Kata-kata Agung Sedayu serasa seperti sambaran tenaga cadangan dahsyat yang menghantam gendang telinga Ki Hariman. Orang ini berubah garis mukanya. Apakah Agung Sedayu mengetahui bahwa kitab Kiai Gringsing berada di tangannya? Yang diketahui Ki Hariman hanyalah kematian Ki Tunggul Pitu saja. Tapi, mungkinkah Ki Tunggul Pitu mengatakan dengan jujur pada Agung Sedayu? Blingsatan menjadi ungkapan yang tepat untuk Ki Hariman pada saat itu. Namun andaikata Agung Sedayu benar mengetahuinya, tentu saja sore itu adalah sore yang sangat buruk. “Benar-benar apes, Bukan masalah bertarung dengannya, tapi aku sedang menunggu pencapaian Raden Atmandaru,” desis Ki Hariman dalam hati.
Sambil mempersiapkan diri secara diam-diam walau hanya berdiri tegak, Agung Sedayu memberi tanda pada Ki Banyudana agar meningkatkan kewaspadaan. Namun lurah Mataram ini masih gagap dengan serangkaian kejutan yang terpapar di depannya. Menurutnya, Ki Sanden Merti tidak mungkin berkhianat. Apa yang dicarinya? Tanah, rumah atau apakah? Semua yang menjadi impian banyak orang pun sudah berada dalam genggamannya.
Seperti terdengar suara besi beradu namun tanpa suara yang merambati angkasa. Batang-batang pohon seakan-akan turut bergerak melakukan pemanasan. Udara mulai merambat hangat. Bagi Agung Sedayu, keadaan itu mengingatkannya pada pertarungan melawan Ki Ajar Tal Pitu dengan pengendalian diri serta penguasan kanuragan yang jauh berbeda.
Ucapan Agung Sedayu “berakhir menjadi pencuri seperti ini’ terngiang dan berdengung terus menerus di dalam telinga Ki Sanden Merti. Perasaannya bergolak. Meledak dan melebur bercampur menjadi satu lalu disalurkannya bersamaan dengan tenaga cadangan yang siap menggelegar! Tubuhnya bergetar. Ki Sanden Merti mengaum dengan kekuatan dahsyat. Beberapa kelompok burung serentak meninggalkan ranting dan dahan. Riuh suara bulu-bulu beradu saat sayap-sayap burung mengepak lalu memukul permukaan daun.
Ki Hariman dan Ki Banyudana mengerutkan kening. Batin mereka menebak, aji Gelap Ngampar? Ki Hariman beringsut mundur, bergeser setapak demi setapak untuk memberi ruang bagi Ki Sanden Merti. Namun demikian, ia tidak melepaskan pengawasan pada Agung Sedayu.
Saat udara sekitar menjadi hangat, Ki Banyudana masih menetap dalam gagapnya. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Satu lintasan pikiran bertentangan dengan pendapat lain yang muncul dalam benaknya. Ia mengenal Ki Sanden Merti sebagai orang yang cerdas serta tegas dan berani menegakkan aturan. Selain itu, Ki Sanden Merti termasuk orang yang ringan tangan ketika melihat orang-orang di sekitarnya membutuhkan bantuan. Lalu, ketika mendengar dan menyaksikan sendiri Ki Sanden Merti berada di atas arus gerakan Raden Atmandaru, Ki Banyudana merasakan kepalanya seperti terbentur dinding batu. Bagaimana mungkin? Ia bertanya pada hatinya berulang kali.
Pada hari itu, Ki Banyudana seakan menyaksikan dua arus air yang mengalir pada arah berlawanan. Ki Banyudana memandang Agung Sedayu bergantian dengan Ki Sanden Merti. Ia seperti sedang melihat dua orang yang pernah mengalami masa kecil bersama-sama kemudian mengarungi usia remaja dengan segala keseruan.
Apakah Ki Banyudana akan bertempur di sisi Ki Sanden Merti menghadapi Agung Sedayu? Lurah Mataram yang berusia lebih muda dari Agung Sedayu itu menggoyang kepala. “Sulit, sangat sulit jika harus mengeroyok Ki Rangga,” desis Ki Banyudana dalam dirinya. Ini bukan persoalan pribadi antara dirinya dengan Agung Sedayu maupun Ki Sanden Merti. Lagi pula, itu juga bukan sekedar ilmu Agung Sedayu yang di luar nalar, tetapi atas alasan apakah? Dalam pandangan Ki Banyudana, Agung Sedayu bukanlah orang yang tidak mempunyai cela tapi apakah itu sudah cukup untuk melawannya? Sementara kesetiaan Agung Sedayu pada Mataram sudah melewati ujian berat berulang-ulang dan tidak perlu diragukan bahwa ia akan berpaling. Dalam waktu itu, Ki Banyudana tidak menemukan alasan untuk membantu Ki Sanden Merti melawan Agung Sedayu. Ia pun memaksa diri agar dapat menempatkan Ki Sanden Merti berdasarkan peristiwa demi peristiwa.
