Karena memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi disertai dendam, ketika Agung Sedayu dan Ki Tunggul Pitu benar-benar tidak ada pergerakan walau sekejap, Ki Sekar Tawang seolah terbang, melibas jarak jangkau Ki Patih Mandaraka. Lelaki itu menerjang Agung Sedayu dengan awalan sebuah teriakan yang mengguncang isi dada!
Lengking suara yang lebih mirip lolongan panjang diikuti oleh senjata yang berkelebat secara mengerikan. Desing Kiai Plered, sungguh, nyaris dapat menghentikan aliran darah. Begitu mengerikan dan menyakitkan gendang telinga. Kurang dari sekejap mata, Ki Sekar Tawang telah menyeret Agung Sedayu dalam pergumulan yang luar biasa.
Senapati Mataram itu memicingkan mata dengan berliput heran. Perkembangan yang begitu luar biasa, pikirnya. Tata gerak Ki Sekar Tawang tidak terarah — bahkan dapat dikatakan tidak teratur – walau demikian, Agung Sedayu tidak mengizinkan dirinya untuk menilai berdasarkan yang terlihat. Daya serang yang tersembunyi di balik gerakan liar itu belum dapat terukur sepenuhnya. Setiap langkah dan kibas lengan Ki Sekar Tawang adalah dinding pertahanan yang sulit ditembus oleh Agung Sedayu. Namun hanya sejurus lamanya Agung Sedayu berada dalam kedudukan sebagai pengamat. Meskipun hanya sesaat, ia dengan sungguh-sungguh mempelajari sepintas segala yang terlihat olehnya. Keberadaan Kiai Plered tidak memberinya kelonggaran untuk menambah waktu pengamatan, maka, sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayu terurai dan segera membungkus tubuh dengan bulatan penuh yang sulit ditembus Ki Sekar Tawang.
Kemampuan memainkan cambuk yang telah mendarah daging membuat Agung Sedayu sedikit tertolong dari tekanan demi tekanan yang dilontarkan musuhnya. Walau didera kalut karena pikiran yang terbagi dengan keselamatan Sekar Mirah serta anaknya, dengan cambuk dalam genggaman, Agung Sedayu meneguhkan sepasang kakinya sekuat dinding cadas Merapi.
Pada sisi perkelahian mereka yang sangat sengit, Ki Tunggul Pitu cepat menghampiri Ki Patih Mandaraka. Pergerakannya yang sangat cepat sama sekali tidak menimbulkan desir ketika kakinya menjejak tanah. Tiba-tiba terdengar letupan yang dua tingkat di bawah suara ledakan cambuk Agung Sedayu pada masa lalu, suara yang timbul karena benturan dua lengan tanpa senjata. Ki Patih Mandaraka menghadang serangan lengan menyilang Ki Tunggul Pitu yang hendak mematahkan tulang pundaknya.
Tubuh mereka terguncang.
Ki Patih Mandaraka mundur setapak atau dua tapak surut. Begitu pun Ki Tunggul Pitu yang melepaskan serangan kilat sepenuh tenaga.
“Apakah patih Mataram siap melepaskan nyawanya?” hardik Ki Tunggul Pitu.
Ki Patih Mandaraka tersenyum. Mengangguk lalu katanya, “Seperti itukah kemampuan pembantu dari pemberontak?”
Pembantu Raden Atmandaru menjawab dengan terkaman beringas. Lengan Ki Tunggul Pitu menggaung, menderu-deru menyamai desus angin lesus dari kejauhan. Serangan gencar berhamburan keluar darinya seolah memberi tanda bagi musuhnya, Ki Patih Mandaraka, bahwa di dalam tubuh Ki Tunggul Pitu sedang bertalu-talu keinginan untuk mencabut nyawanya.
Keris Kiai Kutharaga seolah menjadi benda yang mempunyai kehendak sendiri sewaktu berada di tangan Ki Patih Mandaraka. Kepercayaan diri lelaki sepuh, yang dulu dikenal dengan sebutan Ki Juru Martani, memancar sangat kuat melalui senjata yang dihomati kedudukannya di Mataram. Selain itu, Kiai Kutharaga dapat menangkap dengung udara yang diterimanya dari tenaga yang menyembur keluar dari Ki Tunggul Pitu. Seperti telah terjalin hubungan batin, maka, Ki Patih Mandaraka segera tahu bahwa udara di sekelilingnya telah dipenuhi keinginan seseorang yang ingin menyesap sumsum tulang.
Ki Tunggul Pitu semakin kokoh melesak maju, berulang-ulang percobaan dilakukannya untuk memukul mundur Ki Patih Mandaraka. Walau demikian, lawannya pun mempunyai ketabahan yang mumpuni. Mereka sama-sama yakin pada kebenaran yang berbeda penafsiran. Dalam waktu itu, kedahsyatan sepasang lengan Ki Tunggul Pitu semakin meningkat tajam. Pada pihak seberang, Ki Patih Mandaraka membentengi diri dengan tata gerak yang mengumandangkan tantangan.
Apakah ia mampu menekuk lutut patih Mataram? Pikiran Ki Tunggul Pitu dihujani pertanyaan yang timbul tenggelam. Betapa ia merasa mampu menghadang kekuatan Ki Patih Mandaraka, tetapi kecepatan lelaki sepuh itu belum benar-benar teruji olehnya. Sejauh ini, kelincahan penasehat mendiang Panembahan Senapati masih berada dalam tingkat kewajaran.
Kejutan!
Mendadak muncul bunga api ketika telapak kanan Ki Tunggul Pitu kembali membentur batang Kiai Kutharaga. Sejenak Ki Patih Mandaraka terpana. “Seperti demikiankah kekuatan yang ada pada dirinya?” bertanya Ki Patih pada hatinya. Perkelahian seru yang terjadi sebelah menyebelah dengan pertarungan Agung Sedayu tiba-tiba menurun. Seolah menurun karena Ki Patih Mandaraka dan Ki Tunggul Pitu nyaris bersamaan telah mengurangi kecepatan gerak. Seolah mereka sepakat untuk tidak mengakhiri pertarungan dengan cepat.
4 comments
Sugeng dalu..menawi kepareng nderek nyantrik..Padepokan Witasem.., nuwun
sugeng dalu, menawi kepareng nderek nyantrik Padepokan Witasem.., nuwun
Matur nuwun Ki
Sami-sami, ki