Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 102 – Pertaruhan : Akankah Panembahan Hanykrawati Mencapai Hutan Krapyak?

Seruan Ki Baya Aji menyengat Ki Ental Sewu. “Bagaimana ia dapat mengetahui dan memastikannya?” tanya Ki Ental Sewu dengan penasaran berkecamuk dalam hati. Namun belum reda rasa itu, Ki Baya Aji menerjang musuhnya dengan tusukan-tusukan yang mengincar bagian tubuh yang membahayakan.

Sekali lagi, dalam waktu itu, kehadiran Kinasih benar-benar menjadi bagian yang tidak diperhitungkan oleh para juru siasat kubu Raden Atmandaru. Satu orang anak buah Raden Atmandaru terpental, meski datang pengganti tapi menyusul dua orang terguling keluar gelanggang dan seterusnya.

Namun daya tahan Kinasih pun akan menurun setelah mencapai batas tertinggi. Perkembangan itu sudah berada dalam perkiraan Ki Baya Aji sehingga senapati wreda itu pun mengubah siasat demi keselamatan Kinasih sendiri. Di sela pertarungan sengit yang semakin menegangkan, Ki Baya Aji memerintahkan pasukannya untuk mengubah gelar pertempuran. Mereka mengikuti perintah dengan sigap. Perkelahian pun berubah, dari satu prajurit Mataram harus menerima keroyokan menjadi perkelahian antar kelompok. Satu regu prajurit Mataram terdiri dua atau tiga orang melawan jumlah yang lebih banyak dari musuh mereka. Para prajurit terlatih itu membutuhkan waktu sedikit lebih lama sebelum menjalankan perintah susulan.

Gugus tempur yang disusun oleh prajurit Mataram yang rata-rata berpangkat lurah pun terbentuk. Mereka menempatkan Kinasih pada bagian tengah. Walau demikian, gugus tempur itu terus bergerak, berputar mengelilingi Kinasih seakan-akan gadis muda itu menjadi pusat serangan. Kinasih yang tidak mengerti gelar perang dan segi-segi keprajuritan pun segera menyesuaikan diri. Mulanya ia menyangka bahwa dirinya sedang berada di dalam pertahanan dan dalam perlindungan prajurit Mataram yang melingkarinya. Tapi beberapa lama kemudian, Kinasih sadar bahwa gugus tempur yang berputar itu seperti berusaha menarik lawan agar bergantian melawannya satu per satu. Apabila ia sedang meladeni dua orang atau lebih, maka gugus tempur terdekat akan datang melepaskannya dari keroyokan. Demikianlah Kinasih pun menjadi lebih mudah merobohkan orang per orang dari kubu lawan.

loading...

“Gila! Apa yang mereka lakukan ini?” seru anak buah Ki Ental Sewu. Satu demi satu teman-teman mereka berjatuhan. Jumlah mereka pun menyusut. Keyakinan akan memenangkan pertempuran pun terkikis.

Wajah Ki Ental Sewu pun sepucat bulan yang bangun kesiangan. Telinganya menjadi penuh dengan seruan tertahan pengikutnya yang mulai berjatuhan. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia berkelahi dengan gemetar. Sungguh! Ki Ental Sewu sedang diguncang oleh keadaan yang makin mengiris keberanian diri dan pasukannya. Ia tidak dapat melihat jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri atau pasukannya dari roda penggiling Mataram yang sanggup menghancurkan segala yang melintang di jalan. Tetapi, apakah ia juga rela terkapar di tengah gelanggang? Apalagi sepanjang waktu terlibat pertarungan sengit melawan prajurit Mataram belum terdengar sorak sorai yang merayakan kematian Panembahan Hanykrawati. Tidak pula terdengar pekik kemenangan dari tebing yang sebelah menyebelah dengannya. Sehingga lambat laun jiwani Ki Ental Sewu dan anak buahnya pun hancur dari dalam.

