Resi Gajahyana menggeleng. Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan hanya menunggu Bondan berkata-kata lagi.
“Saya akan menemuinya malam ini,” Bondan berujar sambil mengusap dua paha.
Kao Sie Liong mengangkat tangan kanannya lalu bertanya, ”Apakah Angger Bondan akan menemui Ki Banyak Abang di barak prajurit?”
Angguk kepala Bondan memberi jawaban dan rupanya Resi Gajahyana telah menduga tindakan Bondan lalu berkata, ”Aku tidak memberimu izin meninggalkan padepokan.”
Ucapan Resi Gajahyana disambut Bondan dengan kening berkerut. “Saya tidak mengerti rencana Eyang,” kata Bondan. ”Kehadiran Ki Wisanggeni di sekitar Pajang sebenarnya menjadi persiapan angin panas yang siap membakar seluruh pategalan dan sawah di lereng Merbabu. Dan Ki Banyak Abang dapat mengantar saya menemui Bhre Pajang. Jika itu dapat terjadi dalam satu atau dua hari dalam pekan ini, kita akan mengetahui siasat yang dapat digunakan untuk menghadapi mereka.”
Resi Gajahyana yang mengerti keadaan dalam diri Bondan lantas memintanya kembali bersikap tenang, katanya, ”Kau belum mengerti sepenuhnya perkembangan yang terjadi di Pajang. Bahkan kau tidak mempunyai dugaan tentang keputusan Bhre Pajang, Bondan.”
Bondan termenung sejenak, kemudian, ”Apakah waktu dan keadaan telah mengubah seorang pemimpin Pajang?”
Resi Gajahyana mengangguk.
“Katakan, Eyang!”
“Bhre Pajang tidak mengizinkan Ki Nagapati memasuki Pajang dengan seluruh pasukannya. Tetapi ia memberi kelonggaran pada Ki Nagapati untuk berdagang atau usaha lain agar kebutuhan dasar tetap terpenuhi. Beberapa bidang sawah dibiarkan oleh Bhre Pajang untuk dibuka oleh pasukan Ki Nagapati. Dan agaknya Ki Nagapati dapat menerima keputusan pemimpin Pajang.”
“Ia tidak mengangkat senjata?”
“Ia tidak akan mengangkat senjata, namun aku belum dapat menemuinya dalam waktu belakangan ini. Walau demikian, aku tidak akan mengusik ketenangan Ki Nagapati karena pada dasarnya ia adalah orang baik.”
Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan masih duduk menyimak pembicaraan Resi Gajahyana dengan Bondan.
Resi Gajahyana berdiam diri untuk beberapa saat. Alis dan kelopaknya telah memutih, gurat yang menyelimuti pada banyak bagian di wajahnya seolah menunjukkan jalan panjang hidupnya. Bagi setiap orang yang me-mandang wajah guru Bondan ini akan dapat merasakan keteduhan yang luar biasa. Pelan-pelan Resi Gajahyana menarik napas, kemudian berkata, ”Di hadapan kita pada saat ini adalah sebuah mimpi yang sedang dirancang oleh seseorang yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan kita. Ia dengan cerdik memanfaatkan keinginan orang untuk berkuasa, meski pada akhirnya orang yang dijadikannya sebagai penguasa adalah seekor kuda bagi orang lain. Ketika waktu itu tiba, kekerasan pasti sangat sulit dielakkan.”
Kembali Resi Gajahyana terdiam. Satu demi satu wajah tiga orang yang duduk bersimpuh di hadapannya menerima sorot mata yang lembut. Lalu ia melanjutkan, ”Perang bukan jalan keluar yang menyenangkan tetapi sebagian orang akan mengambil jalan darah sebagai kepuasan. Ia akan melewati jalanan terjal berdarah dengan suka cita.
“Sebagian orang bahkan menempatkan perang sebagai tujuan akhir hidup agar ia mendapatkan pengakuan. Bermacam alasan akan dinyatakan keluar melalui bibir mereka tetapi tidak akan pernah mengubah tujuan awalnya sendiri. Kehidupan di dunia bukan kehidupan yang hanya berada pada satu sisi. Kebaikan akan selalu mendapat penentangan dari kejahatan, kejujuran akan senantiasa dilawan oleh keinginan untuk berbuat curang. Kebohongan demi kebohongan akan terus lahir untuk sebuah tujuan yang bukan tujuan sebenarnya dari kehidupan itu sendiri.
