Pintu gerbang kota terlihat semakin dekat dan kegiatan di balik dinding kota telah terlihat. Pajang telah mengawali hari dengan cukup baik.
Kedatangan mereka bertiga tidak menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Bondan dan Ki Swandanu yang sangat mengenali lingkungan Pajang memang tidak terlihat mencurigakan bagi orang yang belum mengenal mereka. Mereka bertiga menyusui jalan-jalan dalam kota, menapaki setiap lorong yang akan membawa mereka ke padepokan Resi Gajahyana.
“Aku tidak melihat sebuah persiapan dari prajurit Pajang,” berkata Nyi Kirana dengan suara pelan. Ia memandang Bondan yang sepertinya tidak mendengar ucapannya, Bondan terlihat begitu bersemangat semenjak melintasi gerbang utama kota. Dalam pandangan Nyi Kirana, Bondan seakan telah melupakan segala peristiwa yang telah dialaminya. “Mungkin ia juga sedang melupakan bahaya yang sedang mengancam kota ini,” gumam Nyi Kirana dalam hatinya.
Memang sebenarnya Bondan sedang tidak ingin berpikir mengenai segala perkara selain berjumpa dengan gurunya. Meskipun ia telah mempunyai rencana untuk membantu Pajang mengatasi masalah keamanan. Hanya saja, ia menyimpan rapat-rapat dalam benaknya.
Bondan – yang lega karena tidak menjadi perhatian – menarik napas dalam-dalam, “Adalah baik jika keadaan masih seperti ini. Orang-orang seolah tidak mengetahui bahaya yang sedang mengintai mereka. Tetapi bila tidak ada kesibukan prajurit yang meronda tentu saja akan memberi keterangan yang berbeda bagi Ki Juru Manyuran.”
Nyi Kirana mengalihkan tatap matanya pada Ki Swandanu.
“Kau benar, Nyi,” sahut Ki Swandanu yang memang mendengar Nyi Kirana berkata. Ki Swandanu menarik napas panjang kemudian katanya, ”Tetapi kita baru dapat membicarakan persoalan ini setelah Bondan bertemu dengan gurunya.”
Nyi Kirana mengangguk. Sejenak kemudian mereka berada di dekat regol padepokan Resi Gajahyana. Padepokan masih terlihat lengang dan belum banyak kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di dalamnya. Seorang cantrik yang mengenakan ikat pinggang dari kain hitam melangkah maju lalu menyapa ketiga orang yang berhenti di gardu luar halaman padepokan.
Bondan melompat turun dari kuda kemudian diikuti oleh Ki Swandanu dan Nyi Kirana. Bondan mengayun langkah sambil memberi hormat. Kepada cantrik itu, Bondan bertanya, ”Apakah Eyang berada di dalam padepokan?”
Cantrik itu mengernyitkan dahi. Sejenak ia merasa ragu-ragu lalu balik bertanya dengan nada menyelidiki, ” Siapakah Ki Sanak?”
Bondan menjawab dengan senyum. Ia segera mengerti bahwa cantrik itu adalah orang yang baru memasuki lingkungan padepokan. Kemudian Bondan menjawab, ”Namaku Bondan, dan mereka adalah Ki Swandanu serta Nyi Kirana.”
Cantrik berpaling pada Ki Swandanu dengan menyipitkan mata. Tiba-tiba ia tersenyum lebar pada Ki Swandanu, lalu berkata ”Benar, Ki Sanak adalah Ki Swandanu. Maafkan saya, Ki! Saya memang pernah melihat Ki Swandanu beberapa hari ketika baru memasuki lingkungan padepokan.” Kemudian ia menoleh pada Bondan, pandang matanya menyimpan sebuah pertanyaan, keningnya berkerut. Sedikit ragu-ragu, ia bertanya sambil mengangkat tangan setinggi dada, ”Bondan?”
Bondan mengangguk sambil tersenyum.
