Di atas mereka, sinar matahari masih terang menyala dan sanggup memaksa orang untuk menundukkan pandangan. Sepertinya saling baku hantam akan terjadi seperti debur ombak yang tidak pernah berhenti menghantam bibir pantai.
Ki Grobogan Sewu berlari cepat meski sedikit melengkung tapi dapat dipastikan akan mengejutkan sekelompok orang yang masih bersembunyi di bagian cekung tanah lapang. Ia tidak mengeluarkan pekik perang atau teriakan-teriakan yang meraung memenuhi angkasa. Tidak pula berlari sambil menghunus senjata. Ki Grobogan Sewu menerjang lawannya yang berjumlah lebih banyak seperti terkaman seekor serigala yang keluar dari pengamatan berdarah. Ini menjadi suatu pemandangan yang sulit dibayangkan!
Sedangkan Agung Sedayu dan Ki Banyudana masih belum bergerak. Dalam waktu itu, Agung Sedayu membisikkan pesan pada Ki Banyudana. Lurah ini harus kembali mengerutkan kening. Ia bertanya dalam hati, apakah ia dapat menyesuaikan diri dengan waktu yang diberikan oleh Ki Rangga? Kerutnya semakin ketat ketika melihat Agung Sedayu tidak menempuh lintasan yang lurus pada arah dua orang yang menjadi sasaran serangan mereka.
Tapi pertanyaan itu segera mendapatkan jawaban. Agung Sedayu ternyata sengaja mengulur waktu. Kecepatan Agung Sedayu sama sekali tidak menggambarkan kemampuannya yang sangat tinggi. Ini seperti sebuah permainan anak-anak dan jelas sekali sedang mengguncang ketenangan dua lawan mereka.
“Baiklah, mari kita lakukan yang terbaik!” tekad Ki Banyudana sambil mengayun kaki dengan kecepatan yang cukup. Ia mengambil jalur memutar, menuju arah suara gerombolan anjing yang masih terus menyalak! Sekejap kemudian, Ki Banyudana tiba di tempat segerombolan anjing liar yang menyalak tanpa ada sesuatu yang janggal menurutnya. “Tapi, biarlah, apa sebab mereka menggonggong itu bukan urusanku,” ucap Ki Banyudana dalam hati. Maka ia pun menghalau anjing-anjing itu. Memancing perhatian, membakar kemarahan gerombolan binatang yang bertaring tajam itu dengan segala upaya.
Berhasil!
Lebih dari sepuluh ekor anjing pun mengejar Ki Banyudana dengan air liur menetes deras dari lidah-lidah yang terjulur telanjang. Ki Banyudana mampu memaksa anjing-anjing itu terus mengejarnya hingga berada di dekat kawanan Raden Atmandaru yang akan menjadi lawan Ki Grobogan Sewu.
Sesuai petunjuk Agung Sedayu, Ki Grobogan Sewu mulai melontarkan senjata rahasianya berupa belati-belati seukuran jari telunjuk.
“Gila! Ini benar-benar orang gila!” seru seorang anak buah Raden Atmandaru.
Yah, mereka melihat pergerakan Ki Grobogan Sewu dan mereka juga tahu bahwa orang itu menempuh jalur melengkung untuk mencapai kedudukan mereka. Tetapi, serangan jarak jauh yang dilontarkan lurah Mataram itu benar-benar di luar perkiraan. Saat kesadaran belum sepenuhnya menguasai mereka, Ki Grobogan Sewu datang menerjang dengan serangan yang dahsyat!
Lebih-lebih ketika salak anjing terdengar semakin dekat. Beberapa orang memalingkan muka lalu terkejutlah mereka!
“Sial! Gandrik!” Mereka mengumpat dengan segala ucapan kotor yang dapat disuarakan. Walau mereka adalah orang-orang yang kerap menuruni lembah, menjelajah tanah-tanah tak bertuan dan sering memburu binatang buas, tapi segerombolan anjing liar yang berderap menuju arah mereka adalah utusan dari peri kematian.
Ki Banyudana seakan-akan menjadi pemimpin gerombolan anjing liar itu ketika melabrak pertahanan anak buah Raden Atmandaru. Sejenak ia membenamkan diri dalam perkelahian lalu mengacak-acak gelar lawan dengan cara mengikat seorang dalam perkelahian lalu berpindah pada satu lawan yang lain. Pertarungan mulai terlihat kacau balau dan semakin rumit ketika anjing-anjing liar itu seperti melupakan Ki Banyudana lalu menyerang setiap orang yang berada di dekatnya.
