Maka pertemuan pun dibubarkan. Ki Demang segera pergi ke ruang belakang menemui istrinya. Saat itu Nyi Demang masih berisak lirih dengan beberapa orang perempuan yang menungguinya. Ketika dilihatnya Ki Demang berjalan mendekat, tiba-tiba tangis Nyi Demang meledak. Segala kesedihan dan kecemasan serasa ditumpahkan seperti air bah yang melanda persawahan.
“Apakah kita akan membiarkannya saja? Apakah Anda tidak berusaha mengambilnya kembali? Ki Demang, matahari yang redup akan kembali bersinar ketika mendung berlalu. Tetapi saya merasa lebih baik matahari selamanya berselimut mega jika anakmu tidak ditemukan. Apalah arti hidup tanpa Arum Sari?”
“Nyi, setiap orang telah aku kerahkan. Dan siang tadi Patraman telah mengirim utusan menemui Ki Rangga Ken Banawa. Kita tahu senapati itu. Yakinlah, ia pasti mengerahkan semua yang ia punya untuk membantu kita. Selain itu, Patraman juga menghubungi semua teman-temannya di keprajuritan untuk memberi bantuan.” Mendengar jawaban itu, tangis Nyi Demang pun sedikit mereda. Sedikit harapan membuncah dalam dadanya. Karena ia tahu bahwa tangisnya tidak akan dapat memecahkan persoalan.
Lirih. Yang terdengar hanya isak tangis Nyi Demang yang kehilangan anak gadisnya. Tentu saja hati seorang ibu akan lebih pedih dibandingkan daging yang tertusuk duri. Belah jiwanya hilang tanpa ada seorang pun yang tahu rimbanya.
“Kehidupan kadang terasa indah dan menakjubkan ketika setiap harapan datang memenuhi tangan yang tengadah. Namun sering kali juga kehidupan menjadi serigala yang memangsa domba di dalam sebuah lorong panjang dan gelap,” berkata Ki Demang saat keduanya telah duduk berdampingan di tepi pembaringan. ”Mengapa begitu sulit bagi kita untuk melepaskan yang kita cintai? Sedangkan kita sering menyadari bahwa segala sesuatu adalah pemberian Yang Maha Kuasa.”
Nyi Demang meletakkan jemari pada punggung tangan suaminya, ia berkata kemudian, “Arum Sari bukan benda mati, Ki. Ia adalah darah dan daging yang bertukar tempat dengan seluruh jiwa raga kita. Gadis itu merupakan gabungan dua jiwa kita yang telah disatukan di bawah kesaksian suci. Tidak mudah bagi saya melupakan Arum Sari, sekalipun ia menjadi persembahan agung.”
Setangkup hati yang menguncup
Kini menjadi semakin redup
Matahari baginya adalah rasa hampa
Melambai angin tak sampai
Terulur rembulan tak tergapai
Sebait syair melantun pelan dari sela bibir Nyi Demang yang bergetar. Keresahan begitu mencekam hingga mencapai jauh di kedalaman relung hatinya. Malam berlalu dengan syair yang diulang dengan nada yang berbeda. Lingkungan sekitar rumah itu menjadi sepi. Binatang malam enggan bernyanyi. Mereka tidak lagi berisik. Keceriaan mereka terenggut bersamaan dengan hilangnya Arum Sari.
Baru saja terdengar ayam jantan berkokok, tampak tiga orang berjalan menuju kandang kuda yang berada di halaman belakang kademangan. Beberapa orang terlihat mempersiapkan segala sesuatu yang untuk tiga orang ini.
“Rajapaksi, ikuti jalan utama dan temuilah ajaklah Ki Lurah Sembada. Jangan segan memintanya untuk membantu mengawasi semua jalan utama. Arahkan penculik itu ke Trowulan. Aku akan memutar dan menyusuri perbukitan sebelah barat sungai hingga kotaraja.”
“Baik, Ki Lurah. Sebaiknya Ki Lurah lebih waspada.”
“Kita berpisah, Rajapaksi.”
Ditemani seorang pengawal, Rajapaksi segera memacu kudanya menuju kotaraja. Sementara itu, Patraman mengarahkan tujuan ke ujung desa kecil yang berada di timur padukuhan induk.
“Laksa Jaya! Semua berjalan sesuai dengan rencana. Sekarang kita ke utara Alas Jatipurwo. Marilah!” kata Patraman setelah bertemu Laksa Jaya yang telah menunggu kedatangan pemimpin prajurit ini.
“Sebaiknya engkau samarkan dulu pakaianmu, Patraman. Tentu akan banyak orang bertanya bila perjalanan ini tidak melintasi jalan utama. Setiap kecurigaan akan dapat membawa kegagalan atas upayamu itu,” kata Laksa Jaya sambil menghentak kuda perlahan. Kemudian keduanya berhenti di sebuah kedai, dan setelah meminta ijin pada pemilik kedai untuk menukar pakaian, maka keduanya meneruskan perjalanan menuju Alas Jatipurwo.
Sedangkan di tempat yang lain, tak lama setelah berita diculiknya Arum Sari tersiar, para prajurit di Wringin Anom sudah terlihat di berbagai sudut-sudut jalan. Hampir tidak ada satu pun ruas yang terlewatkan. Beberapa kelompok prajurit juga mulai menyisir mencari jejak di hutan-hutan kecil yang masuk dalam wilayah perondaan mereka.