“Bagaimana aku dapat percaya padamu? Bukankah kau ini pesuruh yang tinggal di rumah Agung Sedayu?” tanya Simbara yang ternyata mengetahui pula sedikit latar belakang Sukra.
Sukra mendengar itu lalu berpikir cepat, “Itu berarti anak ini juga menyimpan keterangan penting lain tentang Tanah Perdikan Menoreh atau Sangkal Putung. Aku bukan siapa-siapa, tapi dia dapat mengetahuinya. Bila hal kecil telah didengarnya, maka sesuatu yang besar pasti menjadi penggeraknya.” Sukra benar-benar panjang akal. Pertanyaan itu pun dijawabnya, “Justru nama itulah yang akan menjadi alat untuk keselamatanmu.”
“Benarkah?” tanya Simbara.
Sukra mengangguk.
“Terlalu mudah,” kata Simbara kemudian setelah merenung sejenak.
“Benar,” sahut Sukra. “Keadaan lain yang dapat mendukungmu supaya terlepas dari tekanan ini adalah aku pun sama seperti dirimu.”
“Sama? Bagaimana itu? Apa yang kau maksudkan?” tanya Simbara dengan cepat sambil mencari jawaban di dalam pikirannya sendiri.
“Menurut kabar dari orang-orang terpercaya di Tanah Perdikan dan Sangkal Putung, melalui kedudukan dan kedekatan Ki Rangga Agung Sedayu dengan Ki Patih Mandaraka, Pangeran Purbaya dan orang-orang penting lainnya, aku juga bakal dijadikan sebagai patih Mataram setelah Ki Patih Mandaraka meninggalkan jabatan,” ucap Sukra sekenanya.
“Omong kosong!” bentak Simbara. “Kau ini…rupanya lebih pantas menjadi pemimpi daripada menjadi petani. Gila! Baru kali aku dengar seorang anak petani begitu yakin dapat menjadi pemimpin Mataram. Hey, itu hanya bisa terjadi di dalam mimpi. Sadarlah, anak muda. Bangun!”
Agung Sedayu mendengar namanya disebut Sukra sebagai penjamin keamanan dan kebebasan Simbara. Memang terkesan janggal tapi Agung Sedayu menganggap siasat Sukra tergolong nekad walau cukup masuk akal. Selain itu, seandainya percakapan itu terjadi di pelataran rumah Ki Gede Menoreh atau Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu mungkin tak akan menahan diri untuk terpingkal-pingkal. Sejenak pemimpin pasukan khusus ini mengatur pernapasan karena ucapan Sukra yang benar-benar melantur jauh mengikuti Simbara. Namun, dalam waktu itu. Agung Sedayu sudah merencanakan sesuatu apabila terjadi benturan antara orang-orang dusun beserta Sukra dan pengawal kademangan melawan kelompok Simbara.
Kemudian di halaman banjar, wajah Sukra tampak memerah karena hampir tak dapat menahan tawa. Dia membuang muka, mengatur napas lalu kembali bicara dengan sungguh-sungguh. “Bagaimana? Bila kau tak percaya dengan perkataanku, apakah kau akan memilih jalan kekerasan?” tanya Sukra.
“Aku pikir lebih baik begitu. Lebih mati mati daripada mendapat bantuan di alam mimpi,” sahut Simbara lalu memutar tubuh menghadap pada pengikutnya. “Kawan-kawan, kalian pasti mendengar ucapan sembrono dari anak ini. Kita sedang berhadap-hadapan dengan bakal patih Mataram.”
Kawan-kawan Simbara tergelak lalu ramai-ramai menghujat Sukra.
Simbara meminta kelompoknya diam sejenak. Dia berkata kemudian. “Kita tidak mempunyai jalan keluar. Orang-orang dusun ini jelas menuduh kita sebagai pendatang atau penyusup yang sengaja berbuat onar. Mari, sekalian saja kita jadikan wilayah ini menjadi milik kita.”
“Hiya!” seru seorang dari barisan Simbara kemudian diikuti pekik perang oleh teman-temannya.
Kepala dusun segera bergerak ketika perkembangan yang dikhawatirkannya akhirnya terjadi. Namun sebelum dia mengatakan sesuatu, Bunija cepat menghampiri lalu berkata, “Kyai. Saya adalah orang yang diperintahkan oleh kepala pengawal kademangan untuk menghadang gerombolan ini, maka biarkanlah kami yang bekerja. Kyai dan Paman sekalian cukup berjaga-jaga bila ada yang berusaha melarikan diri.”
Kepala dusun itu berpaling ke kiri dan kanan seakan-akan sedang mengamati penduduknya lalu membuat penilaian singkat. Dalam waktu itu, Sukra lekat menatapnya dengan sinar mata penuh permintaan. “Baiklah, kami belum begitu mengenal kalian tapi sepertinya kami dapat percaya pada kalian.” Sambil meraih tangan Bunija dan Sukra, kepala dusun ini berseru “Orang-orang Dusun Meguwa sekalian, dua anak muda ini mampu merebut hatiku. Aku ingin percaya pada mereka, maka aku minta kalian juga percaya.”
