Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 106 – Langkah Senyap Siasat Agung Sedayu ; Arah Matahari Terbenam Dimulai

Empat orang yang ada di sisi hutan itu sama-sama tidak mengira dan dihujani pertanyaan berulang, sejak kapan Agung Sedayu ada di dekat mereka? Kecuali Ki Hariman yang belum pernah melihat wajah atau rupa Agung Sedayu. Orang ini tercengang, bagaimana tiba-tiba ada orang yang muncul lalu melenggang tenang? Kapan ia datang? Bagaimana dengan kedatangannya? Apakah berjalan atau jatuh dari langit?

Demikian pula Ki Sanden Merti yang tiba-tiba menutup mulutnya seakan-akan ingin berkata pada dirinya sendiri agar tidak mengeluarkan suara. Ia tahu bahkan pernah menyaksikan kemampuan Agung Sedayu ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan Pangeran Puger. Bahkan ia menyuruh Ki Hariman agar tidak bergerak dan diam padahal orang itu ingin bertanya tentang orang yang mendadak muncul di hadapan mereka.

Tidak ada yang menduga kehadiran Agung Sedayu yang tiba-tiba memunculkan dirinya dalam waktu sekejap.

Sulit bagi Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana mengungkap perasaan maupun pikiran. Mereka seperti terbungkam segalanya saat melihat Agung Sedayu berjalan tenang mendekat. Hampir saja Ki Banyudana meloncat karena terkejut. Betapa tidak, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa Agung Sedayu ternyata begitu dekat dengan mereka. Sementara Ki Grobogan Sewu hanya menganga dengan tatap mata kosong.

loading...

Dalam kedudukan yang lebih tinggi, Agung Sedayu tidak melupakan pesan Kiai Gringsing, yaitu agar menghormati orang-orang yang berada di bawah. Oleh sebab itu, Agung Sedayu terlebih dulu memberi penghormatan pada dua orang yang berpangkat lurah tersebut. Sikap Agung Sedayu membuat Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana makin terpana dan seakan-akan mereka tidak dapat menguasai diri karena hanya mematung dan beku. Hingga Agung Sedayu berkata, “Ki Lurah berdua, kita sedang dalam bahaya. Panembahan Hanykrawati sedang berharap ki Lurah berdua dapat pulang dengan selamat.”

Dua lurah Mataram tersebut hampir bersamaan menggoyangkan kepala berulang. Mengangguk-angguk lalu menghela napas panjang. Adalah Ki Grobogan Sewu yang lebih dulu menanggapi Agung Sedayu.” Maaf, Ki Rangga. Kami tidak bermaksud bersikap dursila atau tidak sopan saat berhadapan dengan seorang atasan seperti Anda. Tapi ini benar-benar mengejutkan!”

Agung Sedayu tersenyum lalu menyentuh bahu Ki Grobogan Sewu lalu menarik lengan Ki Banyudana dengan lembut.

“Ki Lurah sekalian,” kata Agung Sedayu, “bagaimana dengan keadaan Panembahan Hankrawati dan orang-orang yang sudah bergabung dalam rombongan?”

Ki Banyudana cepat-cepat menguasai diri lalu menjawab, “Beliau dalam pengawalan yang sangat baik. Dua regu penyergap yang dikirim oleh Pangeran Selarong pun berhasil meraih kemenangan.”

Tatap mata Agung Sedayu bersinar-sinar. Ia bertanya lagi, “Berapa orang yang terluka?”

Ki Banyudana memberi jawaban dengan isyarat jari.

Agung Sedayu ucapannya, “Jika demikian, mereka sudah berada dalam perawatan tabib istana.” Sebenarnya ia ingin menanyakan sebuah nama, tapi muncul kekhawatiran bahwa itu  tidak berada dalam keadaan yang tepat lalu mengusik ketenangannya. Sejenak kemudian, ia berkata, “Marilah kita segera kembali bersiaga. Ki Lurah berdua tetap bersikap biasa saja dan seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengejutkan bakal terjadi.” Agung Sedayu memberi tanda agar mereka tidak lekas-lekas melihat sekeliling. Lalu ia berkata lagi sambil mengangguk dalam-dalam, “Dua orang telah mengamati Anda berdua sejak kedatangan Ki Lurah sekalian di tempat ini.”

