Dengan sikap tubuh yang mewah, Ki Nagapati menggaungkan kata-kata, “Aku akan berada di tempat ini. Aku adalah penghalang pertama bagi setiap orang yang akan mengganggu Pajang.” Ki Nagapati merasakan dadanya yang bergemuruh dan jantung yang berdentang keras ketika mengucapkan itu. Tersirat ketegasan di balik ucapan yang juga menyimpan ancaman, orang-orang sepertinya tahu bahwa Ki Nagapati telah membuat keputusan pamungkas pada wilayah yang mungkin dianggapnya sebagai tempat terakhir.
Beberapa anak buah Ki Nagapati saling bertukar pandang. Lalu Ra Suketi bangkit berdiri dan berkata, ”Saya akan menyertai Anda, Ki Nagapati.”
“Dalam keadaan susah maupun bahagia,” seseorang berdiri sambil menimpali kata-kata Ra Suketi. Diikuti kemudian oleh suara-suara yang lain saling bersahutan menyatakan kesetiaan pada Ki Nagapati. Tanpa terasa satu dua bulir air mata mengembun keluar dari pelupuk Ki Nagapati.
Kesetiaan pasukannya telah terbukti dan mereka memang selalu bersama dalam banyak keadaan, baik dalam suasana pertempuran ataupun masa damai. Tetapi, Ki Nagapati selalu saja merasakan ada kelembutan menyusup tajam dalam hatinya setiap mendengar ikrar setia dari para prajuritnya.
Ki Banyak Abang dan dua orang lurahnya terhanyut keharuan yang luar biasa. Mereka baru sekali ini menjadi saksi dan melihat sendiri sebuah kesetiaan yang hampir tiada batas. Peristiwa yang terjadi di depannya itu menjadikan Ki Banyak Abang semakin hormat pada Ki Nagapati.
Sesungguhnya Ki Nagapati dapat menduduki Pajang hanya dalam satu serangan pada malam ini. Tapi ia tidak melakukan itu atas dasar sebuah kehormatan seorang prajurit dan harga diri seseorang yang menjadi anggota keluarga, pikir Ki Banyak Abang seraya merenungi pemandangan di depan matanya.
Sementara itu di luar pemukiman, nyaris segenap prajurit dari dua kelompok besar ini telah berbaur dalam gurau dan kelakar. Pada kerumunan besar tersebut tidak tampak kesan permusuhan maupun kebencian dalam ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Mereka sepertinya tahu yang sedang berlangsung di dalam ruangan, tempat pertemuan pemimpin mereka. Kehangatan semakin merebak di sekitar pemukiman. Bahkan seorang prajurit Ki Nagapati menyempatkan diri untuk memasak seekor kambing pada malam itu. Suasana pun seakan berubah menjadi pesta semalam suntuk.
Hingga fajar hampir merekah, Ki Banyak Abang menoleh ke arah Ki Nagapati yang duduk sebelah menyebelah dengannya. Dia berkata, ”Paman Ki Nagapati, saya akan kembali ke Pajang, lalu mengatakan semua yang terjadi di perkemahan ini pada Bhre Pajang.”
Ki Nagapati tidak segera menjawab. Dia memandang ke arah timur, lalu katanya, ”Memang tiba waktu bagimu dan pasukanmu untuk segera kembali ke Pajang. Aku akan menenangkan diri setelah ini semua. Dan katakan pada Bhre Pajang, setiap saat beliau dapat mengerahkan seluruh pasukanku jika beliau inginkan. Sejujurnya, aku merasa khawatir dengan perasaanku saat ini. Semoga tidak ada mendung dan badai yang akan mengguncang Pajang.” Ki Nagapati menarik napas panjang kemudian menghembuskannya pelan-pelan, Dia bangkit menepuk bahu Ki Banyak Abang dengan tatap mata tajam, lalu berkata, ”Apakah petugas sandi Pajang tidak melaporkan sedikit kejanggalan padamu?”
“Tidak, Paman!” Ki Banyak Abang menjawab dengan dahi berkerut. “Atau belum sempat mengatakan sesuatu pada saya.”
“Kalau begitu aku juga tidak akan mengatakan apapun padamu. Hanya saja aku akan mempersiapkan seluruh pasukanku untuk bersiaga seperti biasanya,” berkata Ki Nagapati. Kemudian dia berkata lagi, ”Dalam dua atau tiga hari ke depan, aku akan menemui Bhre Pajang. Sampaikan keinginanku pada beliau.”
Link Donasi : Jumat Berkah
“Baik, Paman. Saya mohon pamit,” jawab Ki Banyak Abang yang berusia tak terpaut jauh dari Ki Nagapati, tapi lebih suka memanggilnya dengan sebutan paman karena merasa harus menempatkan Ki Nagapati sebagai orang yang didahulukan. Dia bangkit lalu memberi aba-aba pada pasukannya supaya bergegas mempersiapkan diri kembali ke Pajang.
Sejenak kemudian pasukan Pajang telah berbaris rapi dan berjalan beriringan seperti barisan semut yang merayap. Mereka terlihat gagah dengan berbagai umbul-umbul, bendera dan kelebet kecil. Seragam prajurit dan senjata yang disandang makin menambah wibawa para prajurit Pajang. Ki Nagapati dan Ra Suketi melepaskan pasukan Pajang di regol permukiman saat sinar matahari menyentuh ujung daun di puncak pohon.