Sejumlah lelaki dusun saling berpandangan sementara kelompok Simbara telah membuat lingkaran pertahanan. Kepala keamanan dusun dengan seksama memperhatikan pergerakan Simbara dan gerombolannya, lalu menjawab seruan kepala dusun, “Kyai, tampaknya gerombolan itu memang bukan orang-orang liar yang tidak mengerti tata cara berkelahi. Saya pikir memang lebih kita mendukung anak muda itu dan bergerak sesuai permintaannya.”
Tanpa menunggu tanggapan kepala dusun, Bunija lantas berteriak pada kawan-kawannya yang berasal dari pedukuhan induk agar segera membuat gelar tertentu. Sukra pun bergerak cepat lalu meleburkan diri ke dalam gelar.
Agung Sedayu melihat semuanya lalu sekilas mengenang keadaan dirinya saat masih berusia belasan tahun. Betapa dia terkungkung dalam ketakutan ketika Pande Besi dan Alap-alap Jalatunda menghadang perjalanannya bersama Untara menuju Sangkal Putung. Sedangkan Sukra dengan gagah berani memimpin laskar pengawal dari Sangkal Putung. “Untunglah hanya kakang Untara saja yang mengetahui keadaan sebenarnya,” ucap Agung Sedayu dalam hati ketika mengenang peristiwa itu sambil tersenyum kecut. Sungguh, itu semua adalah perbedaan yang sangat nyata. Peristiwa yang nyaris sama dengan pengulangan masa lalu dengan satu persamaan : saat ini Agung Sedayu menuju Sangkal Putung dengan segenap yang ada di dalam dirinya ketika laskar pemberontak menebar ancaman.
Pertempuran pun pecah di halaman banjar dusun.
Kelompok Simbara berpencaran lalu membuat tiga lingkaran kecil. Walau setiap kelompok itu berjumlah sedikit orang tapi mampu membingungkan para pengawal kademangan. Gelar emprit neba yang menjadi pilihan Bunija sebagai pemimpin pengawal seakan-akan menjadi tidak mempan menekan lawan.
“Menarik,” desis Agung Sedayu dengan suara yang hanya dapat didengarnya sendiri. Dia sering melihat serta terlibat gelar perang beraneka macam tapi menyaksikan perkembangan di pelataran banjar membuatnya geleng kepala. Kebanyakan gelar yang rumit hanya dilakukan oleh prajurit yang berpengalaman, tapi anak-anak muda yang dipimpin Simbara dapat menimbulkan kekaguman Agung Sedayu. Diam-diam senapati Mataram itu membayangkan kepandaian orang-orang di belakang Raden Atmandaru yang begitu cakap mengembangkan siasat perang. Jumlah yang tidak seimbang dan berada di bawah tekanan, dua keadaan yang membuat Agung Sedayu lebih berhati-hati membuat penilaian mengenai kemampuan pasukan Raden Atmandaru. Meskipun mereka dapat dipukul mundur di Karang Dawa tapi tangan Raden Atmandaru masih erat memegang sebagian wilayah Kademangan Sangkal Putung.
Di halaman banjar, Bunija sadar bahwa lawan mereka sudah tidak memperhitungkan keselamatan masing-masing. Musuh mereka hanya mempunyai dua pilihan, mati atau menjadi tawanan perang. Menjadi tawanan perang itu sudah dianggap seperti menjadi mayat yang berjalan. Mereka tidak akan dapat tenang menjalani sisa hidup selain karena pandangan orang juga rasa malu yang pasti menetap selamanya di dalam hati. Maka Bunija segera berseru pada kawan-kawannya agar lebih berhati-hati karena musuh mereka – pasti – sudah gelap mata.
Namun gelar kecil yang diperagakan kelompok Simbara benar-benar menyulitkan para pengawal kademangan. Selain itu, kemampuan orang per orang dari anak-anak muda itu sepertinya seimbang dengan orang-orang Sangkal Putung. Bahkan Simbara sendiri begitu cepat membuat Bunija berkelahi di bawah tekanan. Sepak terjang Simbara pun menyedot perhatian dari para pengawal kademangan, termasuk Sukra yang dikeroyok dua kawan Simbara.
Bagi Sukra, keberadaan Bunija sebagai kepala pengawal yang diutus Ki Tumenggung Untara harus mendapat dukungan penuh darinya. Pengetahuan Bunija mengenai pertempuran berkelompok, meski serba sedikit, adalah yang terbaik di antara pengawal kademangan pada malam itu. Bunija memang tidak dapat dibandingkan dengan Dharmana atau ketua kelompok pengawal lainnya dari Sangkal Putung, tapi Ki Tumenggung Untara tentu mempunyai alasan untuk memilihnya. Bahkan Sukra pun tahu batasan dirinya sendiri yang belum sebaik Bunija menguasai tata cara pertempuran dalam kelompok. Sekali saja lawan mengetahui Bunija kedodoran, maka itu seperti minyak yang disiramkan pada belukar yang terbakar. Demikianlah pikiran Sukra sehingga dia merasa harus segera mengambil Simbara sebagai lawannya . Maka secepat burung rajawali menyambar mangsa di langit, Sukra melepas pertarungannya, lalu berkelebat melabrak lingkar perkelahian Bunija yang kesusahan menghadang laju Simbara.