Meskipun seharusnya dua lurah Mataram itu yang mengangguk tapi justru senapati pasukan khusus itu yang berbuat sebaliknya. Itu dilakukan Agung Sedayu agar yang terlihat oleh dua pengintai dari kubu Raden Atmandaru mengira bahwa ia sedang mendengar laporan dua lurah tersebut. Sambil mengatakan itu, Agung Sedayu mengetrapkan Sapta Pandulu pada tempat yang dicurigainya menjadi persembunyian sejumlah orang. Dan benarlah kecurigaan Agung Sedayu! Sebelumnya ia cukup kesulitan untuk menjangkau pergerakan yang tersembunyi di balik rerumputan yang tinggi. Ketika berada di di samping dua lurah Mataram, maka itu berarti ia sudah berjarak lebih dekat. Kilau benda-benda logam yang memantulkan cahaya matahari pun mulai tampak olehnya. Saat itu dalam pikirannya, mungkin orang-orang tersebut berada di dalam cekungan yang memang tidak akan terlihat karena terlindung rerumputan setinggi pinggang. Sinar matahari cukup lemah untuk dipantulkan oleh sebab rumput-rumput benar-benar rapat dan tinggi.

Setelah memastikan bahwa ternyata ada beberapa orang berdiam diri di bagian tanah lapang, Agung Sedayu berkata lagi, “Tetap dalam keadaan semula.” Agung Sedayu menarik napas, lanjutnya, “Ada lebih dari dua orang yang bersembunyi pada arah di belakang Ki Grobogan Sewu. Kita harus membagi perhatian lalu menekan mereka dengan kekuatan penuh.

“Ada banyak kemungkinan untuk saat ini dan beberapa saat ke depan. Pada bagian yang dekat hutan, dua orang yang berada di sana mungkin adalah orang berkemauan memadai. Namun mereka mungkin adalah bagian terpisah dari orang-orang yang berada di balik alang-alang. Saya katakan demikian karena kehadiran mereka tidak dalam waktu yang sama, dan juga tidak ada hubungan perintah dari tanda-tanda yang dilontarkan. Mereka sepertinya terputus atau dua orang di dekat hutan adalah regu pengamat walau aku menyangsikan itu.” Agung Sedayu menggerakkan sepasang mata, lalu berkata lagi,” Dari tempat ini, kita akan lebih cepat menyerang mereka yang bersembunyi di balik alang-alang tapi itu mempunyai kelemahan.”

“Kita sangat terbuka,” ucap Ki Banyudana .

“Benar,” kata Agung Sedayu tanpa merubah sikap tubuhnya.

“Bila kita bergerak maju sampai di dekat semak-semak…..”

Ucapan Ki Grobogan Sewu belum selesai ketika Ki Banyudana memotongnya, “Kita memulai dari jarak yang lebih jauh.”

Agung Sedayu masih mematung dan mengikuti percakapan itu dengan tatapan mata saja. Pada saat dua lurah itu berhenti bicara, Agung Sedayu pun  berkata, “Ki Lurah mempunyai pandangan yang sangat bagus.” Dengan isyarat tangan, ia mengajak dua lurah Mataram itu berjalan perlahan menuju semak-semak yang berjarak puluhan  langkah dan terletak di sebelah kiri jalan.

“Kita tidak dapat menganggap bahwa kelompok-kelompok penyerang yang dikirim Raden Atmandaru adalah sekumpulan orang lemah. Walau kita menang atas dua benturan, sebelumnya di Karang Dawa dan berhasil mengatasi kekacauan di Sangkal Putung serta Tanah Perdikan, itu bukan gambar sesungguhnya dari kekuatan mereka. Sebaran kelompok-kelompok kecil itu bukan semata-mata untuk meraih kemenangan. Mereka bukan bagian dari pasukan Macan Kepatihan yang tidak dapat menerima kekalahan Jipang dari Pajang,” kata Agung Sedayu sambil mengingat kembali peristiwa masa lalu yang pernah dilewatinya.

“Semoga saya dan Ki Bbanyudana tidak lengah dari hal demikian itu,” ucap Ki Grobogan Sewu.

“Saya kira kata-kata Ki Rangga memang mempunyai kebenaran. Kelompok-kelompok kecil memang mudah ditumpas tetapi gerakan itu akan menghasilkan akibat yang sulit diabaikan,” kata Ki Banyudana.

Agung Sedayu mengangguk. “Benar. Orang-orang dapat meragukan kecakapan Panembahan Hanykrawati dalam kepemimpinan. Itulah yang diinginkan oleh Raden Atmandaru. Pergolakan kecil atau kekacauan kecil tapi dilakukan dalam waktu yang cukup panjang sehingga ketika orang-orang berada di puncak kelelahan jiwani, maka api yang disulutnya pasti segera dapat membakar habis Mataram.” Ia diam sejenak sambil mengawasi sekitar. Kemudian lanjutnya, “Mari kita buat penggambaran seandainya satu demi satu wilayah yang berdekatan dengan Mataram jatuh di tangan mereka melalui jalan ketidakpercayaan, bagaimana kotaraja tetap berdiri tegak ketika wilayah penopangnya mulai berjatuhan? Mungkin tidak ada peperangan atau jalan kekerasan saat merebut tahta, tapi bayangkanlah sebuah kekacauan sebagai akibat hilangnya kepercayaan.”

Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana merenungkan kata-kata Agung Sedayu. Mereka menyadari kenyataan yang tersembunyi di balik ucapan senapati kebanggaan Mataram itu.  Bukan karena Panembahan Hanykrawati yang tidak mampu mengolah wilayah luas Mataram tapi lebih pada keinginan sebagian orang untuk dapat duduk sebagai penguasa. Dan bukan pula karena alasan bahwa Panembahan Hanykrawati tidak lahir sebagai putra pertama tapi karena sebagian orang yang merasa lebih tua umurnya daripada Panembahan Hanykrawati. Maka ketika beberapa orang merasa memiliki  kelebihan, Mataram pun terus mendapatkan gangguan sejak Panembahan Senapati mangkat.

Sebenarnya jarak puluhan langkah itu dapat ditempuh sangat singkat, namun Agung Sedayu begitu cerdas sehingga ia berhenti melangkah kemudian diikuti dua lurah bawahannya itu untuk mengulur waktu. Hal itu selain dilakukannya untuk menggoyang ketahanan jiwani orang-orang yang sedang mengintai mereka, tapi juga sekaligus mematangkan siasat yang sedang berputar-putar di dalam kepalanya. Sekali waktu, Agung Sedayu meminta mereka untuk melingkarinya. Setelah maju beberapa  langkah, Agung Sedayu memerintahkan mereka bersikap seakan-akan mendapatkan serangan. Lantas ketika hanya berjarak sepuluh langkah dari semak-semak, Agung Sedayu berhenti agak lama. Ia mengusap dagu berulang, keningnya berkerut rapat. Yang dipikirkannya adalah cara mencegah musuh melarikan diri sementara mereka hanya bertiga saja!

Sementara itu, Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana pun bertukar pikiran. Mereka turut memperhitungkan setiap kemungkinan dan perkembangan yang dapat terjadi. Memecah kekuatan mereka bukanlah persoalan besar karena Agung Sedayu sudah barang tentu dapat menghambat laju serangan dua orang yang akan dihadapinya. Pada saat Agung Sedayu mengungkapkan seandainya salah satu dari mereka melarikan diri, lalu apa yang dapat mereka perbuat? Dua lurah Mataram itu mengangguk-angguk. Bila salah seorang dari mereka mengejar satu lawan Agung Sedayu, maka seorang lurah pasti sulit diselamatkan. Maka sedikit rasa cemas mengambang di permukaan. Panembahan Hanykrawati tidak boleh lagi dihadang bahaya sebelum mencapai Alas Krapyak, demikian tekad mereka.

“Seberapa besar bahaya mengancam Panembahan Hanykrawati bila kita hanya menghancurkan salah satu kelompok saja?” tanya Ki Banyudana.

Ki Grobogan Sewu lantas menyahut, “Kita akan disulitkan lagi bila salah satu atau dua orang pengintai yang disebutkan Ki Rangga dapat mencapai Alas Krapyak. Sedangkan keberadaan serta keadaan Raden Mas Rangsang pun belum kita ketahui. Beliau dilaporkan sedang mengejar salah satu orang anak buah Raden Atmandaru dan itu arahnya menuju Alas Krapyak.”

“Apakah itu artinya jika menumpas satu kelompok maka bahaya pun dapat menimpa putra raja, Raden Mas Rangsang?’ tanya Ki Banyudana.

Agung Sedayu mengangguk, katanya, “Benar. Kemungkinan itu memang terbuka sekali.”

Pancaran cemas mengoles raut wajah Ki Banyudana. Pikirnya, Mataram akan terjerat lagi dalam kerumitan yang pasti sulit diurai jika Raden Mas Rangsang tidak dapat kembali ke kotaraja dengan selamat.

Agung Sedayu melihat perubahan hati Ki Banyudana dengan tangkapan sama-sama gelisah. Namun kemudian ia mengangguk-angguk lalu berkata, “Kita masih dapat mempunyai waktu dan Pangeran Selarong pun masih tegak mendampingi Panembahan Hanykrawati. Marilah kita berpikir lebih jernih. Jika kita bergerak dengan dasar perasaan yang sedang kacau saat ini, maka sudah barang tentu tidak akan menghasilkan sesuatu yang penting selain keringat dan teriakan-teriakan perang saja.” Agung Sedayu sudah membuat siasat meski sebatas penetapan waktu serangan. Ia mendongak lalu memandang bagian atas hutan serta tanah lapang.

