“Selanjutnya Pajang berada di bawah genggamanmu. Lalu, di sini, aku akan mencegah Gajah Mada, Ra Pawagal dan yang lain agar tidak dapat mendekati raja dungu itu,” desis orang bergelang emas. Kemudian dia bertanya, ”Berapa lama orang-orangmu dapat mencapai Pajang?”
“Dalam sepekan, selanjutnya mereka akan membantu Ki Juru Manyuran mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk mengurung Bhatara Pajang.”
“Hmmm, apakah itu termasuk memberi latihan olah kanuragan? Dan satu hal, apakah orang-orang Sanca Dawala akan mencari sekutu guna menambah kekuatan?”
“Saya tidak berani menduganya, Kakang. Karena setiap kemungkinan dapat terjadi apabila perkembangan tidak berada dalam harapan.”
“Kau harus meyakinkan orang-orang yang kau tugaskan ke Pajang. Apabila Ki Juru Manyuran mulai mencari bala bantuan untuk menambah kekuatan, maka engkau harus dapat memastikan gabungan itu tidak berbahaya bagi kepentingan yang kita siapkan. Namun kau juga harus memperhatikan apabila yang terjadi justru keadaan sebaliknya.” Orang bergelang emas diam sejenak.
Dia berkata pada hatinya, “Namaku Dyah Balayudha. Ketika Pajang mengirim gempa yang mampu mengguncang kotaraja, maka aku adalah orang terkuat setelah raja dungu itu!” Tekad kuat Dyah Balayudha terlihat jelas di balik dua bola matanya.
Dyah Balayudha mengatur napas sebelum melanjutkan kata-katanya. Sejenak kemudian, kepada Pang Randu, dia berkata, ”Kau harus dapat memanfaatkan setiap perkembangan untuk mendorong mereka lebih maju. Perhatikan pula setiap titk kelemahan mereka, ungkapkan itu agar kau dapat memaksa mereka tunduk dalam perintahmu. Bila mereka melawan, kau dapat meremasnya dengan mudah.”
“Saya mengerti, Kakang.”
“Aku sudah kirimkan melalui jalur yang berbeda. Maksudku, bantuan ini akan menempuh jalan yang berbeda dengan orang-orangmu. Mereka meninggalkan kotaraja sekitar dua pekan yang lalu.” Orang bertubuh gendut itu kemudian memberi perintah dengan berbisik pada Pang Randu. Tak lama kemudian, dia meminta Pang Randu segera berangkat menuju Pajang. Dalam waktu singkat, orang yang menjadi tangan kanannya itu telah meninggalkan bangunan yang berada di sisi selatan istana raja.
Pang Randu membedal kuda agar melaju cepat menuju padepokan kecil yang sedikit menjorok masuk ke dalam hutan bambu. Sesampainya di depan bangunan yang seperti tidak berpenghuni, Pang Randu melompat turun, melangkah lebar kemudian mendorong pintu yang sedikit terbuka. Di bagian dalam rumah, dia mendapati tiga lelaki sedang berbaring dengan mata terpejam. Namun Pang Randu mengerti bahwa mereka bertiga tidak dalam keadaan tidur.
“Ki Langu Reja!” panggil Pang Randu.
Orang yang disebut namanya itu segera membuka mata, perlahan duduk di tepi pembaringan, lalu bertanya, ”Apakah sudah tiba saatnya?”
Pang Randu mengangguk kemudian ia menyodorkan dua kampil berisi logam bundar dari emas.
“Aku berangkat sekarang,” kata Ki Langu Reja kemudian mengajak dua kawannya yang masih berbaring. Sejurus kemudian, mereka telah berada di punggung kuda. Ki Langu Reja menoleh Pang Randu dan bertanya, ”Apakah jalan yang kami tempuh itu seperti yang telah kau katakan?”
Pang Randu mengangguk lagi lalu katanya, ”Rumah orang itu mempunyai tanda khusus yang pernah aku jelaskan padamu.”
Ki Langu Reja melambaikan tangan dan menghentak lambung kuda. Tiga orang suruhan Pang Randu memacu kuda dengan kecepatan yang cukup tinggi. Mereka melaju seolah berkejaran dengan matahari yang mulai bersembunyi di balik rerimbun daun dan punggung bukit.
“Apa yang bisa aku harapkan dari orang yang kau panggil Ki Juru Manyuran?” orang itu bertanya pada Pang Randu.
“Mengambil alih Pajang, Kakang,” jawab Pang Randu.
“Nah, dengan demikian, kita dapat mengukur kekuatan raja dungu itu di tempat yang jauh dari jangkauan orang-orang yang selama ini melindunginya,” berkata orang bertubuh agak gemuk mengenakan gelang emas bertabur intan pada dua lengannya.
“Aku harap memang seperti itu yang akan terjadi,” tukas Pang Randu yang berusia lebih muda dan berambut panjang menimpali.
Demikianlah akhirnya mereka telah tiba di pendapa rumah Ki Juru Manyuran.
Empat orang duduk melingkar di atas gelaran tikar pandan. Sejurus kemudian, Ki Wisanggeni – yang datang belakangan – berkata dengan tatapan tajam mengarah Ki Langu Reja, “Aku tidak suka dengan caramu memperlakukan orang-orang di sini. Sikap kalian bertiga sebenarnya telah cukup bagiku untuk menghukum kalian bekerja paksa memperbaiki jalanan di pedukuhan ini. Apabila bukan karena kalian adalah orang-orang yang dikirim oleh Pang Randu, aku memberi jaminan kalian akan terkubur di ujung pedukuhan. Dan aku tahu Pang Randu tidak menyuruh kalian bersikap seperti itu.” Bibir Ki Wisanggeni mengatup erat dan terdengar gemeretak rahangnya.
Ki Langu Reja terhenyak, darahnya berdesir cepat. Dengan wajah merah padam, ia membuka bibirnya, “Itulah aku, Ki Langu Reja. Dan itulah kami bertiga. Tidak seorang pun berani mengancam kami, bahkan seorang raja tidak pernah menghina kami seperti itu!”