Para pengikutnya mendengar perintah itu. Mereka semakin tegas membuat persiapan. Ki Astaman terlihat makin tenggelam dengan segala kegiatan yang berhubungan dengan senjata yang dirakitnya. Waktu merayap begitu cepat, demikian menurut perasaan mereka. Nyala api semangat yang membumbung tinggi membuat mereka seperti memiliki tenaga berlipat ganda.
Dalam waktu itu, ketika fajar kian mendekati permukaan bumi, Ki Sor Dondong berjalan mendekati Ki Astaman, kemudian katanya, “Seberapa jauh Kiai mengenal Untara?”
Ki Astaman mengangguk-angguk. Ia dapat memahami arah pembicaraan. Bagaimanapun, keberadaan Untara di Jati Anom harus tetap mendapatkan tempat dalam rancang gelar perang mereka. Kemudian, jawab Ki Astaman, “Aku hanya mendengar dari berita yang diucapkan orang-orang yang pernah berhadapan dengannya di medan perang. Ki Tumenggung Untara memang pantas mendapatkan perhatian Kiai. Meski waktu dapat membuat seseorang berubah, tetapi kewaspadaan tetap harus berada di tingkat tertinggi.”
“Demikianlah seharusnya,” kata Ki Sor Dondong. “Mengenai Ki Untara, aku mendengar bahwa Raden Atmandaru sudah membuka hubungan dengan satu atau beberapa orang yang berada di dalam barak prajurit Jati Anom. Hanya saja, sejauh ini belum ada pertemuan dengan mereka,” ucap Ki Sor Dondong sambil menekan perasaan gelisah.
“Kiai, aku kira kita dapat..atau mungkin sebaiknya..ya memang sebaiknya kita mengabaikan kehadiran kelompok lain. Persiapan kita cukup memadai.”
“Bila untuk menggilas Sangkal Putung dan semua yang berada di dalamnya, aku sepakat dengan pendapatmu. Tetapi, kita tidak dapat melupakan pasukan khusus di Menoreh. Mereka dapat menyusup, lalu menghancurkan kita dari tempat tersembunyi. Maka campur tangan kelompok lain seperti yang Kiai maksudkan, mau tidak mau, harus terjadi dan wajib untuk ada. Mereka dapat membantu kita mengurangi kekuatan lawan yang mungkin masih berada di balik semak-semak.”
“Barangkali Kiai belum sempat melihat kekuatan kita yang sebenarnya. Jika Kiai merasa bahwa ada keraguan dalam ucapan saya, itu tak lain karena belum ada hubungan dengan satuan regu yang berada di dalam Sangkal Putung. Satuan regu yang saya maksudkan adalah sekelompok pasukan yang akan memukul Sangkal Putung dari dalam. Apakah kelompok itu terbagi dalam dua atau tiga atau mungkin juga empat? Kita belum tahu.” Ki Sor Dondong diam sejenak. Menjeda ucapannya untuk membuat perkiraan sedikit lebih mendalam. Kemudian katanya, “Namun, saya kira dengan bahan pengamatan yang telah dikumpulkan oleh para telik sandi, mungkin, regu pemukul itu telah terbentuk dan sudah menyiapkan diri untuk pertempuran hari ini. Saya harap begitu.”
“Semoga,” sahut Ki Astaman singkat.
Pembicaraan itu berakhir ketika tangan Ki Sor Dondong memberi tanda untuk maju seiring dengan bola matanya yang melirik ke arah cakrawala. Demikianlah pasukan Raden Atmandaru segera merayap perlahan dengan keyakinan kuat dapat merengkuh Sangkal Putung sebelum matahari berada di puncak. Perlahan rintik hujan yang tipis memayungi perjalanan mereka. Namun para pengikut Raden Atmandaru adalah orang-orang yang terlatih untuk bertempur di bawah segala keadaan. Gerimis bukan halangan bagi mereka untuk menyusur permukaan tanah yang masih gelap. Alat pelontar batu dan panah berukuran besar beringsut maju setapak demi setapak.
Sukra mengayun langkah bersama pasukan Raden Atmandaru yang akan menjadi penyerang pertama. Meski pada awalnya Sukra kesulitan mencari tempat di bagian sayap kiri, namun ia tidak mengeluh dalam hatinya. Pikiran Sukra terlalu sibuk untuk memecahkan kebuntuan atas pertanyaan ; bagaimana ia dapat membuka kekacauan di tengah-tengah orang yang terlatih dan lebih mapan darinya? Saat itu, Sukra seolah berada di ruang berjeruji besi yang pengap. Sulit baginya untuk bernapas karena suasana batin pasukan belum berubah. Segalanya terkendali oleh perintah Ki Sor Dondong dan lecut semangat para pemimpin kelompok. “Sebenarnya aku tidak perlu mencemaskan sesuatu. Bila terbunuh, maka aku adalah pengawal Tanah Perdikan dan utusan Mataram. Itu bukan keadaan yang memalukan Ki Lurah,” berbisik perasaan Sukra di tengah deru detak jantungnya. “Namun, bagaimana memulainya tanpa menimbulkan kecurigaan? Inilah tantangan dari Pangeran Purbaya.”