Ketika matahari beranjak menuju puncak, riuh suara prajurit Mataram seolah hendak meruntuhkan tebing tempat mereka bertempur. Mereka terus menerus menekan lawan hingga orang terakhir, Ki Ental Sewu, terpaksa melemparkan senjatanya. Mereka menyerahkan diri ketika Ki Baya Aji menyatakan bahwa raja Mataram dapat mempertimbangkan pengampunan bila mereka tunduk sepenuh hati. Dataran sempit yang berada di puncak tebing pun seketika senyap!

Kemenangan Ki Baya Aji dan kelompoknya diketahui oleh Ki Sanden Merti dan Ki Hariman yang mengetahui pertempuran kecil sejak terjadi benturan. Mereka pun berpaling pada gelanggang pertarungan kubu Ki Tumenggung Wilaguna berhadap-hadapan dengan Ki Anjangsana. Para pemimpin lain seperti Ki Anjangsana dan Ki Tumenggung Wilaguna pun tampak terpengaruh dengan kesunyian mendadak yang melanda tebing seberang.

“Ki Tumenggung,” kata Ki Anjangsana, “Panembahan Hanykrawati masih hidup dan sekarang sedang berada di jalan untuk mencapai hutan Krapyak. Sungguh, kalian tidak ada peluang untuk memenangkan pertempuran ini. Dengarlah, dari seberang sudah tidak terdengar teriakan orang-orang.”

“Kematian Raden Mas Jolang memang menjadi tujuan akhir, tapi andaikata saat ini ia masih hidup… itu tidak akan lama. Aku mempunyai tugas penting yang harus terselesaikan, begitu pula engkau dan mereka. Masing-masing dari kita, orang per orang, sudah mempunyai tanggung jawab yang besar,“ berkata Ki Tumenggung Wilaguna. Tampaknya kemenangan Ki Baya Aji dan Kinasih tidak mempengaruhi ketahanan jiwani Ki Tumenggung Wilaguna. Ia tetap memegang kendali penuh di dalam kelompoknya. Itu dapat dilihat ketika ia meneriakkan aba-aba agar anak buahnya tidak terpengaruh perintah menyerah yang diserukan prajurit Mataram.

Sebagian anak buah Ki Tumenggung Wilaguna yang mendengar percakapan itu agaknya paham bahwa pertempuran tidak akan berlangsung lama lagi. Sekalipun mereka masih menyimpan keyakinan dapat membalas kekalahan kawan-kawan mereka yang berada di seberang, tapi keraguan mulai menyeruak pada hati masing-masing. Dalam waktu itu, ketika Ki Tumenggung Wilaguna meneriakkan perubahan gelar, maka mereka pun menyebar berkelompok lalu membuat barisan yang berbentuk seperti lorong menuju jalan yang menuruni tebing.

Perubahan tersebut diketahui oleh Ki Anjangsana yang segera menyusulkan perintah supaya pasukan kecilnya menggabungkan diri dalam gelar emprit neba, lalu menyerang bagian demi bagian lawan secara bersama-sama. Gegap gempita suara saling menjaga semangat terdengar bersahutan di angkasa. Dentang senjata menjadi semakin riuh! Dua perubahan siasat yang dilakukan oleh dua senapati yang sama-sama mempunyai pengalaman luas benar-benar mengguncang tebing.

Pertempuran berlangsung semakin sengit dan menegangkan. Satu kesalahan akan dibayar lunas dengan kekalahan atau kematian. Beberapa lama kemudian, benturan itu masih belum memunculkan  tanda kemenangan untuk salah satu pihak. Tampaknya kelebihan jumlah pasukan Raden Atmandaru dapat diimbangi dengan perubahan siasat orang-orang Mataram. Lambat laun dengan bekal pengalaman dan latihan yang dilakukan dalam waktu panjang, para prajurit Mataram mulai dapat mengendalikan pertempuran. Mereka memang melihat keberadaan orang asing – Ki Hariman – di dekat gelanggang tapi mereka mampu mengabaikan dengan memusatkan perhatian pada perintah-perintah Ki Anjangsana. Apalagi ketika Ki Anjangsana berkata lantang bahwa Panembahan Hanykrawati dalam keadaan aman, maka tenaga dan semangat prajurit Mataram pun seolah-oleh melonjak sangat tinggi!

