersembunyi!” perintah Ken Banawa kepada semua orang di sekelilingnya. Ia  menunjuk arah tertentu yang diperkirakannya akan dilewati orang yang langkah kakinya telah terdengar.

Jalutama, Ki Swandanu dan lainnya segera melakukan perintah Ken Banawa tanpa banyak bertanya. Jalutama dan tiga pengawal bersembunyi di balik tanaman perdu, dan Ki Swandanu serta Ki Hanggapati cepat menyebar mencari tempat tertutup.

Seorang pengawal menggelengkan kepala ketika temannya bertanya, ”Ada apa?”. Kemudian mengangkat telunjuknya di depan bibir memintanya untuk diam.

loading...

“Ki Swandanu, apakah mungkin kawanan itu telah sampai kemari?” bertanya Ki Hanggapati.

“Entahlah, tetapi mereka dapat saja mencapai tempat ini meskipun tidak dengan sengaja.”

Sementara itu, Jalutama mencoba menyisir sekeliling tanah lapang itu dengan hati-hati sambil merunduk. Sesekali ia berhenti untuk menahan rasa sakit pada punggungnya yang terluka meskipun darah telah berhenti mengalir.

Bondan mengayunkan kakinya dengan lelah yang kini datang menyapanya. Seusai pertempuran kecil di pedukuhan sebelumnya, ia kemudian berlari meninggalkan pedukuhan dengan Kang Sapta yang berada di pundaknya. Meski begitu ia sama sekali tidak mengurangi sikap untuk tetap berhati-hati. Dahinya berkerut. Pertanyaan muncul dalam benaknya, mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi sunyi?  Setelah mengatur diri untuk sejenak, ia kembali melangkah dengan keris tergenggam erat di tangan.

Ki Rangga Ken Banawa agaknya mengenali sosok tubuh yang berjalan melintas di dekatnya.  Untuk meyakinkan dirinya sendiri, Ki Rangga mengeluarkan suara dengan nada yang hanya dikenali oleh Bondan dan Gumilang.

Langkah Bondan pun terhenti, tanpa menoleh arah suara, namun satu ilmu yang disadapnya dari Mpu Gandamanik mulai melambari lengannya dan siap diledakkan melalui keris yang dalam genggaman. Ia tahu jati diri orang yang mengeluarkan bunyi khusus tetapi Bondan tidak ingin gegabah lalu terjebak.

“Paman?”

Lega hati Ki Rangga Ken Banawa ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya. Ia bergegas keluar dari persembunyiannya menyambut Bondan, Jalutama dan yang lainnya segera menampakkan diri kemudian membantu Bondan menurunkan jasad Kang Sapta yang mulai dingin dan kaku.

Tidak ada orang yang mengeluarkan suara ketika mereka merawat jasad pemimpin pengawal Sima Menoreh. Mereka memberikan penghargaan yang tinggi dan merasakan mulai mengemban kehormatan yang diwariskan oleh Kang Sapta untuk mereka. Bondan merasakan hal itu, dan ia sendiri juga dapat merasakan bahwa Kang Sapta telah mengajarinya tentang arti sebuah cinta.

Sekumpulan orang yang mengelilingi jasad Kang Sapta yang telah berada dalam peluk hangat bumi adalah sekumpulan orang gagah dan tidak mudah menyerah. Tetapi pada saat itu, mereka menjadi sekumpulan orang kecil yang berjalan tanpa arah di atas padang rumput yang sangat luas. Para pengawal Menoreh meratap sedih karena tidak dapat menyaksikan Juwari untuk terakhir kalinya. Dan mereka, para pengawal, juga tidak menanyakan keadaan temannya kepada Bondan. Mereka mengerti sepenuhnya ketika mendengar desah lirih Bondan menyebut nama Juwari dalam isak tangisnya.

Jalutama, Ki Hanggapati dan Ki Swandanu diikuti oleh para pengawal yang selamat dari pengepungan mendatangi Bondan satu demi satu. Tidak ada kata  yang terucap dari orang-orang itu, termasuk Ki Rangga Ken Banawa yang berdiri mematung bergantian memandang Bondan dan gundukan tanah yang masih basah. Ken Banawa pun untuk pertama kali menitikkan air mata setelah puluhan tahun tidak pernah ada yang menetes keluar dari pelupuknya. Puluhan dan ratusan mayat pernah membujur di hadapannya tetapi tidak ada air mata yang keluar. Kesedihannya saat itu adalah sebuah kesedihan tentang rasa kehilangan, tetapi malam ini senapati wreda Majapahit itu merasakan kesedihan yang mampu merenggut jantungnya.

Pada akhirnya, setiap orang yang berada di tanah itu bermalam dengan berbalut semangat dan cinta dari Kang Sapta. Gerimis yang masih belum berhenti semakin menambah keadaan sekitar mereka seolah turut berkabung.

Dalam kesempatan itu, Jalutama menghampiri Bondan dan duduk bersandar pada sebuah pohon gayam. Ia menenangkan diri barang sejenak. ”Aku sungguh berterima kasih padamu, Bondan. Kau telah menyelamatkan Kang Sapta namun bagi kami semua…,” katanya lalu terdiam sesaat. Jantungnya berdentang kencang dan bibir Jalutama bergetar. Ia menarik napas panjang sambil melihat wajah para pengawal Menoreh bergantian. Sejenak kemudian Jalutama melanjutkan,”…tetapi bagi kami semua, kau telah menyelamatkan seluruh jiwa orang-orang Menoreh. Aku, mewakili ayahku dan seluruh rakyat Sima Menoreh, akan mengenangmu sebagai seorang keluarga dan teman terbaik. Kapan saja jika kau ingin, Menoreh selalu membuka pintu bagimu.”

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 9

kibanjarasman

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 7

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 5

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.