Masih lanjut Sukra yang sedang berkata pada hatinya, “Aku harus menunggu mereka berada dalam jarak yang cukup dengan pengawal terluar Sangkal Putung. Aku harus mendapatkan waktu untuk pekerjaan itu.” Selanjutnya Sukra cukup berhati-hati ketika menggeser tempat sedikit lebih ke belakang. Baginya, itu adalah pergerakan yang sulit karena setiap ketua regu cukup cermat membawa kelompoknya meniti jalan perang.
Sementara itu di Gondang Wates, Pandan Wangi telah membagi para pengawal menjadi kelompok yang beranggota cukup kecil. Setiap orang hanya memimpin tiga atau empat pengawal. Sebagian menyebar di batas luar pedukuhan, sedangkan sisanya membentuk benteng pendam dengan jarak yang terukur dalam susunan gelar yang diatur Pangeran Purbaya. Pertahanan yang cukup tangguh untuk meredam terjangan liar pasukan lawan. Kelompok-kelompok pengawal yang menjadi benteng pendam berada di tempat-tempat yang tidak menguntungkan bagi lawan. Bila satu benteng dapat ditembus lawan, mereka akan menyebar untuk memecah perhatian serta memancing lawan memasuki daerah yang dijaga kelompok pengawal yang lain. Sedangkan pengawal yang tidak tergabung sebagai bagian benteng pendam pun mempunyai tugas yang cukup berat. Mereka harus mampu mengurai barisan lawan dalam siasat lari, serang lalu menghilang. Mereka akan saling mengisi tempat-tempat yang ditinggalkan pengawal yang lain. Pangeran Purbaya menyebut mereka sebagai regu lompat belalang. Bila keadaan memungkinkan, mereka dapat memukul lawan dari belakang. Tentu mereka yang terpilih melakukan tugas itu mempunyai kemampuan di atas rata-rata pengawal lainnya. Keterampilan pribadi memainkan segala senjata menjadi syarat utama yang diminta Pangeran Purbaya pada Pandan Wangi ketika mereka berunding mengenai siasat perang.
Jarak pasukan Ki Sor Dondong semakin dekat dengan perbatasan Gondang Wates. Sukra cukup beruntung ketika memutuskan untuk beralih sedikit ke belakang barisan. Permukaan tanah yang dipijaknya adalah sebuah gundukan kecil dan ia merunduk bersama-sama barisan ketiga atau keempat dari iring-iringan panjang pasukan Raden Atmandaru. Dari bagian tengah, Sukra dapat mendengar perintah yang diucapkan oleh ketua regu pada kelompoknya. Mendadak, mereka bergerak secara bergelombang, melebar ke sisi kiri dan kanan, memenuhi pategalan dan persawahan tanpa banyak menimbulkan suara. Dari tempatnya, Sukra juga dapat melihat bahwa bagian depan sedang mengubah susunan perang. Mereka seperti menjadi bulan tumanggal yang lancip pada dua sisinya. “Itu dapat menjadi jebakan bila para pengawal gegabah memasukinya. Mungkin pemimpin pasukan ini, dahulu, pernah menerima wawasan perang,” bisik Sukra dalam hatinya.
Pategalan yang panjang dan sebuah hutan kecil di sisi utara dapat dilihat oleh Sukra bersamaan dengan semburat merah di ujung timur. Maka, kemudian sudah jelas baginya bahwa membuat keributan di tengah-tengah pasukan Raden Atmandaru akan menjadi sesuatu yang mustahil dilakukannya sendiri. Ia harus sabar menunggu hingga pertempuran telah pecah!
Sementara di balik garis pertahanan yang telah ditetapkan Pandan Wangi, para pengawal pedukuhan bersungguh-sungguh mengadakan pengamatan. Sepasang mata mereka terus bergerak, mencari setiap bayangan hitam yang mungkin dapat tertangkap oleh penglihatan mereka.
“Kita tidak lagi dapat membuat hubungan dengan regu lain,” kata salah seorang ketua regu. “Kita tidak dapat menggantungkan harapan agar dapat tertolong oleh teman-teman kita yang berada di tempat lain. Meski mereka melihat kesulitan kita, namun mereka juga terikat dengan kewajiban yang sama dengan kita untuk saat ini.”
“Apakah kekuatan Gondang Wates dapat menghadang gempuran mereka?’ tanya seorang pengawal.
“Pangeran Purbaya dan Nyi Pandan Wangi pasti sudah mempunyai pertimbangan yang tidak dapat kita pikirkan. Lagipula, beliau berdua mengatakan bahwa seorang pengawal Menoreh berada di antara pasukan lawan. Sejujurnya, aku juga tidak dapat menebak arah siasat beliau berdua tetapi aku mempunyai keyakinan bahwa mereka telah memilih tempat yang salah untuk berperang,” jawab pengawal yang menjadi ketua regu menirukan ucapan Pandan Wangi.