Padepokan Witasem
cerita silat jawa, bara di borobudur, cerita silat majapahit, cerita silat bondan, cerita silat kolosal
Bab 6 Mengguncang Pajang

Mengguncang Pajang 5

“Saya sependapat. Ratusan orang dengan senjata di tangan akan terbakar seperti rumput kering jika ada satu orang yang kehilangan pengamatan diri,” kata Ki Banyak Abang. “Maka, beristirahatlah kalian! Kita datang tidak untuk bertempur dengan saudara sendiri. Kalian dapat melonggarkan senjata dan bercakap-cakap dengan mereka jika kalian inginkan, tentu saja tanpa senjata dalam genggaman tangan.” Lantas dia melangkah menuju barisan prajuritnya sambil memberi pesan untuk tetap bersikap tenang dan waspada.

Tiba-tiba terdengar derap kaki beberapa ekor kuda dan dalam sekejap tiga orang penunggang kuda telah berada di sebelah barisan pasukan Ki Banyak Abang.

“Ki Nagapati!” seru orang yang berada di belakang barisan. Seketika itu pula prajurit Ki Banyak Abang mengambil sikap siap menyerang, tetapi dengan cepat dan tegas Ki Banyak Abang memerintahkan mereka untuk kembali pada kedudukan semula.

“Jangan gegabah!” seru Ki Banyak Abang sambil berjalan cepat menyongsong Ki Nagapati. Dia segera memberi hormat pada pemimpin prajurit yang disegani di kotaraja itu. “Maafkan pasukan saya, Ki Nagapati!” kata Ki Banyak Abang kemudian memerintah prajuritnya supaya menyarungkan senjata.

loading...

“Tidak mengapa, Ki Banyak Abang. Mereka memang sedang berada dalam tugas,” jawab Ki Nagapati dengan senyum mengembang sambil mengedarkan pandangan menyapu barisan prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Banyak Abang.

“Aku akan berbicara dengan pemimpin kalian. Sementara itu, kalian dapat beristirahat di sini atau di dalam perkemahan. Orang-orangku akan menyiapkan hidangan yang dapat membuat kalian terbantu menghalau rasa dingin yang menyusup hingga tulang belulang,” ucap lantang Ki Nagapati yang diikuti Ki Banyak Abang dengan anggukkan kepala.

Segeralah para prajurit Pajang itu membagi kedudukan mereka. Sebagian orang mengikuti Ki Banyak Abang memasuki permukiman dan yang lain tetap berada di luar.

“Kirimlah kemari satu atau dua gentong wedang jahe,” kata seorang prajurit pada rekannya yang berjalan mengikuti Ki Banyak Abang.

“Aku akan meminjam kerbau untuk membawa wedang jahe sebanyak isi pedati,” kelakar seorang yang lain kemudian mereka tertawa tertahan.

Dukung ketahanan padepokan dengan cara klik bagian ini

Ki Nagapati melangkah cepat memasuki pemukiman diikuti Ki Banyak Abang, Ra Suketi dan beberapa pemimpin prajurit lainnya. Mereka bergegas menuju sebuah bangunan berdinding bambu yang berukuran sedang. Setelah menyilahkan mereka semua untuk mengambil tempat duduk, Ki Nagapati mengucapkan kata-kata yang ditujukan pada anak buahnya dan Ki Banyak Abang, ”Bhre Pajang dengan jelas dan tegas telah memberi jawaban yang selama ini telah kita nantikan. Dan aku juga berulang kali mengatakan pada kalian untuk dapat menerima segala keputusan Bhre Pajang. Tidak boleh ada sedikit pun tindakan yang menjadi cermin ketidakpuasan, dan juga tidak boleh ada kata-kata yang menyakitkan hati orang-orang Pajang. Itu adalah keputusanku, meskipun dan andaikata salah, aku ingin kalian menerima bahwa kita sudah tidak mempunyai tempat lagi di kotaraja.”

Sambil menahan air mata karena hati yang pilu, Ki Nagapati melanjutkan kata-katanya, “Bhre Pajang akan membiarkan kita menetap di sisi hutan ini. Beliau pula memberi kita wewenang untuk membuka lahan untuk pertanian dan kebun.”

Terdengar gaduh dari orang-orang Ki Nagapati, Ra Suketi kemudian mengangkat tangannya dan berkata, ”Bukankah kita adalah bagian dari Pajang, Ki Tumenggung?” Beberapa pemimpin kelompok prajurit pun berkata-kata untuk mengungkapkan perasaan dan isi nalarnya. Riuh kegaduhan terjadi di dalam ruangan itu, sementara Ki Banyak Abang dan dua orang lurah prajurit yang menyertainya merasa tidak perlu turut campur pada pembicaraan yang terjadi di kalangan orang Ki Nagapati.

Ki Nagapati membiarkan perdebatan dan saling bantah terjadi di antara pemimpin kelompok. Kemudian berkata, ”Marilah, kita merenung sejenak.”

Ki Nagapati lantas meminta mereka untuk berhenti bersuara. Kegaduhan itu mereda perlahan-lahan. Lalu suasana menjadi hening. Agaknya Ki Nagapati adalah orang yang mempunyai wibawa sangat besar di kalangan pengikutnya.

Dia tidak perlu berteriak keras atau mengulang perintah.

Dia hanya berkata dengan tenang dan hanya sekali diucapkan. Sejenak setelah orang-orangnya bersikap tenang, Ki Nagapati melanjutkan, ”Baik, anggaplah kita akan memaksakan diri memasuki wilayah Pajang. Lalu Bhre Pajang tidak dapat menerima kedatangan kita di dalam benteng kota. Apakah mungkin tidak terjadi sebuah pertempuran? Untuk pertama kalinya, kita akan mati sebagai orang bodoh.

“Aku tahu kalian adalah sekumpulan prajurit tangguh dan telah banyak melibas lawan dalam pertempuran. Tetapi keadaan sekarang ini berbeda dengan keadaan yang pernah kita hadapi di masa lalu. Mungkin saja kita dapat menghancurkan Pajang, namun kita juga akan membangunnya kembali dan itu tidak mudah. Atau mungkin saja kita akan dihancurkan oleh orang-orang Pajang dan itu adalah kematian yang sia-sia.”

Ki Nagapati berhenti sejenak dan mentap tajam setiap mata yang berada di dalam ruangan, seolah ingin mengetahui isi hati setiap orang yang mendengar kata-katanya. “Sekarang aku minta kerelaan kalian untuk menerima tawaran Bhre Pajang untuk menjadikan perkemahan ini sebagai awal dari pedukuhan yang akan menetap bawah pengawasan Pajang. Keadaan itu akan menjadi lebih baik bagi kita semua. Kita dapat memulai hidup baru di tempat ini dan membangun harapan baru bersama orang-orang Pajang,” ucap Ki Nagapati menutup kalimatnya sambil bangkit dari tempatnya duduk.

Wedaran Terkait

Mengguncang Pajang 8

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 7

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 6

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 4

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 3

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 2

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.