Padepokan Witasem
sang maharani, cerita silat klasik jawa, cerita silat mataram, cerita silat kerajaan jawa, rakai panangkaran
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 8

Aku memasuki sebuah ruang yang berhawa tetapi tidak mempunyai angkasa. Aku tidak melihat tempatku berpijak, tetapi aku tidak melayang. Sesuatu yang padat lagi kenyal menjadi alas untuk dua kakiku.

Pada saat itu aku menjadi tamu.

Air terdengar berkericik, apakah berada di sekitar sungai? Tetapi sebelum aku mendapat jawaban, arah datangnya suara menjadi jelas. Jauh dalam diriku masih bersemayam gelisah. Aku berusaha menekannya. Keadaan sangat membantuku tetapi aku tidak setenang itu.

Perempuan itu, oh, perempuan itu tiba-tiba hadir di hadapanku. Kali ini sangat anggun dengan kain yang membalut dari ujung kaki hingga setengah dada. Sehamparan bentangan bahunya terlapis rapi dengan benang halus yang beraneka warna. Jenjang lehernya berurai warna emas dan merah. Selangkah, dua langkah, tiga langkah kakinya menapak maju.

loading...

Tārābhavanaṃ paṇamkaraṇaḥ.”

Apakah perempuan itu mengenalkan diri dengan nama yang sulit aku pahami? Mungkin aku meniru tidak sama persis. Mungkin pula aku salah mendengarnya. Aku benar-benar tidak tahu dan sungguh, aku tidak tahu.

“Apakah itu sebuah nama?” aku bertanya dalam hati.

“Itu adalah sebuah arti yang tidak akan engkau pahami pada saat ini. Aku yakin engkau tidak begitu jelas mendengarnya. Benar begitu?”

Aku terperangah! Bagaimana mungkin suara merdu itu dapat terdengar jelas sedangkan bibirnya pun tidak bergerak? Aku ingin mencari jawaban namun perempuan itu tidak memberiku kesempatan.

Ia berkata, “Waktu itu aku mengatakan padamu bahwa malam itu menjadi milikmu. Dyah Murti, setelah engkau kembali berbaring di dalam bilikmu, itu berarti masa telah melaju seputaran matahari. Usiamu berada lebih banyak satu dari sekarang.”

Aku tidak mengerti dan aku tersiksa.

“Perasaanmu, ” lanjut perempuan itu, “tidak akan dapat engkau ceritakan di masa mendatang. Ketika Mahameru menyapa langit dengan debu-debu yang diterbangkan, engkau akan melihat jejak-jejak yang tertinggal. Engkau tidak akan dapat mengulang tiap-tiap kepak waktu yang berlalu. Yang Dipertuan Agung tidak memberi izin padamu.”

Oh, siapakah lagi Yang Dipertuan Agung? Aku tidak mengenalnya. Sungguh, Han Rudhapaksa tidak pernah menyebutkan itu di depan wajahku. Begitu pula ibuku. Ayahku? Aku tidak pernah tahu lintasan-lintasan yang ada dalam benak beliau.

Seribu dewa akan turun menjadi pengiring

Seribu kala pun turun menjadi pembinasa

Selaksa jiwa turun mengubur diri

Manusia bernyanyi pedih

Tentang hati yang telah mati

Tentang bahagia yang telah padam

Wahai Permata

Lembaran merah berdarah-darah

Bara Ayodya

Membara di setiap meja persembahan

Pemujaan dilupakan

Kuil suci akan terbakar

Aku mendengar kata-kata yang dilantunkan sedih oleh perempuan itu. Oh, apakah itu? Apakah itu adalah air mata sang perempuan? Mengapa berwarna merah? Sesungguhnya aku tidak mengerti maksud kata yang baru diucapkan olehnya. Tiba-tiba aku melayang, mengapung dalam rentang waktu yang tidak bertepi dan tidak mempunyai pusat kendali.

Aku merasakan hangat menyentuh wajah. Menyilaukan! Aku tidak mampu membuka mata, tetapi aku sadar kemudian bahwa aku telah kembali ke dalam ruang karena aku melihat kakekku masih berada di sampingku.

“Engkau memperoleh karunia luar biasa. Engkau melewati batasan ruang dan waktu, Dyah Murti,” kata Han Rudhapaksa yang tampaknya dapat mengerti gelisah yang bergolak dalam ruang batinku.

“Saya merasa begitu lelah dan tanpa daya,” aku berkata dengan jemari lemas menyentuh tangan kakekku.

Sejenak kemudian, ibuku duduk di dekat kakiku. Ia memandangku lembut dari tepi pembaringan. “Tiga pekan mendatang engkau akan menjadi pengantin yang dihormati dewa-dewa.”

“Janganlah engkau mengatakan sesuatu yang berat didengarnya pada saat ini, Lis. Dyah Murti belum dapat melenturkan kelopak matanya. Biarkanlah ia berbaring, dan kita dapat bicarakan itu di luar ruangan.”

“Baik, Ayah.”

Aku mendengar percakapan ibu dengan kakekku. Oh, jiwaku yang malang, benarkah ibu berkata tentang perkawinan? Aku, Dyah Murti. Usiaku belum genap tiga tahun dari angka kembar tapi segera menjadi pengantin dewa-dewa. Kemaluanku belum bertumbuh banyak penutup tapi aku dipaksa untuk berani oleh ibuku.

Wedaran Terkait

Sang Maharani

kibanjarasman

Bulan Telanjang 9

kibanjarasman

Bulan Telanjang 7

kibanjarasman

Bulan Telanjang 6

kibanjarasman

Bulan Telanjang 5

kibanjarasman

Bulan Telanjang 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.