Lurah Mataram itu tidak terlena dengan keberhasilan pertama dari siasat senapati pasukan khusus Mataram, Agung Sedayu. Maka ia harus segera membuka jalan kemudian berpindah ke tepi hutan. Agung Sedayu sedang menunggunya di sana. Tentang Ki Grobogan Sewu, ia percayakan sepenuhnya pada tulisan nasib yang pasti terjadi.
“Pergilah, Ki Lurah. AKu akan bermain-main sebentar dengan mereka,” seru Ki Grobogan Sewu mendorong Ki Banyudana supaya segera keluar dari lingkar perkelahian.
Ki Banyudana mengangguk, kemudian berkata lantang, “Segerombolan anjing ini pada akhirnya akan menemui lawan yang sepadan, Ki Lurah!” Setelah melambaikan tangan, Ki Banyudana melompat panjang, melayang di atas orang-orang yang sedang berjuang mati-matian menghalau anjing-anjing hutan.
Agung Sedayu berlari-lari kecil seperti kebanyakan orang-orang desa bergegas menuju pasar. Sesekali ia menengok belakang. Hatinya memanjatkan harapan agar rancangan tempurnya dapat memberikan hasil yang sempurna. Ketika semakin dekat dengan kedudukan Ki Sanden Merti lalu melihat dua orang yang tampak seperti sedang menunggunya, Agung Sedayu tiba-tiba mengubah caranya mengayun kaki. Ia melangkah seolah-olah sedang menemui orang dengan kepentingan biasa. Agung Sedayu yang telah mengenali Ki Sanden Merti pada waktu sebelumnya sudah dapat menguasai diri. Tidak ada raut wajah terkejut saat melihat Ki Sanden Merti berdiri tenang menghadap pada arah kedatangannya. Namun Agung Sedayu mengerutkan kening saat melihat orang yang berada di samping tumenggung Mataram yang membelot itu.
“Ki Tumenggung,” sapa Agung Sedayu terlebih dulu dengan sikap hormat seperti biasanya.
“Ki Rangga,” balas Ki Sanden Merti tanpa mengubah bahasa tubuhnya.
“Atasan yang baik,” kata Agung Sedayu dengan tenang. Sepintas menurut pengamatannya, Ki Grobogan Sewu sudah cukup dapat dianggap menguasai gelanggang. Maka, menghadapi Ki Sanden Merti dan seorang lagi yang belum dikenal, Agung Sedayu siap menghentak jiwani mereka.
Ki Sanden Merti tajam menatap mata Agung Sedayu. Pikirnya, ia tidak mungkin dapat menghindar dengan menggunakan seribu satu alasan. Ucapan Agung Sedayu sangat menusuk hatinya dan juga menjadi tanda bahwa orang berkedudukan sebagai rangga itu datang dengan penghakiman. “Tidak cukup baik jika seseorang terserang sakit yang disebabkan angin,” ucap Ki Sanden Merti merujuk pada Panembahan Hanykrawati yang dikabarkan menderita sakit yang belum dapat disembuhkan.
Agung Sedayu mengangguk lalu memandang orang yang berada di samping Ki Sanden Merti. “Ki Sanak, apakah Ki Sanak ini adalah salah satu kerabat Ki Sanden Merti atau bawahan seperti kami berdua?” Agung Sedayu mengetahui kedatangan Ki Banyudana meski lurah itu belum benar-benar berada di dekatnya.
“Aku? Siapakah aku? Itu tidak penting, Ki Rangga,” jawab Ki Hariman yang menahan kuat-kuat gejolak di dalam hatinya saat menduga orang yang bercakap dengan Ki Sanden Merti adalah Agung Sedayu. Dugaan itu tidak salah karena hanya ada seorang rangga yang mendapatkan wewenang khusus dari Panembahan Hanykrawati memimpin orang yang berpangkat lebih tinggi, dan rangga itu adalah Agung Sedayu. Telapak tangan Ki Hariman terjalar udara dingin. Ia tidak menyangka bahwa orang yang bernama Agung Sedayu mempunyai pembawaan seperti orang kebanyakan. Penguasaan olah kanuraga yang sedemikian tinggi pun tidak tergambar melalui sikap dan tutur katanya. Tapi Ki Hariman dapat mengukur ketinggian ilmu Agung Sedayu dari cara memandang dan sorot matanya. Pikirnya, di balik sikap yang biasa saja, rangga Mataram ini menyimpan kekuatan nyaris tak tertandingi. Debur jantung Ki Hariman semakin menguat saat ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia sanggup mengalahkan Agung Sedayu di tempat itu?
