“Keputusan mereka akan menjadi perhatian saya, Nyi. Saya tidak dapat membiarkan Nyi Kirana selalu terkungkung dalam rasa bersalah,” sahut Bondan dengan nada tajam kemudian berdiri di depan Nyi Kirana.
Bondan sedikit merendahkan tubuh dan raut wajahnya tampak menahan sakit yang masih mendera bagian dalam dadanya. Bondan terusik saat mencoba mengerti perasaan Nyi Kirana seandainya dipaksa menempuh perjalanan jauh dengan tangan terikat dan disaksikan banyak orang. Malu adalah keniscayaan bagi Nyi Kirana. Dengan perlakuan semacam itu, tentu Nyi Kirana akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dalam pergaulan apabila ia benar-benar memperbaiki diri.
Sejenak kemudian, suasana tegang mencekam setiap hati orang-orang yang mengenal Bondan. Dalam waktu itu, Ken Banawa pun merasa yakin bahwa Bondan benar-benar akan menentang rencana mereka sekalipun harus kehilangan nyawa. Ia mengenal Bondan lebih baik daripada yang lain. Kematian Ranggawesi dan Ki Lurah Guritno telah menjadi bahan pertimbangan yang cukup bagi Ken Banawa. Apalagi ia menyaksikan betapa Bondan sempat kehilangan kendali ketika tidak menjumpai tubuh Lembu Daksa seusai pertempuran di Sumur Welut. “Sudah cukup, tidak perlu lagi ada perbantahan,” kata Ken Banawa pada dirinya sendiri.
Ki Swandanu dan Ki Hanggapati dirambati cemas. Mereka tidak mengira apabila Bondan begitu keras menentang rencana yang sebenarnya telah sesuai dengan paugeran yang berlaku. Keduanya tidak dapat membayangkan perasaan Resi Gajahyana apabila Bondan akhirnya harus mati karena membela Nyi Kirana.
Ketiga orang itu lantas berpaling pada Jalutama. Agaknya mereka akan menentukan sikap setelah Jalutama membuat keputusan. Jalutama kemudian sadar bahwa keadaan tidak akan terkendali apabila ia tetap keras pada perasaannya sendiri. Kemudian ia berkata, ”Baiklah, Nyi Kirana bebas berjalan seperti yang ia inginkan. Namun begitu, aku tidak akan segan bersikap keras apabila Nyi Kirana kemudian menyimpang dari kebebasan yang kita berikan.”
Nyi Kirana mengangguk lalu berpaling pada Bondan, katanya, ”Semua akan berjalan dengan baik, Ngger.”
Ken Banawa melangkah maju mendekati Bondan, kemudian menyentuh dada Bondan dengan sebelah sisi dalam telapak tangannya sambil berkata, “Kita akan semakin kehilangan banyak waktu dan tenaga apabila kau keras pada pendirian.” Ken Banawa lantas memutar tubuh, memandang pada Jalutama yang tegak mematung di belakangnya. Kata Ken Banawa kemudian, ”Aku mengenal Bondan dan memang pasti akan ada bencana bila kita sama-sama memaksa diri tanpa melihat kenyataan yang ada.”
Setelah menarik napas panjang lalu menatap Ki Swandanu dan Ki Hanggapati bergantian, Ken Banawa berkata, ”Keadaan kita tidak cukup pantas untuk menempuh perjalanan yang masih panjang. Bondan masih membutuhkan perawatan untuk luka-lukanya. Saya harrap Ki Swandanu dan Ki Hanggapati tidak mempunyai keberatan terhadap usul Bondan.”
Sejenak dua utusan Resi Gajahyana saling bertukar pandang. Lantas mereka menganggukkan kepala. Ki Swandanu kemudian berkata pada Jalutama, ”Kita tidak dapat membuat keadaan ini menjadi keruh karena kesalahan Nyi Kirana, Ngger.”
“Seharusnya ia harus berjalan di belakang,” sahut Jalutama dengan sorot mata tajam menatap Nyi Kirana.
Ki Swandanu menarik napas panjang. Katanya, “Aku sepakat denganmu bahwa kematian para pengawal Menoreh memang disebabkan oleh kelompok Nyi Kirana, namun mereka pun telah menerima hukuman yang setimpal atas perbuatan itu. Dan aku pikir betapa baik bila kita menunggu keputusan Ki Gede untuk penyelesaian yang lebih adil.”
“Dan aku adalah putra Ki Gede Menoreh. Tidak ada yang lebih berhak menghukum perempuan itu dibandingkan denganku,” tukas Jalutama agak gusar.
“Tidak seorang pun di antara kita yang dapat membantah kenyataan itu, Kakang Jalutama,” Bondan berkata kemudian.
“Diam!” Jalutama memandang Bondan dengan kemarahan ditahan.
“Memberi hukuman pada Nyi Kirana itu tidak berarti kita menyiksanya di tempat ini.” Bondan seperti tidak peduli dengan tanggapan Jalutama.
“Apa pedulimu pada perempuan tua itu?” bertanya Jalutama.
“Dengarkan aku, Jalutama!” Bondan berkata dengan nada tinggi.
Orang-orang terperanjat mendengar Bondan yang terlihat seperti terlepas pengamatan diri. Bahkan Ken Banawa pun tak kurang terkejut karena ia tidak pernah melihat Bondan bersikap kasar pada orang-orang yang lebih tua darinya. Jantung Jalutama berdesir cepat, ia tidak mengira bahwa Bondan akan bersikap keras dan kasar terhadapnya.
Bondan meneruskan kata-katanya, ”Nyi Kirana mungkin akan menerima hukuman mati dari Ki Gede. Dan aku rela dengan hukuman itu. Bahkan aku dapat menerimanya jika seperti itulah yang kalian anggap sebagai keadilan. Tetapi, berilah waktu, aku juga merasa berhak untuk membalas kebaikannya.” Bondan mengedarkan pandangan. Ia melanjutkan ucapannya kemudian, ”Majulah kalian semua jika itu dapat membuat kalian merasa lebih baik!”
“Tidak!” seru Ken Banawa tegas. Ia melemparkan senjatanya, kemudian berkata, ”Baiklah, aku akan ikuti kemauanmu. Begitu pula Ki Swandanu dan Ki Hanggapati. Dan Angger Jalutama pun akan mengikuti keinginanmu.” Ken Banawa berpaling pada Jalutama penuh harap agar Jalutama setuju dengannya.