Pada akhirnya, perubahan siasat yang ditunjang kekuatan yang seakan tanpa batas itu pun menjadi tanda buruk bagi pasukan Ki Tumenggung Wilaguna. Hingga sampai pada waktu itu, Ki Hariman ternyata bergeming. Ia masih berada di tempatnya dan seolah-olah tidak peduli dengan serbuan dahsyat prajurit Mataram. Tentu saja sikap Ki Hariman membuat geram anak buah Ki Tumenggung Wilaguna. Maka, orang-orang yang semula merasa mampu membinasakan Panembahan Hanykrawati dan seluruh pengiringnya pun mulai gentar. Betapa kemampuan dan pengalaman mereka seperti tidak mempunyai arti di depan prajurit Mataram. Kepandaian tinggi yang dimiliki Ki Hariman menjadi harapan yang tidak mungkin terwujud. Sementara mereka mengerti bahwa Mataram mempunyai orang-orang berilmu tinggi tapi dengan semangat dan jiwani yang berbeda dengan orang yang mereka percaya. Langit menjadi kelabu di mata mereka. Kemuliaan dan kejayaan terhempas jauh dari mimpi serta angan.

“Brubuh! Brubuh!” teriakan bernada cemas itu terlontar dari mulut seorang pengikut Raden Atmandaru yang melihat Ki Hariman menuruni tebing perlahan lalu meninggalkan mereka.

Kalimat itu pun terdengar oleh Ki Tumenggung Wilaguna yang bertanding hebat pada tingkat tinggi kemampuannya. Seketika ia melompat surut sambil bertanya-tnaya dalam hatinya. Maka terkejutlah ia kemudian ketika Ki Hariman tidak lagi berada di tempatnya semula!

Dalam waktu itu, agak jauh dari dua gelanggang yang menjadi tempat pertempuran, Agung Sedayu merunduk dengan sikap cermat mengamati keadaan. Segala perhitungan dan pertimbangan tampak sibuk melintas di dalam ruang pikirannya. Senapati pasukan khusus ini cukup cerdas mengukur dan menilai tempat-tempat yang diamatinya. Sambil menekuk lutut, Agung Sedayu menyamarkan keberadaannya. Sepasang matanya menebar sekeliling, ia berkata lirih dalam hati, “Mereka dapat membuat tindakan penghabisan di sini. Sudah barang tentu akan menjadi kebanggaan bagi mereka bila berhasil membunuh Panembahan Hanykrawati sebelum mencapai hutan Krapyak.” Agung Sedayu mengerutkan kening. Ia meraba kemungkinan bahwa sejumlah orang dapat bersembunyi dengan tubuh merapat pada batang pohon lalu menyerang iring-iringan Panembahan Hanykrawati. Di tempatnya bersembunyi, Agung Sedayu membuat perkiraan jarak yang paling memungkinkan untuk memulai serangan kilat. Murid utama Kiai Gringsing ini merenung sejenak sebelum berpaling ke bagian tanah lapang. Dataran sempit itu ditumbuhi rumput-rumput setinggi pinggang dan hanya sedikit pohon yang tegak di atasnya. Agung Sedayu lantas berpikir, bahwa saat itu ada sejumlah pemanah dari satu kelompok Raden Atmandaru sedang menempelkan tubuh di atas tanah.

“Ini sedikit lebih sulit jika dibandingkan lorong di antara dua tebing sebelumnya,” desah Agung Sedayu dalam hati. Maka ia tidak ingin menutup kemungkinan munculnya serangan dari dua arah yang berlawanan. Bila itu terjadi, maka mereka akan kembali terjepit seperti keadaan sebelumnya. Dan dapat menjadi lebih buruk karena para pengawal pun berkurang jumlahnya. Pikirnya, sulit untuk membalas serangan dari arah yang tak terduga oleh mereka. Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana belum dapat diharapkan secepatnya bergabung di tempat ini.