“Orang ini… Itu adalah…,” ucap Ki Banyudana gelagapan saat bertemu Ki Sanden Merti. Ketika melihat Ki Tumenggung Sanden Merti berada di sana dan sedang berhadapan dengan Agung Sedayu, Ki Banyudana terperangah. Dua orang itu adalah orang-orang berkedudukan tinggi dan sama-sama disegani di Mataram. Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah mereka benar-benar berseberangan atau ini bagian dari siasat Pangeran Selarong atau Agung Sedayu sendiri? Sulit bagi Ki Banyudana menjernihkan pikiran.
Baginya, Ki Sanden Merti adalah pemimpin tangguh yang terpercaya. Ki Banyudana pernah menjadi bawahan Ki Sanden Merti ketika baru diwisuda sebagai prajurit lalu ditempatkan di Ganjur sebagai bagian dari pasukan khusus. Di Ganjur, Ki Sanden Merti menjadi salah seorang perintis pasukan berkuda. Meski tidak berjumlah banyak, tapi kemampuan mereka sangat disegani kawan maupun lawan. Dari Ganjur, Ki Banyudana mengikuti Ki Sanden Merti saat melawat ke Mangir. Wilayah yang cukup panas karena selalu dianggap duri oleh sebagian orang Mataram. Dalam kesempatan yang sempit itu, Ki Banyudana berpikir bila dirunut ke belakang, ada kemungkinan Ki Sanden Merti diangkat menjadi senapati pasukan bersamaan waktu dengan Agung Sedayu ketika membantu terbentuknya pasukan khusus di Menoreh. Terbuka pula kemungkinan mereka pernah berhubungan atau pernah bersatu di bawah perintah mendiang Panembahan Senapati.
“Ki Lurah mengenalnya?” tanya Agung Sedayu pada Ki Banyudana.
“Saya, Ki Rangga. Ki Tumenggung Sanden Merti dulu adalah orang yang melatih saya, mengajarkan saya tentang semua yang terkait dengan kuda. Beliau ini adalah… Ia orang yang…. Ki Tumenggung Sanden Merti menyelamatkan nyawa saya ketika kami bertempur di Demak. Ini, ini sulit dipercaya!” jawab Ki Banyudana dengan perasaan tidak karuan.
“Tapi inilah kenyataan, yang mau tidak mau, Ki Lurah harus menghadapinya,” kata Agung Sedayu. Ia mengerti kegelisahan yang menyergap hati Ki Banyudana. Tentu saja ada rasa segan atau sungkan jika harus bertarung sampai mati dengan Ki Sanden Merti. Bahkan Agung Sedayu pun sulit percaya pada mulanya. Ia pernah bertempur bersama Ki Sanden Merti ketika Mataram meredam geliat Pangeran Puger. Walau mereka berada pada sayap dan gelar yang berlainan, tapi itulah mereka. Maka, mengignat keadaan dirinya sendiri, Agung Sedayu kemudian berkata lagi, “Saya bebaskan Ki Lurah dari tugas ini. Ki Lurah tidak harus berkelahi melawannya. Ki Lurah dapat mengambil tempat sebagai penghubung, dan itu adalah perintah!”
“Sedayu, Agung Sedayu,” ucap Ki Sanden Merti dengan senyum tipis terurai di bibirnya. “Memaksa seorang prajurit yang setia, serta pernah berhutang nyawa agar diam melihat penolongnya terperangkap bahaya adalah perbuatan yang tidak patut bagi senapati pilihan sepertimu. Mengapa tidak kau paksa saja ia untuk bunuh diri lalu laporkan kematiannya secara wajar pada Panembahan Hanykrawati?”
“Benar, itu benar, ” tukas Ki Hariman yang tertarik untuk memanaskan suasana. “Kematian orang ini akan mambuatmu lebih mudah menjalankan tugas keprajuritan. Betapa tidak, dengan begitu, bukankah itu sama juga menghargai pikiran Panembahan Hanykrawati saat mengangkat Ki Sanden Merti menjadi tumenggung? Atau bila lurah ini hidup, itu sama artinya kau menyelamatkan satu kehidupan karena dua kehidupan lain adalah membiarkan kami pergi.”
“Sedayu, mengapa tidak kau biarkan Ki Banyudana memilih yang terbaik untuk dirinya sendiri? Bila ia memutuskan untuk melawanku karena hilangnya rasa malu, biarlah. Atau jika ia ingin mengikuti langkahku sebagai bukti kesetiaan pada atasan dan penggantian nyawa, sudah tentu penilaian Panembahan Hanykrawati akan menjadi lebih tinggi padamu. Karena lebih mudah bagimu untuk membunuhnya daripada membunuhku.”
