Padepokan Witasem
cerita silat jawa, bara di borobudur, cerita silat majapahit, cerita silat bondan, cerita silat kolosal
Bab 7 Taring yang Mengancam

Taring yang Mengancam Pajang 9

Saat hari mulai gelap, orang-orang Sanca Dawala mulai bergerak. Iring-iringan itu benar-benar tersembunyi dalam gelap. Di sebuah persimpangan, mereka berhenti lalu membelah diri menjadi beberapa kelompok. Sebagian akan mengambil jalan memutar lebih jauh lalu melingkari dua bukit kecil yang terletak di sebelah selatan kota Pajang. Sebagian lagi akan berjalan dalam kelompok-kelompok lebih kecil melewati pedukuhan-pedukuhan yang berada melingkari kota. Satu kelompok lagi yang dipimpin langsung oleh Mpu Rawaja akan bergerak langsung menuju batas kota kemudian menyisirnya hingga tiba di Kademangan Grajagan. Menjelang malam, mereka tidak banyak menyalakan obor sebagai penerang jalan. Setiap pemimpin kelompok mengatur jarak mereka tetap berjauhan. Sehingga yang terlihat adalah satu dua orang berjalan di bawah penerangan obor. Semakin lama mereka semakin dekat dengan pedukuhan Ki Juru Manyuran.

“Pang Randu benar-benar mempercayakan pekerjaan penting ini padamu,” kata seorang utusan Pang Randu yang mengikuti rombongan Mpu Rawaja.

Tanpa melirik lawan bicaranya, Mpu Rawaja menyahut kemudian, ”Pang Randu tidak mempunyai pilihan lagi. Kekalahan yang diderita olehnya di Sumur Welut dan kematian Ki Sentot Tohjaya membuatnya harus berpikir ulang tentang rencana besar yang disusun oleh majikannya.”

Utusan itu mengangguk, lalu berkata, ”Mungkin ada baiknya jika orang-orang yang tersisa dari kelompoknya kembali bergerak dan memulainya dari sisi luar kotaraja.”

loading...

“Ki Srengganan terlalu bodoh dengan merebut Kahuripan. Mungkin dia pikir itu adalah saat yang tepat dengan menyerang Kahuripan bersamaan dengan kekacauan di Sumur Welut. Tapi dia mengabaikan Majapahit yang masih tangguh walau harus memecah kekuatan. Namun, aku tidak sepaham jika menyerang Jayanegara dari lingkaran yang dekat dengannya,” Mpu Rawaja berkata dengan sungguh-sungguh.

Seperti orang-orang lainnya, Mpu Rawaja juga mendapatkan janji dari orang-orang di kotaraja bahwa dia  akan mendapatkan daerah sekitar Pajang yang subur dan ramai dilintasi orang. Walau demikian, dia adalah orang yang mampu mengamati gejolak dalam dirinya. Oleh karena itu, Mpu Rawaja hampir tidak pernah berbicara tentang janji-janji dari kotaraja. Bahkan dia mempunyai rencana tersendiri apabila mampu merebut kota Pajang. “Selama orang yang memerintah Pang Randu masih mempunyai tangan panjang di kotaraja, aku tidak akan pernah meraih apa yang aku inginkan dalam hidupku,” Mpu Rawaja bergumam dalam hatinya.

Utusan Pang Randu memandang Mpu Rawaja dengan tatap mata tajam. Dia berkata kemudian, ”Ki Srengganan bukan bertindak bodoh, hanya saja dia tidak mengetahui rincian dari pergerakan yang dipandu oleh Ki Sentot Tohjaya.”

“Justru itulah kelemahan yang ditunjukkan oleh Ki Srengganan, Jalamadri,” tukas Mpu Rawaja. Dia berpaling sejenak pada utusan Pang Randu yang bernama Jalamadri. Seorang pemuda yang belum mencapai usia tiga puluhan namun memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

“Dia kurang memperhitungkan unsur-unsur kekuatan yang ada di Kahuripan meskipun meyakini telah menguasai mereka seluruhnya,” Mpu Rawaja melanjutkan, ”Dia meremehkan keberadaan Gajah Mada yang sebenarnya mempunyai hubungan sangat dekat dengan Jayanegara. Dan berita yang tersebar kemudian adalah Gajah Mada hadir di medan perang meskipun peperangan telah usai. Gajah Mada dapat memberikan hasil akhir yang mungkin berbeda dengan harapan Pang Randu.” Mpu Rawaja lantas melanjutkan dengan bergumam lirih, “Mungkin… bisa jadi, Gajah Mada juga akan mengambil peran di Pajang.”

Jalamadri mendengarnya lalu mengangguk. Kemudian dia berkata sendiri, ”Anak muda yang membunuh Ki Cendhala Geni itu masih berada di kotaraja saat kita meninggalkan padepokan.”

Produk pendukung kisah silat ; Bumbu Kacang

Mpu Rawaja menyahut kemudian, ”Anak muda itu membawa keuntungan tersendiri bagi pasukan Majapahit. Tanpa kehadiran anak itu, tentu Ki Sentot Tohjaya  dapat meraih kemenangan. Tetapi bila ada campur tangan lagi, maka itu akan benar-benar menyulitkan pergerakan kita di Pajang.”

“Apakah itu berarti Ki Nagapati yang Mpu maksudkan?” bertanya Jalamadri.

Sambil menggelengkan kepala, Mpu Rawaja menjawab, ”Aku telah memperhitungkan pasukan Ki Nagapati.” Merenung sejenak, setelah menarik napas panjang, dia berkata, ”Lebih baik aku tidak berbicara lagi tentang kemungkinan yang mungkin saja tidak akan terjadi.”

Akhirnya mereka tiba di ujung sebuah jalan kecil berbatas parit pada kedua sisinya. Jalan yang cukup dilewati tiga ekor kuda berjajar itu merupakan jalan masuk menuju pedukuhan Ki Juru Manyuran. Jalamadri menebar pandangaannya menembus kepekatan malam, namun dia tidak melihat pengintai atau orang yang mungkin sedang mengawasi rombongan mereka. Namun ketika dia hendak melangkah maju, tiba-tiba Mpu Rawaja menggamitnya.

“Jangan ada yang bergerak!” pelan Mpu Rawaja memberi perintah. Penglihatan Mpu Rawaja yang berilmu tinggi ternyata dapat melihat dua orang yang merebahkan tubuh di antara rerumputan yang tumbuh di atas bulak panjang yang akan mereka lalui.

Wedaran Terkait

Taring yang Mengancam Pajang 8

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 7

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 6

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 5

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 4

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.