Cantrik itu seperti mengingat sesuatu, tiba-tiba ia memutar tubuh lalu berlari menuju bangunan utama sambil menyerukan kedatangan Bondan. Maka sebentar kemudian keheningan yang menyelimuti padepokan pun pecah. Padepokan seketika menjadi ramai dengan suara riuh rendah orang-orang yang bersuka cita dengan berita kedatangan Bondan. Suara mereka segera memenuhi udara pagi. Dua cantrik orang mengambil alih tali kekang kuda Nyi Kirana dan Ki Swandanu. Obrolan ringan pun terjadi di antara cantrik dengan Nyi Kirana tanpa prasangka.
Dalam kesempatan itu, Nyi Kirana merasa seperti terlahir kembali. Lingkungan baru yang tidak mengetahui latar belakangnya yang suram dan sepak terjangnya yang kelam. Ia semakin bertekad kuat untuk meninggalkan masa lalunya yang kelam, tetapi kemudian sebersit gelisah menggapai hatinya. “bagaimana jika mereka kemudian mengetahui diriku pada masa lalu?” ucap hati Nyi Kirana dengan resah. “Seseorang selalu mendapatkan kesempatan untuk mengubah dirinya. Sepahit rasa air yang terit dari akar dan setajam batu-batu dalam gua, tetapi itu bukan alasan untuk dijadikan penghalang. Tetapi apakah aku akan kembali ke padepokan? Akankah aku harus mencari Mpu Rawaja jika ternyata orang-orang di padepokan ini ternyata sama kasarnya dengan mereka?” Nyi Kirana bertanya pada dirinya sendiri. Ia menjadi gelisah jika kembali mendapatkan hinaan serta cemooh apabila para cantrik Resi Gajahyana mengetahui sisi kelamnya. Pada saat itu, dalam waktu yang singkat, Nyi Kirana benar-benar benci pada dirinya sendiri. Meski demikian, Nyi Kirana tetap berusaha tidak memperlihatkan perubahan suasana hatinya. Ia membalas setiap sapaan dengan senyuman, ia pun berusaha mengendalikan diri untuk banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh cantrik padepokan tentang perjalanan mereka.
Tiba-tiba saja suara riuh para cantrik yang gembira menyambut kedatangan Bondan menjadi lenyap. Keheningan menyeruak lalu dengan cepat menguasai suasana padepokan.
Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia mendekati seabad tampak berdiri di tengah pintu bangunan utama. Rambut panjang yang berwarna putih keperakan tampak beriap-riap diterpa angin yang datang dari lereng Merbabu. Kegagahan dan wibawa yang agung terpancar jelas dari lelaki yang masih terlihat gagah pada usia senja. Inilah Resi Gajahyana. Sejenak ia memperhatikan keadaan di tanah lapang yang berada di depan bangunan utama. Sikapnya seolah-olah sedang mencari Bondan dalam kerumunan para cantriknya. Sekejap kemudian lambai tangan Resi Gajahyana tertuju pada lelaki muda yang tengah menikmati kegembiraan bersama cantrik padepokan.
“Guru!” seru Bondan lantas bergegas menghampiri lelaki yang seakan tidak dapat ditundukkan oleh waktu karena garis-garis wajah yang memperlihatkan semangat menjalani hari. Bondan duduk merendah di hadapan gurunya. Resi Gajahyana menyentuh pundak Bondan sambil memintanya untuk bangkit berdiri.
“Tapa kalong ternyata dapat kau lewati dengan baik. Aku melihat itu dari sinar matamu, Ngger.” Senyum cerah menghias kemudian di sepanjang raut muka yang membayangkan keteduhan bagi setiap orang yang memandangnya.
Anda membutuhkan jasa katering untuk makan siang? Nasi Kotak Surabaya
“Ki Swandanu dan Ki Hanggapati tidak melepas tatap mata dari segalanya tentangku, Eyang,” sahut Bondan kemudian meminta Ki Swandanu mendekat. Ki Swandanu yang menaruh rasa hormat demikian tinggi pada Resi Gajahyana kemudian membungkuk hormat diikuti oleh Nyi Kirana.
“Aku ingin berkata bahwa rasa terima kasih yang ada di dadaku seakan tak cukup dengan kata-kata,” lembut Resi Gajahyana berkata pada Ki Swandaru. Satu pertanyaan yang akan dilontarkan pun segera tertahan ketika pandang matanya beralih pada Nyi Kirana.
