Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 90

Sebenarnyalah keadaan yang sama juga terjadi pada pihak Raden Atmandaru. Sebagian pengikutnya dirundung gelisah seolah sedang menunggu diterkam pemangsa yang berada di balik gerumbul liar semak-semak sepanjang jalan menuju Alas Krapyak. Sebagian lain merasa cemas dengan sebab yang berbeda. Mereka ini justru sudah tidak sabar mengoyak hidangan berupa daging segar bertulang lunak yang bernama Mataram.

Dalam waktu itu, Raden Atmandaru telah berbagi tugas dengan Ki Sekar Tawang dan Ki Ramapati melalui utusan yang berangkat diam-diam. Menghabisi Panembahan Hanykrawati menjadi tugas utama  regu pembunuh yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang.

Pada waktu yang hampir sama dengan pembicaraan Agung Sedayu di dalam kraton Panembahan Hanykrawati, keinginan Raden Atmandaru yang ingin turun tangan sendiri dalam pelaksanaan itu ditentang keras oleh Ki Sekar Tawang.

“Sungguh akan berakibat sangat buruk bila Raden terluka atau bahkan kehilangan nyawa di Alas Krapyak,” tukas Ki Sekar Tawang.

loading...

“Kiai bicara terlalu keras dan tinggi!” geram Raden Atmandaru.

Ki Sekar Tawang menggeleng. Lalu katanya, “Itu bukan sebuah harapan buruk, Raden. Bukan pula saya ingin menantang Panjenengan karena alasan tertentu. Memang, kepergian saya dari Madiun memang memalukan dan sekarang menjadi saat yang tepat untuk membalaskan dendam pada keturunan Danang Sutawijaya, tapi segala pertimbangan harus digunakan karena kemungkinan selalu mempunyai jalan untuk menampakkan diri.  Maksud saya, Raden cukup menunjuk salah seorang di antara kami sebagai orang yang akan berhadapan langsung dengan Mas Jolang. Saya kira Raden mempunyai banyak pilihan selain saya.”

“Lalu, bagaimana jika kalian gagal menghabisinya?”

“Serahkan sepenuhnya pada kami,” jawab Ki Sekar Tawang. “Keindahan tak jarang dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk kengerian yang penuh pesona. Mas Jolang sudah pasti telah mendengar dan membuat perkiraan, tapi kita bukanlah orang-orang yang gemar memelihara kebodohan.”

“Ini adalah cara yang pertama kali dilakukan di tanah Jawa,” kata Raden Atmandaru. “Aku belum pernah mendengar peristiwa penyergapan terhadap seorang raja sepanjang hidupku.” Ia merenung sejenak sambil memikirkan ucapan Ki Sekar Tawang.  ”Mungkin ini akan berhasil karena Demak dan Pajang tidak meninggalkan wawasan mengenai apa yang kita lakukan. Walau, bisa jadi, Mataram telah mempersiapkan keamanan yang menurut mereka akan berhasil menjaga Mas Jolang…tapi aku kira mereka dapat menemui kegagalan karena yang menjadi lawan adalah kita.”

Ki Sekar Tawang mengangguk. “Benar, jika Demak dan Pajang belum pernah mendapatkan pengalaman seperti ini, mustahil Mataram dapat memperoleh pelajaran.”

“Begitulah, Kiai. Penyergapan raja bukanlah pengulangan peristiwa masa lalu.” Raden Atmandaru menatap tajam Ki Sekar Tawang, kemudian bertanya, “Berapa orang yang akan menjadi lingkaran inti Kiai?”

“Cukup banyak tapi saya kira tidak akan lebih dari dua puluh orang.”

“Lantas, apakah Kiai sendiri yang akan menjadi senapati pamungkas di Alas Krapyak ataukah ada orang lain yang masuk dalam pertimbangan Kiai?”

“Sebenarnya saya ingin mengajukan diri tapi pada barisan lawan ada Mas Rangsang yang tentunya akan mengikuti kepergian ayahnya. Ada beberapa nama yang sedang saya timbang-timbang. Salah satunya adalah pembantu setia yang masih berasal dari kalangan Ki Tumenggung Gending.”

Tampak sekilas senyum Raden Atmandaru mengembang. “Menarik. Sungguh menarik jika di dalam gerakan ini ada yang berpikiran sama dengan kita dan berangkat dari masa lalu.” Ia mengangguk-angguk, lalu berkata lirih, “Keuntungan kita adalah saat memberinya kepercayaan untuk bergerak dari dalam. Kiai, kita mempunyai jarum di bawah alas kaki Mas Jolang.

Ki Sekar Tawang mengangkat bahu. “Kehidupan terus berputar dan peluang selalu muncul bersamaan dengan orang-orang yang bergerak untuk perubahan.”

Raden Atmandaru bergumam. Karena ingin memastikan, maka ia bertanya, “Bagaimana dengan Ki Juru Martani?”

“Rubah tua itu tidak akan berani meninggalkan Kepatihan. Mataram tidak boleh kosong sama sekali, itu adalah pendapat mereka. Maka, Ki Juru akan tetap berada di kotaraja. Sedangkan untuk mengawal Mas Jolang, Mataram mungkin dan nyaris pasti menunjuk Mas Rangsang sebagai penanggung jawab,” jawab Ki Sekar Tawang. “Bila perempuan tua itu masuk dalam permainan, saya kira ia tidak akan jauh dari Mas Jolang.”

