Setelah merenung barang sejenak, Nyi Ageng Banyak Patra melanjutkan, “Ki Demang pasti kesulitan untuk mengenali satu demi satu atau kelompok-kelompok yang sudah terbelah. Mungkin sudah tersebar nama-nama yang berpaling dari Panembahan Hanykrawati, dan mungkin dari titik itu pula kemudian menyebar nama-nama lain yang mengikuti mereka. Jika kita sebut nama, maka Ki Panji Secamerti dan Ki Ramapati adalah nama yang mengedepan di kalangan mereka. Tetapi, mereka cukup sabar menanti di dalam Kepatihan. Barangkali sudah ada orang-orang yang mengusik mereka, tapi, aku pikir mereka mempunyai keyakinan kuat untuk menggeser Panembahan Hanykrawati. Pada keadaan itu, aku harus menundukkan kepala karena kesabaran mereka.”
Ki Demang Brumbung menarik napas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Guru sudah cukup dalam memahami perkembangan, dan Guru cukup telaten dengan tidak melibatkan langsung pembela setia ke dalam pusaran yang cukup keruh ini.” Ki Demang menghentikan ucapannya. Sejenak memandang langit, lalu membenamkan penglihatan pada tanah yang dipijak, lalu katanya, “Membekuk mereka satu demi satu pun bukan gagasan yang tepat.”
“Benar,” sambung Nyi Banyak Patra. “Itu seperti menuangkan air pada lubang semut. Mereka akan menyebar mencari ruang. Kemudian dengan kekuatan yang cukup, mereka bakal dan nyaris dapat dipastikan mendesak Wayah Panembahan agar mengundurkan diri atau memaksanya turun tahta.”
Sesaat suasana sekitar mereka menjadi hening. Mungkin mereka sedang membayangkan keadaan yang bakal terjadi di Mataram dan wilayah-wilayah yang mengelilinginya. Dalam waktu itu, Nyi Ageng Banyak Patra mengingat kejadian-kejadian di masa lalu ketika beberapa pusaka hilang dari kraton Demak dan Pajang. Sekalipun pusaka-pusaka tersebut dapat kembali ke dalam bangsal keramat yang berdinding tebal, tetapi pengakuan atas kedaulatan tahta dapat dipastikan terkikis jika kabar tersiar luas. Peristiwa yang dapat dikatakan sebagai kejadian yang mencoreng muka perwira-perwira sandi itu didengarnya dari Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Walau pada awal mulanya, Nyi Ageng Banyak Patra menganggap semua peristiwa itu adalah dongeng pada masa kecilnya, tetapi kini dia tidak dapat mengabaikan rincian yang ada di dalam setiap keterangan.
“Sejarah selalu berulang,” desis Nyi Ageng Banyak Patra. Ki Demang Brumbung berpaling padanya, kemudian Nyi Banyak Patra meneruskan, “Sejarah selalu berulang meski rincian, para lakon atau tokoh utama serta tempatnya berbeda ruang dan waktu.”
Dalam pikirannya, Ki Demang Brumbung menduga bahwa perempuan sepuh yang berada di dekatnya mengetahui banyak peristiwa yang tersembunyi dari pandangan mata kebanyakan orang. Dia menarik napas panjang, lalu berkata, “Saya adalah salah seorang yang menjadi bagian Mataram. Begitu juga orang-orang yang berseberangan dengan kita. Namun di dalam keadaan ini, saya tetap berada di sisi Panembahan Hanykrawati, meskipun harus berhadapan dengan seorang panji atau tumenggung yang menjadi atasan saya. Aku, Ki Demang Brumbung, tidak dapat berbuat lain selain memandang wajah Panembahan.”
Nyi Ageng Banyak Patra merasakan dada dan pikirannya menjadi lapang. Keraguan tentang diri Ki Demang Brumbung pun terhempas. Pertaruhan nyawa telah dilewatinya dan wajahnya tidak menunjukkan kebimbangan sedikit pun, pikir Nyi Banyak Patra mengenai Ki Demang Brumbung.
