Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 2 Penolakan di Kaki Merbabu

Penolakan di Kaki Merbabu 2

Sejenak mereka berdiam diri dalam angan masing-masing, kemudian seorang yang bertubuh agak gemuk memasuki ruangan. Sambil membungkuk hormat, katanya, ”Ki Tumenggung Nagapati, saya belum mendapatkan kesempatan untuk mengatakan kepentingan Ki Tumenggung. Agaknya baru menjelang senja, kesempatan itu akan tiba.”

Ia mengenalkan dirinya sebagai lurah prajurit yang sedang berjaga. ”Saya adalah Ki Lurah Wanabaya.”

Ki Nagapati membalas dengan senyuman dan sedikit terangguk, ia berkata, ”Baik, Ki Lurah. Aku mengerti  dan aku akan menunggu kesempatan itu datang. Dan dalam masa itu, izinkan kami bertiga berdiam diri di dalam ruangan ini untuk mengurangi rasa lelah.”

Serba sedikit empat prajurit Majapahit itu bertukar kata. Ki Lurah Wanabaya tampak menaruh perhatian cukup besar terhadap perkembangan yang terjadi di kotaraja.

loading...

Pada waktu yang sama, seorang pelayan khusus yang bertugas di dalam istana Pajang menghadap Bhre Pajang di istana yang cukup besar. Beberapa tiang kayu penyangga atap ruangan berukir sangat halus dan menggambarkan keadaan Pajang di masa lalu.

Bhre Pajang duduk bersandar pada kursi kayu berukuran besar. Bagian atas sandaran kursi terukir burung garuda dan seekor naga yang dipahat sangat halus. Ia menatap tajam pelayannya dan memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh pelayan khusus istana.

“Sri Bhatara, Ki Tumenggung Nagapati telah memasuki wilayah Pajang. Saat ini ia mendirikan perkemahan yang berada beberapa puluh tombak dari dinding perbatasan kota. Sejumlah besar orang pengikutnya juga turut menyertai kedatangannya di Pajang,” kata pelayan.

“Apa maksudmu dengan orang yang mengikutinya? Apakah mereka itu sekelompok prajurit?” bertanya Bhre Pajang.

“Sebagian besar memang prajurit, Sri Bhatara. Namun Ki Tumenggung Nagapati juga mengatakan bahwa ada sejumlah wanita serta anak-anak yang berada di dalam rombongan besar itu.”

“Lalu, apakah Ki Nagapati mengatakan tentang sesuatu kepadamu? Aku maksudkan adalah Ki Nagapati akan menyerang Pajang, apakah kau melihat kemungkinan itu?”

“Sri Bhatara, saya tidak melihat Ki Nagapati dalam keadaan akan memaksakan keinginannya di Pajang. Ia mengatakan hanya ingin bertemu dengan Sri Bhatara.”

Bhre Pajang terdiam sesaat. Sejenak ia melepaskan kemungkinan lain yang akan dilakukan oleh Ki Nagapati. Ia beringsut sejengkal, lalu menoleh Ki Tumenggung Ragapadma yang berada tak jauh darinya seakan meminta pendapatnya.  Agaknya Ki Ragapadma juga belum mempunyai pendapat yang sekiranya dapat mengurai kepentingan Ki Nagapati. Meski begitu, Ki Ragapadma kemudian berucap, “Badai sudah lewat bila kita baca sebagai Lembu Sora dan Gajah Biru. Tentu tidak semudah itu menyapunya bersih. Selalu ada yang berserak. Mereka mempunyai pengikut yang mampu bernapas di dalam lumpur, sanggup  bertahan di ujung jembatan yang terbakar dengan kemampuan menyerang balik seperti air bah.”

Bhre Pajang menghela napas. “Sejauh perjalanan mereka, orang datang dan pergi melintasi pedukuhan, membelah kademangan dengan pandangan bertanya-tanya dari banyak orang. Sebaris prajurit Majapahit mungkin ingin segera menyingkirkan mereka, tetapi keberadaan Mpu Nambi akan memberi tekanan tersendiri atas keinginan itu. Ki Nagapati dan pengikutnya bukanlah sepasukan yang tidak mempunyai pesaing. Banyak orang di sekitar mereka dan di dalam kotaraja teguh dalam pemikiran, bahwa mereka adalah prajurit tak bertuan. Kesetiaan mereka adalah pembeda, mungkin dalam arti yang sebenarnya.”

Kisah kepahlawanan pasukan berkuda Ki Nagapati telah meluas. Kegagahan dan kesetiaan mereka tidak dipertanyakan orang. Namun bagi sejumlah orang, Ki Nagapati adalah ancaman. Untuk itu, Ki Ragapadma sedang menimbang untuk mendesak Bhre Pajang agar menghalau pendatang yang datang dari kotaraja itu. Ki Ragapadma dengan wawasan dan pengenalannya pada sebagian orang di kotaraja telah memperkirakan kecondongan Bhre Pajang. Menurutnya, bila kisah-kisah tentang Ki Nagapati semakin meluas lalu merasuki orang-orang Pajang, bukankah itu akan menyulitkan Bhatara Pajang?

Pendapat Ki Ragapadma segera terungkap dalam pertemuan itu. Bhatara Pajang tekun menyimak kata demi kata. Ketika giliran untuk bicara tiba, kata Bhre Pajang, “Kita tidak dapat menghalangi orang yang berkehendak mengabdi pada tuannya. Kita tidak dapat menorong orang yang ingin membunuh dirinya sendiri. Ki Tumenggung, apakah Ki Napagati tengah merintis jalan kematiannya sendiri?”

Wedaran Terkait

Penolakan di Kaki Merbabu 9

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 8 – Pengepungan Istana Berubah Mematikan Saat Pemimpin Pemberontak Turun Tangan

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 7

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 6

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 5

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.