Dalam suasana hati yang begitu bahagia, Bondan sama sekali tidak memperhatikan jika ada dua orang yang berdiri di belakang Resi Gajahyana. Lagipula, resi Gajahyana pun tidak segera mengenalkan mereka berdua pada Bondan serta dua pengiringnya. Resi Gajahyana mengajak mereka beralih ke dalam bangunan yang digunakan khusus untuk menerima tamu. Sambil bercakap ringan dan bertukar kabar kedaan, mereka berjalan perlahan menuju bagian dalam. Resi Gajahyana meminta sebagian cantriknya untuk kembali pada kegiatan wajib mereka.
“Apakah Nyi Sanak adalah teman perjalanan Ki Swandaru atau mungkin ada penjelasan yang lain?” tanya Resi Gajahyana setelah pembicaraan beralih ke bagian dalam ruangan.
Nyi Kirana memalingkan pandang pada Bondan, lalu menjawab, ”Angger Bondan akan menceritakan semua pada Eyang.”
Resi Gajahyana merasa ada yang memang harus mereka sembunyikan dari pendengaran para cantrik yang masih berdiri mengitari mereka. Resi Gajahyana mengangguk kemudian berkata, “Maafkan kami. Kalian seharusnya mendapat waktu untuk melepas penat.”
Beberapa cantrik bergegas melaksanakan permintaan Resi Gajahyana yang tersirat dari ucapannya. Mereka mempersiapkan sekedar makanan dan minuman serta membersihkan bilik-bilik yang akan ditempati oleh tiga orang yang baru saja memasuki padepokan.
AC Anda bermasalah? Service AC Surabaya
Tidak banyak yang dibincangkan karena semua perhatian dan pandangan mata tertuju pada Bondan yang penuh semangat bercerita banyak pengalaman yang dialami selama pengembaraan. Kebahagiaan Bondan benar-benar membuatnya tidak menaruh perhatian pada dua orang asing yang lekat menatapnya. Dalam waktu itu, para cantrik pun tidak kalah bersemangat saat mendengar Bondan berkisah tentang pertempuran di Sumur Welut. Sekali-kali mereka bertukar pandang dan bertanya pada Resi Gajahyana tentang keberadaan pasukan gajah bisa terlibat dalam sebuah pertempuran.
Ki Swandaru dan Nyi Kirana tidak memotong pembicaraan Bondan karena mereka mengerti bahwa saat itu adalah waktu bagi Bondan untuk menumpahkan semua rasa yang selama ini mengendap dalam hatinya. Mereka mempunyai rasa khawatir jika Bondan berkisah tentang perkelahian di lereng gunung Wilis. Tetapi kekhawatiran itu agaknya tidak berlarut karena Bondan melewati bagian yang membuatnya nyaris terbunuh untuk kedua kali.
Keriuhan yang terjadi di bagian depan padepokan tentu saja menarik perhatian Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan untuk segera melihat yang terjadi. Mereka berjalan cepat menyusul Resi Gajahyana lalu mereka bersama-sama duduk di dalam satu ruangan dengan Bondan.
“Aku ingin sekali mengenal lebih dekat dengan Bondan,” kata Kao Sie Liong. ”Agaknya ia adalah anak muda yang menarik dan tentu saja mempunyai wawasan yang lebih luas dari kita berdua.”
Zhe Ro Phan mengangguk. Katanya, ”Namun untuk sementara waktu ini, kita harus memberinya waktu untuk menyesuaikan diri dengan ling-kungan yang lama ia tinggalkan. Dan tentu saja, Bondan akan menghabiskan waktu bersama gurunya.”
Setelah merasa cukup waktu untuk menikmati kebahagiaan, Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan mengundurkan diri tanpa menarik perhatian, lalu berjalan memasuki sanggar tertutup kemudianmelarutkan diri dalam latihan-latihan kanuragan sebagaimana biasa mereka lakukan. Namun pada waktu itu, Kao Sie Liong lebih banyak melakukan pemusatan budi dan rasa. Ia duduk bertumpang kaki dengan punggung lurus, sementara Zhe Ro Phan kembali mengulang gerakan dari cabang ilmu yang dikuasainya.