Sementara Agung Sedayu sedang mengamati lingkungan disertai pemikiran keras, Pangeran Selarong telah berada dalam jarak belasan tombak di belakangnya. Ia mengendalikan kuda perlahan hingga berada di sisi Panembahan Hanykrawati.

“Ki Rangga sepertinya merasakan sesuatu yang mungkin diperkirakan akan mengganggu barisan ini,” kata Pangeran Selarong pada ayahnya.

“Pengalaman tempur dalam kelompok maupun antar pribadi sudah mengalir deras dalam jiwa Agung Sedayu, “ucap Panembahan Hanykrawati dengan tatapan mata lurus ke depan. “Tentu saja ia tidak ingin terjadi peristiwa buruk berulang menimpa kita.” Raja Mataram tersebut menghela napas, lanjutnya kemudian, “Ia pun tidak merasa aman dengan meninggalkanku meski ada putraku sendiri di sampingku.”

“Mungkinkah itu ketidakpercayaan Ki Rangga padaku atau bagaimana?”

“Tidak. Agung Sedayu tidak akan berpikir seperti itu dan tidak aka nada pikiran semacam itu dalam dirinya,” kata Panembahan Hanykrawati. “Ia berada di samping ayahku dan diriku dengan mempertaruhkan segala yang ia miliki, lalu bagaimana ia tidak percaya padamu?”

Pangeran Selarong mengangguk sambil merendahkan tubuh sedikit.

“Agung Sedayu masih menyimpan kecurigaan bahwa seseorang di dalam barisan ini sedang menyimpan pedang yang dapat memukulku dari belakang,” kata Panembahan Hanykrawati.

“Jika demikian, apa sekiranya yang membuat Ki Rangga seolah-olah sedang melambat?”

“Pertanyaan itu, apa yang sedang berada di dalam pikiranmu sekarang?” Panembahan Hanykrawati balik bertanya.

 

“Saya cemaskan keadaan kita semua bila terpaksa bermalam di ujung lembah.”

“Keadaan itulah yang mereka inginkan lalu kecemasanmu akan menjadi jalan untuk menghancurkan rombongan ini.”

Pangeran Selarong mengedarkan pandangan berkeliling lantas menatap bayangan dirinya. “Matahari sedikit lingsir ngulon. Bila kita tidak bermalam, mungkinkah mereka akan mengulangi serangan? Seandainya tidak, apakah mereka tetap berbuat itu?”

“Itulah yang dikhawatirkan Agung Sedayu, Ngger. Aku kira ia memilih berlama-lama pada kedudukannya agar dapat memastikan tidak ada ancaman. Meskipun kita semua sangat mengenal medan dengan baik tapi siapa yang dapat menduga sesuatu yang sedang bernapas di bawah dipan? Jebakan mungkin sudah mereka siapkan. Sekelompok penyerang pun mungkin sudah bersiap melemparkan lembing yang mengarah kepala kita masing-masing.”

“Bila harus mengambil pendapat, saya akan memutuskan untuk bermalam di sini karena keadaan ayah sepertinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan ke alas Krapyak,” ucap Pangeran Selarong. “Kita sudah agak jauh dari cekung lembah dan sedikit dekat dengan ujungnya.”

“Bayangan belum sepanjang benda yang disinari matahari. Aku pikir tempat ini belum memadai sebagai tempat bermalam,” kata Panembahan Hanykrawati kemudian memandang dua sisi tebing yang berada di belakang mereka. “Dua kelompok prajurit belum menyusul kita. Putuskanlah sesuatu.”

==============================================

Bila terhibur dan merasakan manfaat dari blog Pdepokan Witasem, dukung kami dengan membeli karya kami atau berdonasi (tanpa jumlah minimal). Klik Chat on WhatsApp
untuk informasi rekening donasi.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.