Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 12

Pikiran Swandaru menjadi lumpuh karena serangan kata-kata yang diucapkan orang yang masih gelap dalam penglihatan maupun pendengaran. Ingin ia menggerutu tanpa dapat didengar orang tetapi mungkinkah? Sedangkan ia sendiri seperti dalam kendali orang yang belum diketahui keberadaannya itu.

Angin melewati bagian belakang daun telinga Pandan Wangi, bertiup pelan tapi terasa seperti siulan yang tajam yang mampu mengiris urat pendengarannya. Pikiran Pandan Wangi bekerja keras memecahkan rahasia yang beredar memenuhi udara malam. Siapa orang yang berkata-kata dengan kalimat tajam yang menyiksa suaminya? Pandan Wangi dapat melihat Swandaru, mendengar precakapannya namun mengapa ia tidak turun menyambutnya? Pandan Wangi sendiri tidak mempunyai jawaban untuk pertanyaan itu. Lantas, kehadiran pendatang gelap pun menambah beban risau dalam hatinya. Apakah ia adalah seorang musuh? Pandan Wangi berharap dapat mendengar atau menangkap bunyi janggal walau pelan. Ia berharap ada gemerisik langkah yang sangat ringan lalu akan melompat padanya seperti seekor macan kumbang, Tetapi sejauh ini, semua masih bernada getir dan nihil. Ya, getir karena ucapan orang asing itu benar-benar menusuk hati.

Pandan Wangi tidak beringsut sedikit pun. Tak ada pergerakan darinya, kecuali perut yang turun dan naik untuk jalan pernapasan. Tubuhnya menjadi sedikit hangat ketika kabut semakin pekat dan suhu semakin turun. Walau demikian, keningnya berembun keringat. Pendatang gelap itu tentu bukan orang biasa, maka penyesuaian gerak dan pernapasan pun segera dilakukan Pandan Wangi dengan sepasang mata yang lekat memandang kedudukan Swandaru.

Dalam waktu itu, Swandaru meraba pinggangnya. Menurut jalan pikirannya, penyerang kata-kata memang tidak berada dalam jangkuan serangnya namun bersiap dalam pertahanan adalah pilihan terbaik. Walau begitu, tetap saja yang muncul dalam benaknya adalah : di mana kedudukan pendatang gelap itu?

loading...

Para penjaga regol sadar bahwa keadaan akan berubah sangat berbahaya bila tetap menyilang jalan masuk Swandaru. Mereka paham bila terjadi benturan, maka kedudukan mereka akan menjadi pusat ledakan. Mereka adalah pengawal yang terlatih meski belum berpengalaman seperti pengawal-pengawal lain di kademangan, namun mereka telah belajar cara menempatkan diri untuk menyusun pertahanan bagi Pandan Wangi dan serangan balik yang berbahaya.Dan yang terbaik mereka lakukan saat itu adalah menyiapkan pertahanan bila tiba-tiba muncul serangan gelap yang mendadak. Maka, para pengawal pun mundur setapak demi setapak, meski demikian, mereka bergerak penuh keyakinan dan memang cukup meyakinkan.

Sekejap kemudian yang terjadi adalah keheningan yang mencengkeram urat saraf. Perang saraf yang sangat menegangkan ketika tidak ada lagi suara orang berkata-kata. Sekeliling mereka hanya ada gelap dan bayang-bayang samar dari tubuh mereka sendiri yang tertimpa cahaya remang dari beranda kediaman Pandan Wangi.

Ketegangan yang sangat menggelisahkan Swandaru. Walau sesungguhnya Swandaru adalah orang yang berpendirian keras. tetapi selama belum ada seorang pun yang bergerak, barangkali sepanjang waktu itulah ia akan didera gelisah. Pikirannya terbelah, bagaimana jika Pandan Wangi mengetahui yang diperbuatnya selama di Randulanang? Apakah Pandan Wangi masih bisa menerimanya atau ia akan menerima balasan yang buruk? Suasan hati Swandaru benar-benar sulit dilukis dengan kata-kata. sukar dilukiskan. Andai ia dapat memilih mati di tangan pendatang gelap itu, mungkin ia segera bergegas menempuh jalan kematian. Namun, sekali lagi, di mana letak pendatang gelap yang tiba-tiba berhenti bersuara?

Swandaru menggeser langkah. Ketika itu dilakukannya, terlihat jelas perbedaan kemampuannya menyerap bunyi. Kemampuan Swandaru menurun! Kaki Swandaru bergemerisik pelan tetapi pendengaran Pandan Wangi tidak dapat dilalui begitu mudah. Putri tunggal Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu segera berpaling ke sumber suara. Swandaru tampak bergerak ke samping sekitar satu atau dua langkah. Pandan Wangi pun menyesuaikan diri dengan keadaan tetapi tangannya masih jauh dari letak dua bilah pedangnya. Pandan Wangi masih menunggu gerakan yang mungkin dilakukan oleh pendatang gelap.

Kedudukan mereka – Pandan Wangi, Swandaru, para penjaga regol dan pendatang gelap – bila dipandang dari ketinggian, menyerupai bidang segi empat yang berbeda sisi. Satu pihak diuntungkan bila menyerang pihak lain yang berdekatan, tetapi itu sama artinya dengan menjadikan diri sebagai mangsa bagi mereka yang benar-benar siaga penuh.