“Sepertinya Kiai sengaja meninggalkan kekuatan Mataram di Sangkal Putung dan Menoreh.” Lagi-lagi Raden Atmandaru menyatakan sesuatu yang sudah diketahuinya di dalam pikiran.

Orang yang dulu pernah menjadi buruan Agung Sedayu di Madiun itu melirik Raden Atmandaru dengan satu perasaan aneh, namun kemudian ia menjawab, “Sangkal Putung dan Menoreh tidak dapat bergerak lebih jauh. Pengawal mereka telah terkunci dengan keberadaan Ki Garu Wesi di jalur yang menghubungkan dua wilayah itu. Mataram tidak mungkin mengandalkan Swandaru gemblung untuk menjaga pergerakan Ki Garu Wesi. Karena kita sudah sama mendengar bahwa Pangeran Purbaya berada di sana dan juga Pangeran Purbaya bukan senapati ingusan, mari kita abaikan jangkauan Sangkal Putung.

Baca juga :
Kitab Kiai Gringsing
Pangeran Benawa

“Itu satu hal. Sementara bila kita memandang pasukan khusus, maka mereka akan menempuh jalur melingkar untuk menghindari penghadangan Ki Garu Wesi, bukankah itu sudah pasti membutuhkan waktu lebih lama? Seberapa cepat mereka bergerak sebelum mencapai kotaraja? Andaikan mereka dapat tiba di sini sebelum hari perburuan, mereka tentu tidak dapat segera mengambil tempat karena perwira-perwira kotaraja tentu akan melakukan penyesuaian. Tapi, siapakah yang dapat mengetahui hari yang diinginkan Mas Jolang? Tentu pengganti Agung Sedayu tidak akan gegabah meninggalkan Tanah Perdikan tanpa pertimbangan masak, Raden.”

Raden Atmandaru seperti sedang menunjukkan dirinya memang tidak berada pada tataran yang dikuasai oleh tumenggung Mataram. Jalan pikirannya cukup berhati-hati menerima dan menyaring ucapan Ki Sekar Tawang. “Kiai,” ia bertanya, “sekali lagi, berapa orang yang akan menyertai Kiai?”

Sungguh, bagi Ki Sekar Tawang, pertanyaan itu cukup sulit dijawab. Membagi pasukan menjadi dua atau tiga bagian sayap serang bukanlah perkara yang gampang dilakukan di dalam kotaraja. Apalagi mereka sedang mengincar sasaran terbesar sepanjang usia Mataram, maka pertanyaan mengenai jumlah pasukan menjadi sangat sulit dijawab. Butuh waktu yang cukup lama bagi Ki Sekar Tawang untuk meraba arah pertanyaan Raden Atmandaru.

“Dua puluh orang bukan jumlah yang sebanding bila mereka membawa lebih dari itu. Namun, bila aku memasukkan tiga puluh orang demi sebuah pertempuran di Krapyak, itu juga bukan pilihan yang  tepat karena masih ada alun-alun dan daerah Gunung Kendil yang membutuhkan perhatian,” kata Ki Sekar Tawang dalam hati.

Ini adalah saat-saat terakhir untuk menunggu pemberitahuan yang akan dilakukan terbuka oleh juru kabar kraton, pikir Raden Atmandaru sambil berharap siasat pamungkas dapat muncul dalam waktu itu.

“Mereka bukan orang-orang dungu yang tidak mengerti tata cara berkelahi dengan siasat, Raden,” kata Ki Sekar Tawang setelah beberapa lama. “Menghadang Mas Jolang dalam perjalanannya atau penyergapan seperti yang dilakukan dua tumenggung Demak pada masa lalu, saya kira, bukan langkah dan pilihan yang tepat.”

“Kiai dapat menguraikan lagi,” perintah Raden Atmandaru yang cenderung setuju dengan pendapat itu.

“Mungkin mereka akan mengirim sedikit orang pada gelombang pertama sambil dibayangi perwira-perwira berkemampuan tinggi sepanjang perjalanan,” desis Ki Sekar Tawang dengan mata menatap tajam jalur yang menuju Alas Krapyak. “Kelompok berikutnya akan bergerak pada waktu yang ditentukan, dan mungkin berada di jalur yang berlainan untuk mengecoh anak panah yang akan kita luncurkan. Maka jumlah pasukan kita pun berkurang karena mengikuti pergerakan mereka bila rencana Mataram sesuai dengan yang kita pikirkan.”

“Masuk akal,” sahut Raden Atmandaru.

“Namun bila mereka bergerak beriringan dan hanya terpisah oleh waktu, maka jarak akan menjadi penentu pencegatan dapat berhasil atau tidak. Imbasnya, serangan ini tidak lagi menjadi kejutan karena pasukan di dalam kota pasti segera datang menghancurkan kita. Bila benturan itu terjadi, maka kekosongan di dalam kraton tidak mungkin dapat dimanfaatkan oleh Ki Tumenggung Nayapala mengambil alih perintah tertinggi. Ki Juru Martani tentu sudah berjaga-jaga mengenai kemungkinan ini, Raden.”

 

=====

Anda dapat mendukung perkembangan kisah dan blog melalui cara :

  1. pembelian karya kami di sini 
  2. pembelian bumbu pecel/sambal kacang Sumber Makmur (silahkan hubungi WA yg tertera di sini)
  3. transfer donasi ke BCA 822 0522 297

Memayu hayuning bawana

Matur nuwun

 

Produk pendukung blog

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.