Sikap Agung Sedayu kemudian diikuti oleh Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana sambil bertanya-tanya di dalam hati masing-masing, apakah Ki Rangga sedang menunggu panah sendaren terlontar dari mulut lembah?

Agung Sedayu menarik napas lalu berkata, “Marilah kita duduk-duduk di tepi jalan barang sebentar saja.”

Dua lurah Mataram yang mendengarnya pun mengerutkan alis. Apa maksud Ki Rangga? Tapi mereka tidak punya pilihan atau tidak ingin lagi bertanya. Baiknya adalah mengikuti segala perintah Ki Rangga Agung Sedayu lalu menunggu hasil akhir setelah semua dilakukan sepenuh hati.

Mengetahui dua lurah Mataram itu mengikuti langkahnya menepi ke pinggir jalan, Agung Sedayu berkata lirih, “Saya hanya menduga bahwa Ki Lurah berdua ada kebingungan atas ucapan saya untuk sekedar duduk saja di sini.”

Ki Banyudana menarik napas. “Benar, Ki Rangga. Sejujurnya saya ingin bertanya tapi ada batasan yang memang dipatuhi oleh seorang prajurit bawahan seperti saya.”

Agung Sedayu mengangguk. Dengan sorot mata meyakinkan, ia berkata, “Demikian juga yang mereka rasakan, Ki Lurah.”

Ki Banyudana dan Ki Grobogan Sewu memijat kening. Ki Grobogan Sewu kemudian berkata, “Saya, sejujurnya, ingin mengetahui alasan Ki Rangga. Tapi saya pikir waktu kita mungkin sudah semakin dekat. Saya kira Ki Rangga menghendaki waktu serangan kita adalah ketika hari benar-benar gelap. Itu masuk akal karena mereka juga pasti didera kejenuhan menunggu.”

“Seandainya memang begitu, saya sudah siap bertempur sepanjang malam. Tapi benarkah akan seperti itu?” tanya Ki Banyudana seakan-akan pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.

Agung Sedayu tersenyum. Dalam hatinya, ia sadar dan ingin berkata bahwa mereka sudah sepantasnya mendapat pujian. Betapa mereka tetap bersabar menunggu perintahnya dalam ketidakpastian dan kecemasan yang sengaja dibuatnya. Meski ada sedikit penyesalan, tapi Agung Sedayu membulatkan tekad bahwa tidak boleh ada orang yang tahu siasat selanjutnya kecuali dirinya sendiri. Untuk sekian kali, Agung Sedayu membuat perkiraan jarak dari tempat mereka ke persembunyian di tanah lapang dan tepi hutan. Sambil mengucap sepatah dua patah kata, ia pun mengalihkan perhatian dua lurah Mataram ketika sepasang mata Agung Sedayu kembali melihat angkasa.

Anda dapat menitipkan amanah untuk amalan tanpa batas. Klik tautan ini.

Bila sejak kehadirannya di ujung lembah yang berdekatan dengan hutan, Agung Sedayu belum mendengar anjing menyalak atau lolong serigala maka saat itu samar-samar terdengar salak anjing. Dalam hatinya, Agung Sedayu mengucap syukur pada Yang Maha Sempurna. “Terima kasihku pada Yang Maha Kuasa, inilah bantuan yang aku harapkan,” desisnya dalam hati. Salak anjing liar sudah tentu akan menarik perhatian para pemburu yang bersembunyi di tanah lapang. Salah satu keadaan yang dapat mengusik perhatian mereka adalah bila salah satu atau ada serombongan anjing tiba-tiba berlarian ke arah mereka. Agung Sedayu bersuara pelan kemudian pada Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudanang, “Ki Lurah berdua. Kita akan menyerang mereka. Kita tetap terbagi menjadi dua kelompok tapi saya tidak sendiran. Ki Banyudana akan menemani saya. Untuk itu, saya minta Ki Lurah Grobogan Sewu menggempur bagian tanah lapang dari arah matahari terbenam. Itu akan mengganggu penglihatan mereka. Sementara Ki Banyudana berlarilah terlebih dulu dengan cara demikian dan demikian.” Agung Sedayu membuat rekaan dengan telunjuk yang mencoret tanah. Ki Banyudana mengangguk. Ki Grobongan Sewu mengepalkan tangan.

“Akhirnya…” desis mereka serempak.

Agung Sedayu mengangguk lalu meminta mereka menahan diri sesaat lagi. Ia akan memberi aba-aba. “Marilah. Sekarang!”

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.