“Atau membunuhku pula,” sahut Ki Hariman menambahkan. Walau begitu, Ki Hariman terheran-heran. Ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Agung Sedayu atau Ki Sanden Merti tidak segera saling melabrak? Bahkan keadaan menjadi makin rumit saat Ki Banyudana berada di antara mereka.
Bersikap seperti tidak peduli dengan keadaan Ki Banyudana, Agung Sedayu bergeser beberapa langkah ke samping dengan dua tangan seakan-akan terbelenggu di balik pinggang. “Kematian Ki Banyudana tidak membawa banyak arti dan itu pun bukan sesuatu yang penting yang akan ditangisi Mataram,” kata Agung Sedayu. “Membunuhnya atau membunuh kalian berdua, bagiku, sama-sama tidak ada sulitnya. Kalian bertiga mati atau hidup, hari-hariku tetap berjalan seperti biasa.”
“Janganlah kau menutupi gelisah hati dengan ucapan yang bukan-bukan, Agung Sedayu,” ucap Ki Sanden Merti sambil bersiaga bila tiba-tiba senapati Mataram itu menyerangnya. “Sebagai atasan dan orang yang mengenal Ki Banyudana, tentu kau berharap seandainya kami tidak pernah bertemu.” Seperti mendapatkan angin yang membawa kekuatan baru, Ki Sanden Merti tersenyum. Bila Agung Sedayu berusaha mengoyak jiwanya, maka ia pun dapat berbuat yang sama. Katanya kemudian, “Satu hal lagi. Dari mana datangnya keberanianmu, Ki Rangga? Sedikit orang yang tahu mengenai peristiwa yang terkait dengan kitab gurumu. Aku tidak ingin mengurusi hal itu, tetapi apakah kau tidak malu dengan kecerobohanmu?”
Layanan boga Surabaya, Nasi Kotak Surabaya
Dari sudut matanya, Agung Sedayu menangkap pergerakan Ki Hariman menyentak kepala sesaat.Tapi ia tidak dapat membuat perkiraan lebih jauh. Itu bisa saja sangat penting tapi bukan yang utama untuk saat ini, batin Agung Sedayu. Lantas ia mengangguk lalu bertepuk tangan kecil. “Luar biasa,” katanya. “Saya tidak menyangka ternyata Ki Tumenggung menaruh perhatian pula pada kitab guru. Boleh jadi, Ki Tumenggung pun turut membaca satu atau dua halaman.” Sambil menoleh pada Ki Hariman, Agung Sedayu bertanya, “Bukankah itu suatu kemungkinan, Ki Sanak? Kalau seseorang dapat membacanya walau sedikit baris kata saja, saya pastikan orang itu akan berani menentang Mataram. Ki Tumenggung, Ki Tumenggung… sepanjang waktu Anda menempuh perjalanan menjadi prajurit Mataram yang gagah dan disegani, lalu berakhir menjadi pencuri seperti ini.”
Kali ini, Ki Sanden Merti benar-benar geram dengan kalimat tajam Agung Sedayu. Itu sama artinya menuduhnya sebagai pencuri dan lebih buruk lagi : Agung Sedayu tidak mempunyai bukti maupun saksi. Meski demikian, ucapan itu terasa seperti merobek wajahnya. “Fitnah! Sedayu, kau benar-benar tidak dapat berpikir lain. Isi kepalamu hanyalah fitnah, apakah kau sudah hilang rasa malu dengan tuduhan itu? Sedayu, Sebenarnya ku masih ingin membiarkanmu bertingkah dengan segala ocehan tapi tidak ada lagi waktu.” Ki Sanden Merti memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata harimau lapar. Ada kebencian, ada kekaguman, dan ada pula penyesalan. Ia mengawali langkah di keprajuritan seperti orang-orang lain. Melalui segala pendadaran pada zaman Panembahan Senapati Ing Ngalaga hingga bertempur di sisi Panembahan Hanykrawati.
“Tidak ada fitnah, Ki Tumenggung. Nanti akan terjawab, apakah Ki Tumenggung bersekongkol dengan kawanan pencuri atau tidak? Tidak perlu pula membuktikan Ki Tumenggung tidak menguasai satu bagian ilmu Kiai Gringsing, itu tidak perlu dan tidak penting lagi. Yang Ki Tumenggung lakukan sekarang, yang Ki Tumenggung putuskan sebelum hari ini sudah menjadi bukti yang sangat kuat bagiku,” ucap Agung Sedayu dengan nada yang masih rendah dan tatap mata bergantian memandang Ki Hariman.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.