Pada pekan-pekan yang silam, ketika peperangan di Sumur Welut mendekati usai, sekelompok orang dalam jumlah yang cukup banyak bergerak menjauhi kotaraja. Iring-iringan ini merupakan pasukan yang masih setia pada Lembu Sora dan Gajah Biru. Beberapa kali usaha dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Nagapati untuk menuntut keadilan bagi dua panglima mereka. Kedua orang ini adalah panglima perang yang tangguh dan mumpuni dalam gelar perang, tetapi tanpa pembelaan dan penyelidikan, mereka dijatuhi hukuman mati secara mengenaskan di halaman istana.
Mereka menjadi korban dari sebuah kelompok yang kuat dan selalu membayangi Sri Jayanegara di lingkungan istana. Namun, pada akhirnya pasukan berkuda yang tangguh itu dapat dihalau keluar dari kotaraja. Karena wawasan dan kebesaran hati Mpu Nambi, mereka dapat diarahkan menuju Pajang yang dipimpin oleh keluarga dekat Ra Dyan Wijaya. Rentang jarak yang sangat jauh memaksa Ki Nagapati menempatkan sejumlah orang , dengan terpaksa, tinggal di beberapa pedukuhan yang dilewati.
Dengan terpincang dan bergandeng tangan, perjalanan panjang yang mereka tempuh berakhir di luar batas kota Pajang. Ki Tumenggung Nagapati memerintahkan untuk membuka perkemahan di sebelah utara sebuah hutan kecil yang berjarak ratusan patok dari tugu perbatasan Pajang. Di sana, di sekitar perkemahan, mereka mencari dan mengumpulkan segala yang dapat dimakan. Sekitar dua atau tiga hari, keluarga besat yang dipimpin Ki Nagapati hidup dari buah-buahan liar, hewan buruan dan daun-daun yang dapat dimakan. Tekad mereka adalah harus bertahan dan bertahan sebelum melangkah pada pijakan berikutnya. Rasa penat dan kelelahan batin berangsur-angsur pulih.
Bondan - Pertempuran Hari Kedua
Ketika malam berlalu, pada hari ketiga, terlihat matahari memandang muram pada perkemahan mereka, sementara langit begitu cerah dan tak berawan. Dari sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, Ki Nagapati dapat melihat kota Pajang. Ia mempunyai kesan mendalam tentang wilayah yang dikendalikan oleh Bhatara Pajang. “Ada kedamaian dan maut yang secara bersamaan menunggu kami datang,” kata Ki Nagapti dalam hatinya. Dari kejauhan, walau tidak selruhnya, ia dapat melihat para peronda melanglang daerah perbatasan. Ki Nagapati mencoba untuk membuat perkiraan tentang bahaya apabila ia memaksakan diri memasuki wilayah Pajang.
Seusai mengambil masa istirahat di perkemahan, Ki Tumenggung Nagapati memutuskan untuk memasuki kota Pajang dengan disertai dua orang pengawal. Ki Nagapati berencana untuk bertemu dengan Angling Dhyaksa yang menjadi Bhre Pajang.
Saat pasar temawon, Ki Tumenggung Nagapati bersama dua pengawalnya telah berada di gerbang kota. Seorang penjaga bergegas keluar dari gardu penjagaan dan memberi tanda untuk berhenti. Ketiga orang dari kotaraja segera menarik kekang kuda lalu mendekat ke gardu jaga. Kemudian penjaga mengetahui bahwa ketiga orang yang mendekat adalah prajurit Majapahit.
Ki Tumenggung Nagapati memang datang dengan pakaian bersemat tanda pangkat tumenggung, begitu pula dua pengawalnya yang berpakaian prajurit. Tanda-tanda keprajuritan yang melekat pada pakaian mereka telah dikenali dengan baik oleh penjaga perbatasan. Seperti yang biasa terjadi ketika seorang prajurit melaksanakan tugasnya, maka prajurit penjaga itu bertanya kepada Ki Nagapati dan segala yang terikat dengan kedatangannya itu.
“Ki Tumenggung, silahkan masuk! Sementara teman saya akan memanggil pemimpin kami yang sedang berada di dekat gerbang kota, Ki Tumenggung dapat menyesuaikan diri di tempat ini,” berkata penjaga itu sambil menyilahkan mereka menunggu di dalam gardu penjagaan.
Ki Nagapati menganggukkan kepala. ”Terima kasih.”
Ia menoleh kepada dua pengawalnya lalu ajaknya, ”Marilah, kalian juga menunggu bersamaku di dalam.”
Ki Nagapati memasuki gardu jaga yang di dalamnya ada sebuah ruang kecil yang cukup untuk tempat istirahat. Di atas sebuah meja terdapat beberapa makanan yang berbungkus daun pisang.
“Silahkan, Ki Tumenggung,” berkata seorang penjaga yang menyusul di belakang Ki Nagapati dengan membawa wedang jahe hangat.
“Terima kasih.” Ki Nagapati duduk lalu menyandarkan punggung di ujung kiri dalam ruangan itu. Tiga orang yang datang dari luar perbatasan Pajang pun menjulurkan tangan, meminum air jahe yang hangat. Rasa penat yang sedikit mendera ketiganya segera tergantikan dengan kesegaran dalam tubuh dan mengalir dalam darah mereka.