Sebelum dapat diketahui akhir dari pertempuran yang melibatkan rombongan Bondan dan Ken Banawa di daerah dekat Gunung Wilis, ribuan tombak dari tempat pertempuran, di lereng Lawu sebelah utara, iring-iringan orang dari Padepokan Sanca Dawala juga mendirikan perkemahan kecil. Mereka dipimpin langsung oleh Mpu Rawaja. Sambil duduk melingkari api unggun, Mpu Rawaja berkata, ”Kita tidak dapat menunggu Ra Jumantara dan kelompoknya di tempat ini. Jika dia telah selesai dengan urusannya tetapi tidak mendapati kita berada di sini, sudah pasti Ra Jumantara akan bergerak ke Pajang. Andaikan perkiraan ini benar, mungkin dia akan datang lebih cepat dari kita.”
Mpu Rawaja menatap setiap mata yang memandang lekat padanya, kemudian memandang paman gurunya, Mpu Reksa. Ketika mata mereka beradu pandang, Mpu Reksa mengangguk seperti tanda agar Mpu Rawaja melanjutkan ucapannya.
”Kepergian kita kali ini mempunyai tujuan yang sangat besar. Kalian dapat melihat benda-benda berharga dan ratusan keping emas yang berada pada setiap kuda beban. Itu adalah modal berharga bagi kita dalam mendukung usaha Ki Juru Manyuran. Hal ini aku ungkapkan untuk terakhir kalinya. Kita tidak akan membicarakan lagi tentang maksud dan tujuan kerjasama antara Ki Juru Manyuran dengan padepokan kita,” sambung Mpu Rawaja.
Pada keesokan hari, rombongan dari Padepokan Sanca Dawala kembali bergerak menuju lereng Merapi. Isi kepala mereka dipenuhi berbagai prasangka dan harapan besar. Mereka sedang membayangkan angan yang segera dapat digapai di Pajang. Rasa percaya diri dan keyakinan yang kuat terhadap kekuatan dan pemimpin mereka telah menumbuhkan harapan tentang kehidupan baru. Mereka mulai berani bermimpi untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi padepokan besar. Padepokan yang akan menjadi tulang punggung sebuah pemerintahan baru yang menguasai setiap jengkal tanah dari lereng Merbabu, Merapi hingga perbukitan Menoreh.
“Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk meruntuhkan kekuasaan Jayanegara,” seorang pemimpin padepokan berkata pelan pada cantrik yang berjalan di belakangnya.
Mereka terus bergerak dan hanya beristirahat pada saat hari menjelang senja. Kemudian kembali menyusuri jalan kala fajar belum menjelang.
Sepanjang perjalanan semenjak mereka keluar dari regol padepokan, Mpu Rawaja telah dapat menilai kekuatan yang dimiliki oleh Majapahit. Dia menemukan kenyataan bahwasanya Majapahit jarang mengirimkan prajurit untuk meronda hingga kaki Gunung Lawu. Bahkan pada saat mereka mulai memasuki wilayah Pajang, Mpu Rawaja nyaris kehilangan kendali diri. Dia sedang menerima laporan dari orang-orang yang dikirimnya untuk mengamati keadaan di sekitar perbatasan Pajang.
“Apakah kalian membawa kabar baik untukku?” bertanya Mpu Rawaja.
“Kami sudah terjangkiti rasa bosan, Mpu,” jawab salah seorang pengamat. Mpu Reksa Rawaja mendengar ungkapan itu dengan kerut di dahinya. Kemudian pengamat yang lain mengatakan, ”Kami tidak menemui satu orang pun dari prajurit Pajang yang melakukan ronda. Beberapa orang yang kami duga sebagai prajurit sandi pun ternyata bukan bagian dari prajurit.”
Seorang temannya menganggukkan kepala dan berkata, ”Mereka kebetulan mengenakan corak pakaian yang biasa kami temui saat di lereng Wilis. Pakaian yang biasa dipakai oleh prajurit Majapahit yang berada di barak sekitar Wilis.”
Lantas Mpu Rawaja menyuruh mereka kembali pada tugas semula. Sambil mengusap leher kudanya yang tegar, Mpu Rawaja berbicara pelan pada dirinya sendiri, ”Apakah Pajang begitu aman sehingga senapati mereka tidak menyusun kegiatan perondaan?”
Teriakan gembira nyaris saja terlontar dari bibirnya namun dia segera menyadari perbuatannya itu dapat membawa akibat buruk bagi pengikutnya. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata dalam hati, ”Tentu saja orang-orang dungu itu akan berbuat semaunya apabila mereka tahu Pajang tidak meronda sejauh ini. Satu keonaran terjadi, dan itu sudah cukup membuat Pajang segera mengawasi setiap jengkal tanah yang berada dalam wilayahnya.”
Gelombang panas yang memancar dari kotaraja Majapahit telah tiba di atas langit Pajang. Arak-arakan awan hitam dengan meyakinkan mulai menebar memayungi lereng-lereng yang berada di antara Merapi dan Merbabu. Tiga orang lelaki berkuda melewati tugu batas timur kota Pajang. Dengan laju yang tidak begitu cepat, mereka menyusur lorong-lorong jalanan Pajang hingga kemudian melintasi bulak panjang. Menjelang matahari menempati puncak langit, tiga penunggang kuda itu telah berada di sebuah pedukuhan yang berada lereng Merbabu.
“Selagi hari masih benderang, aku harap kita tidak kesulitan mencari rumah Ki Juru Manyuran,” kata seseorang yang bertubuh tegap dengan kumis tipis melintang di atas bibirnya. Dua rekannya mengangguk kecil.
“Agaknya rumah orang itu mudah ditemukan,” kata temannya yang berbaju putih dengan ikat kepala di kepala.
“Banyak pohon sawo di setiap pekarang rumah. Tetapi sebagai orang kaya tentu rumah Ki Juru Manyuran mempunyai perbedaan khusus dibandingkan rumah-rumah orang kaya yang lainnya di pedukuhan ini,” kata orang berkumis tipis.