Serangan awal Sukra memang tidak berbahaya, namun sangat mengejutkan banyak orang yang mengitari pertarungan itu. Simbara cepat meloncat surut. Dia akan membuka mulut seakan ingin menertawakan kemampuan Bunija dan kelancangan Sukra, tapi itu tidak dapat terjadi! Sukra menggebrak Simbara dengan serangan bertubi-tubi. Benar-benar merepotkan Simbara sehingga anak dari Randulanang itu terpaksa berloncatan menghindar. Ketika Bunija telah berada pada jarak aman, Sukra tiba-tiba menghentikan serangan. Langkah ini jauh di luar dugaan Simbara yang masih mengira anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu terus menyerangnya.
“Sejauh inikah kemampuanmu?” Nada Simbara makin memanaskan keadaan. Para pengikutnya berteriak-teriak kasar penuh hinaan pada lawan-lawan mereka.
Sukra tidak menjawab dengan kata-kata tetapi dengan serangan yang sangat gencar, jauh lebih gencar dari sebelumnya meski masih jauh dari kata bahaya. Bahkan sepertinya Sukra seakan-akan sedang membuang-buang tenaga dengan gerakan-gerakan yang tidak perlu. Tapi agaknya Simbara tidak ingin terlena dengan Sukra yang terus menerus berubah.
“Sebenarnya, anak ini, apakah benar-benar dapat berkelahi atau sedang berpura-pura?” Di dalam hati, Simbara bertanya pada dirinya sendiri. perubahan
Sebenarnya tidak hanya Simbara yang penasaran dengan perubahan pada tata gerak Sukra saat berkelahi. Bekel dusun dan ki jagabaya pun melihat itu dengan sorot mata tidak percaya. Mereka pun bertukar pandang barang sejenak sambil mengerutkan kening dan bahu terangkat.
“Cerdik,” puji Agung Sedayu dalam hati pada sikap Simbara yang menurutnya akan dapat mengacaukan perhatian para pengawal kademangan. Dalam waktu hampir bersamaan, Agung Sedayu pun ingin bertepuk tangan untuk Sukra yang benar-benar sulit ditebak. Sukra, menurut Agung Sedayu, sedang menjalankan rencana sendiri. Senapati Mataram itu dapat melihat perbedaan sedikit demi sedikit yang dilakukan Sukra. Dengan tandang yang aneh dilihat, Sukra menghanyutkan Simbara secara pelan. Agung Sedayu sudah membaca bahwa Sukra seakan-akan membiarkan dirinya terdesak tapi tetap menjaga agar tubuhnya tidak tersentuh senjata Simbara. Lalu pengawal muda Tanah Perdikan itu menyerang musuhnya tapi dengan tujuan menjauhkan Simbara dari kelompoknya.
Simbara tampak kesulitan menggores Sukra yang lincah berloncatan. Anak muda yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh itu mampu memecah perhatian musuhnya sehingga Simbara tak lagi dapat mengatur gelar perang yang diperagakan kelompoknya.
Bunija yang sudah terlepas dari tekanan Simbara pun akhirnya dapat bergabung kembali pada kelompok pengawal kademangan. Setelah memerhatikan segala perubahan yang diawali Sukra, Bunija pun mengubah gelar perang melalui aba-aba yang hanya dimengerti para pengawal kademangan. Namun yang mereka hadapi adalah sekelompok orang yang nyaris tidak takut mati. Tidak seorang pun tahu alasan anak-anak muda yang menyertai Simbara hingga mereka bertempur dengan sangat garang dan buas. Tentu saja keadaan itu cukup mengejutkan pengawal Sangkal Putung yang terbiasa dengan banyak paugeran.
Maka menghadapi lawan yang berangasan, Bunija lagi-lagi mengubah siasat perang. Dia berani melakukan itu ketika menyadari rencana Sukra yang awalnya cukup membingungkannya. Bunija pun memecah pengawal menjadi tiga kelompok lalu memerintahkan agar mereka terus menerus bertukar kedudukan. Dia pun menggabungkan diri pada salah satu kelompok yang mengambil lawan di sisi utara halaman banjar.
Dalam waktu itu, Bunija dan kelompok-kelompok kecil pengawal mulai dapat menjaga keseimbangan. Kekurangan dari pengawal yang berkemampuan lebih rendah dari musuh akhirnya dapat ditutup dengan perputaran kedudukan yang terus digemakan Bunija.
Ternyata perintah-perintah yang diteriakkan Bunija terdengar oleh Simbara. Anak muda dari Randulanang itu pun mengumpat-umpat tanpa henti. Akhirnya dia sadar bahwa dirinya hanyut oleh sepak terjang Sukra hingga berjarak lumayan jauh dari kawan-kawannya.