Untuk saat-saat seperti itu, apabila mengabaikan kemampuan orang per orang, maka para penjaga regol berada dalam kedudukan yang menguntungkan. Jumlah mereka lebih banyak sehingga satu orang dapat berperan sebagai penghubung yang dapat mengoyak lingkar perkelahian yang lain. Selain keunggulan jumlah, para penjaga regol tidak mempunyai persoalan pribadi dengan Swandaru dan Pandan Wangi. Sehingga dalam hati mereka hanya ada satu tekad : mustahil menang, tetapi mati akan menjadi kehormatan demi kademangan.

Suasana hati Swandaru seolah bada yang belum berhenti berkecamuk. Ia tidak yakin dapat membendung serangan pendatang gelap dan juga, bagaimana menempatkan muka di hadapan Pandan Wangi? Swandaru telah kalah sebelum pertempuran dimulai.

Sementara waktu ketika mengamati perkembangan yang terjadi di halaman rumah Ki Darmabudi, orang asing itu sadar bahwa makin lama makin kurang berguna baginya. Ia datang untuk sebuah tujuan tapi bukan untuk saling serang. Cukup mudah baginya untuk menundukkan mereka yang ada di sekitarnya. Cukup satu atau beberapa gebrakan, mereka akan kalang kabut menghadapinya. Ia mengeluarkan sebungkus kain yang tidak begitu panjang, kira-kira sejengkal dengan ranting lurus berada di bagian tengah. Selanjutnya, ia tidak lagi bergerak.

Desir udara yang terbelah sebenarnya mustahil dapat didengar tetapi Pandan Wangi sedang berada dalam puncak keheningan. Ia dapat mendengar suara yang tertutup oleh derit jangkrik dan tonggeret! Ia perkirakan ; sesuatu, entah senjata atau benda lunak, sedang meluncur sangat deras ke arahnya.

Pandan Wangi bergerak.

Tubuhnya melayang membelah malam. Meluncur secepat sambaran kilat. Menjemput lontaran benda dan menghampiri pelemparnya.

Nyaris serentak! Swandaru dan penjaga regol juga bergerak ketika melihat bayangan melesat deras di atas atap rumah Ki Darmabudir. Tiga senjata penjaga regol mengoyak udara, menghadang laju Swandaru yang sepertinya akan mengikuti pergerakan Pandan Wangi.

Pertempuran nyaris pecah. Tidak ada gemuruh teriakan dari para pengawal pedukuhan tetapi udara sekitar mereka seolah mendesis, mengancam hidup Swandaru!

“Kalian gila!” kata Swandaru geram.

“Kami tidak memperoleh izin dari panglima agar membiarkan Ki Swandaru lewat untuk menemui beliau,” sahut seorang pengawal.

Seorang lagi melanjutkan, “Setelah ini, Ki Swandaru boleh menghukum kami dengan kematian. Namun, izinkan kami mengawal perintah panglima kademangan, Nyi Pandan Wangi!”

Melihat kedudukan dan raut wajah para penjaga regol, Swandaru tahu bahwa tidak mudah mengakhiri hadangan mereka. Ia menggerutu dalam hatinya. Swandaru tahu para pengawal benar-benar tidak peduli dengan kedudukannya lagi. Sebagai pemimpin kademangan, ini dapat menjadi musibah besar. Di balik itu semua, apa yang  dikatakan Pandan Wangi pada mereka?

Sementara itu, Pandan Wangi melayang seolah terbang melintasi pekarangan lapang di bawahnya. Secepat anak panah yang terlontar dari tali busur, benda berbungkus kain itu pun menderas sangat cepat. Pandan Wangi menangkapnya dengan cara mematukkan ujung pedang. Barangkali berlumur racun, siapa tahu? Ketika setapak kakinya menjejak dahan pendek yang diperkirakannya menjadi kedudukan terakhir pendatang gelap, Pandan Wangi memandang suasana alam yang gelap dan kosong. Walau demikian, ia sepintas dapat melihat pergerakan yang sangat cepat sedang menjauh dari pekarangan sekitarnya. Bila ia berusaha mengejar, tentu orang itu akan sulit terlihat lagi karena sebuah pategalan yang sedang rapat ditumbuhi pohon pisang akan menjadi penghalang pertama. Kemudian dua bulak pendek hanya membuatnya semakin jauh dari rumah Ki Darmabudi. Lalu, bagaimana nasib penjaga regol bila mereka akhirnya bertempur melawan Swandaru? Pertanyaan itu mendorong Pandan Wangi memutar arah. Ia berkelebat secepat kedatangannya sambil menyimpan bungkusan panjang di balik kainnya yang ringkas.

Pendatang gelap yang bertubuh ramping semakin jauh dari jangkauan Pandan Wangi. Senyum tersungging bersama hati penuh bunga. Sebentar lagi akan ada siasat istimewa di Sangkal Putung, demikian harapannya. Ia mengubah cara berlarinya. Kini seperti seorang bocah yang mendapatkan buah mangga masak yang jatuh dari pohon. Ia begitu gembira. “Waktu kembali tersedia. Aku pulang,” desisnya dalam hati.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.