“Dalam banyak belah peristiwa, setiap sifat akan menampakkan diri dalam wujud yang berbeda. Setiap orang akan memandang benar pada dirinya sendiri sehingga ia mengabaikan batasan yang seharusnya dijaga demi kepentingan orang lain. Dan kita semua telah terlibat dalam pusaran kuat yang abadi.”
Kao Sie Liong berkerut alis dengan mata melekat pada wajah Resi Gajahyana. Guru yang bijak itu lantas mengangguk, Kao Sie Liong berkata, ”Eyang, lalu apa yang dapat kami lakukan untuk membebaskan diri dari belitan dua sisi yang berbeda itu?”
“Kebohongan yang saya lakukan untuk menjaga batasan, apakah termasuk kecurangan dalam bentuk lain, Eyang?” tiba-tiba Bondan bertanya.
“Aku tidak berkata ‘tidak ada’, anak-anakku,” lembut Resi Gajahyana bertutur. “Wawasan yang luas, menyimpan satu pengetahuan dan senantiasa menempatkan pengetahuan dalam tindakan yang berwujud adalah sisi utama yang dapat kalian lakukan. Kalian adalah tuan bagi diri kalian sendiri. Kejahatan, kecurangan dan kebohongan yang kalian kerjakan hanya membawa noda bagi diri kalian sendiri. Bukan orang lain.
“Kau dapat melihat sebutir buah kelapa. Air yang tidak ternoda dijaga berlapis hingga tiba waktunya untuk menyatakan diri baik sebagai penghilang dahaga atau menyingkirkan racun dalam tubuh. Buah kelapa juga tidak akan mampu memberi warna lain pada batang pokoknya. Ketegaran pokok kelapa tidak akan bertambah atau berkurang oleh sebutir buahnya. Itu berarti setiap kebaikan yang kalian tebar tidak akan pernah mempengaruhi hakekat dari kebaikan itu sendiri.”
Resi Gajahyana bangkit dari duduknya. Setapak demi setapak ia menghampiri Bondan. Dengan lembut, ia mengusap kepala lelaki muda yang mendapat kesempatan menyerap ilmu Mpu Gandamanik di Gunung Semar. Lalu Resi Gajahyana berkata, ”Seperti yang terlukis pada ikat kepalamu, Bondan. Secara berpasangan, kebaikan dan keburukan akan terlihat dari segala tempat. Mereka terkait satu sama lain, terlepas dari keadaanmu sebagai orang pribadi atau sebagai bagian dari kelompok kecil dan besar. Kalian semua adalah pembebas bagi diri kalian sendiri,” tegas Resi Gajahyana, ”Dan pada saat yang sama, kalian dapat memilih untuk menjadi orang yang terkekang. Kalian mempunyai waktu untuk memutuskan pilihan tetapi kalian harus mengingat bahwa tidak ada waktu yang abadi.”
Kokok ayam jantan terdengar untuk pertama kali pada malam yang senyap dengan kabut tebal menyelimuti padepokan Resi Gajahyana.
“Telah tiba waktu bagi kalian untuk mengambil masa. Menjelang siang, kita berempat akan menemui Ki Banyak Abang dan Bhre Pajang,” tutup Resi Gajahyana. Setelah saling bertukar kata penutup, tiga orang itu kemudian keluar dari bilik guru Bondan.
Dalam ayun langkah kakinya menuju bilik, Bondan sedang menimbang untuk mengatakan pada gurunya tentang luka-luka yang belum sembuh dideritanya. Tetapi ia sedikit ragu ketika mengingat bahwa Pajang sedang dalam keadaan bahaya.
“Aku tidak dapat menyembunyikan ini dari Eyang,” desah Bondan dalam hatinya. Ia berpikir untuk membahas persoalan itu dengan Ki Swandaru dan Nyi Kirana.
Sementara itu, Kao Sie Liong berkata pelan, ”Sepertinya Bondan sedang menyembunyikan sesuatu dari pandang mata Eyang Resi.”
Zhe Ro Phan mengangguk, ujarnya, ”Ia pasti akan mengutarakan itu pada gurunya, Jenderal.”
“Aku yakin itu, mungkin ia hanya merasa belum mendapatkan waktu yang tepat.” Untuk sesaat mereka duduk pada sisi pembaringan. Seperti tidak ada lagi yang akan dibicarakan, mereka lantas merebahkan diri.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi tangkapan layar dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.