Angin dingin turun dari puncak Merapi lalu mengusap punggung dua orang yang sedang bertukar pikiran itu. Hingga langit menjadi merah menjelang senja, mereka belum memutuskan jalan terbaik untuk mengamankan kotaraja.
Sambil memandang ladang dan pategalan yang penuh dengan dedaunan yang lebat, Nyi Banyak Patra kemudian mengarahkan telunjuknya dan berkata, “Itulah Mataram saat ini, begitu hijau dan mempunyai masa depan serta harapan untuk berkembang. Dan, sebelum malam menjelang, kita harus menerangkan segala pertimbangan pada Ki Patih Mandaraka sebagai alas keputusan.”
“Itu berarti sebelum cahaya matahari menyentuh permukaan tanah, kita harus bergerak terlebih dulu dengan senyap,” kata Ki demang Brumbung lirih.
“Benar,” ucap Nyi Ageng Banyak Patra lalu mengungkapkan isi pikiran yang merupakan pengembangan siasat dari dom sumurup ing banyu. Nyi Ageng Banyak Patra meminta Ki Demang segera menugaskan sejumlah petugas sandi untuk menyusup lebih dalam ke barisan Raden Atmandaru. Meski sejenak dirasakan sulit, tapi Ki Demang menyatakan kesanggupan. Ia telah mempunyai gambaran mengenai orang-orang yang diselipkan pada barisan lawan. Setidaknya, ketika pasukan Ki Panji Secamerti dapat diasingkan dari pergaulan prajurit, Ki Patih Mandaraka mulai dapat memilah kerumunan orang yang berwajah dua.
Pada waktu yang sama, di dalam sebuah ruangan Kepatihan, Ki Patih Mandaraka memandang lekat wajah Agung Sedayu. Pikirnya sesaat, sebenarnya Mataram dapat mengandalkan pasukan khusus yang mendiami pegunungan Menoreh. Mereka mempunyai bekal yang memadai untuk menyergap dan menumpas inti kekuatan pasukan Raden Atmandaru. Namun yang menjadi persoalan utama bagi Ki Patih Mandaraka adalah waktu yang kian semput serta keberadaan lawan yang masih samar. Bisa jadi mereka telah menyebar di segala penjuru kotaraja. Bisa juga mereka sudah merasuk hingga ke dalam Kepatihan maupun kraton Panembahan Hanykrawati. Pasukan khusus yang dipimpin Agung Sedayu memang mempunyai banyak kelebihan. Mereka lebih tangkas dan kuat dengan kemampuan bela diri yang jauh di atas kebanyakan prajurit Mataram. “Tetapi memerintahkan mereka memasuki kotaraja akan menjadi bahan terbaik bagi mereka untuk menghembuskan berita buruk mengenai keamanan Mataram. Ini bukan sesuatu yang mudah dikerjakan jika harus menangkapi satu demi satu orang-orang yang berbalik arah,” ucap Ki Patih dalam hati.
Menyadari dirinya sedang menjadi perhatian Ki Patih Mandaraka, Agung Sedayu bertanya hormat, “Apakah Ki Patih hendak memerintahkan saya berbuat sesuatu?”
Sesepuh Mataram itu kemudian tersenyum, lalu berkata, “Segala yang aku perintahkan atau titah Panembahan tidak dapat diikuti oleh kesalahan walau sedikit dan dapat diperbaiki.”
“Saya mengerti,” ucap Agung Sedayu.
“Hujan telah membuat awalan yang menjadi akhir mangsa ketiga,” kata Ki Patih Mandaraka sambil bangkit dari tempat duduk. Ki Patih lantas meminta Kinasih untuk mengambil selembar kulit yang berada di sudut ruangan. Di atas lembaran itu tertera coretan-coretan yang sulit dimengerti oleh orang-orang yang tidak berlatar keprajuritan, maka Kinasih hanya mengerutkan kening ketika memandang lembaran kulit yang tergelar di bawah tangan Ki Patih Mandaraka.