Ki Banyudana melepaskan beban pikir dengan cara mengikuti perintah Agung Sedayu agar berdiri sebagai pengamat. Dengan begitu, Ki Banyudana dapat mengendurkan sebagian urat saraf lalu melonggarkan napas. Pikirnya kemudian, ia tidak dapat menyandarkan keadaan pada Agung Sedayu seorang atau Panembahan Hanykrawati saja. Ia harus dapat menimbang banyak hal. Ia merenung, berhutang nyawa pada Ki Sanden Merti itu memang kenyataan tetapi dalam keadaan perang, bukankah itu memang kewajiban para prajurit yang berada di bawah satu perintah yang sama? Sebagai pemimpin kelompok, Ki Sanden Merti sudah sewajibnya mengamankan jiwa anak buah. Ada keterkaitan dan juga hubungan sebab akibat. Tapi dalam keadaan sekarang, bukankah mereka sudah berseberangan? Jika dulu mereka sama-sama membela panji Mataram, namun untuk saat ini? Siapa yang menusuk Mataram dari dalam? Ki Banyudana mengingatkan dirinya tentang tujuan dan seluruh pertalian darah yang mengalir di dalam dirinya. Ia harus dapat membebaskan diri dari segala sesuatu yang menjadi beban.
“Aku benar. Aku harus melakukan yang semestinya aku lakukan. Aku tidak boleh menyesal.” Tidak akan ada penghargaan dari kubu seberang bila melangkah ke sana. Ia dapat dibuang setiap waktu seperti kain usang atau kayu yang membusuk, seperti pelepah tebu yang kering terhisap. Tapi jika ia tetap berada di belakang Agung Sedayu, maka keluarganya tidak perlu menanggung beban malu yang berkepanjangan atau rasa bersalah yang menghantuinya sepanjang waktu.
“Selama orang itu masih bimbang, selama itu pula aku harus dapat menikmati pertandingan yang sudah pasti jarang terulang dalan waktu puluhan tahun. Barangkali rangga itu dapat memberi petunjuk secara tidak langsung tentang bagian-bagian yang ada di dalam kitab Kiai Gringsing,” kata Ki Hariman dalam hati. Ia tidak ingin menyerang Ki Banyudana karena lurah Mataram itu dapat segera membuat keputusan lalu justru merepotkan pihaknya. Ki Hariman berencana memanfaatkan waktu untuk mengamati tata gerak atau olah kanuragan Agung Sedayu.
Dentang jantung Ki Banyudana perlahan-lahan menggema seperti panggilan untuk setiap bagian tubuhnya agar bangkit sepenuh tenaga. Ia bergeser menjauh dari kedudukan Agung Sedayu dan Ki Sanden Merti yang masih berdiri tegak saling beradu pandang.
Baca Kitab Kiai Gringsing dari awal, klik Kitab Kiai Gringsing
Yah, Agung Sedayu memancang tubuh seperti sebatang kayu yang tertancap kokoh. Sementara Ki Sanden Merti menghadapkan segenap dirinya pada Agung Sedayu dengan tangan bersedekap di depan dada. Mereka terpisah jarak sekitar enam atau delapan langkah. Dua orang itu, apakah sedang mengerahkan tenaga cadangan secara diam-diam atau sedang menunggu serangan salah satu dari mereka?
Gemricik air yang mengalir di parit yang terletak di sebelah selatan hutan terdengar seperti sedang berusaha mendinginkan keadaan. Burung-burung seakan enggan untuk bernyanyi. Pun dengan angin yang terasa sedang malas bergerak. Belum dapat dianggap menjelang senja ketika matahari mulai bersembunyi di balik dedaunan pohon. Jalanan, walau bukan satu-satunya, yang menghubungkan kotaraja dengan Alas Krapyak benar-benar sangat sepi. Begitu sunyi bagaikan kuburan di tengah hutan.
Agung Sedayu bergeming.
Belum ada seorang pun di antara mereka yang bergerak, termasuk Ki Banyudana yang seakan-akan tertahan oleh getar tenaga yang tidak tampak. Ki Hariman sedang menunggu tapi ia tidak ingin bergerak.
Ki Sanden Merti bergeser mendekat. Kepalanya tegak dengan sorot mata seperti sepasang belati yang menusuk mata lawan.
Agung Sedayu bergeming.
Di dalam lubuk hatinya, Agung Sedayu menundukkan kepala sambil berbicara pada alam sekitar bahwa ia adalah bagian dari mereka.
Setapak kaki Ki Sanden Merti menggeser selangkah ke belakang. Tumenggung yang membelot ini siap menyerang. Agung Sedayu telah mempersiapkan diri. Ia sedang menunggu saat yang tepat walau itu harus mendahului lawannya.
Sekali lagi, Ki Sanden Merti tiba-tiba mengaum. Suaranya begitu dahsyat dan seperti mengandung tenaga raksasa saat membentur dada Agung Sedayu. Sekejap mata kemudian, ia menerkam senapati pasukan khusus Mataram dengan jari-jari terbuka lebar, siap menyayat dan merobek kulit Agung Sedayu.
Agung Sedayu menyambut serangan dengan loncatan panjang.
Suara meledak sangat keras saat dua tenaga raksasa berbenturan walau belum bersentuhan kulit. Dua-duanya terdorong surut. Apakah itu gambaran bahwa tenaga mereka seimbang? Secepat kedipan mata, mereka telah saling serang. Tanpa ancang-ancang. Tanpa membuat pengamatan atau pertimbangan karena mereka sudah mempunyai daya jelajah yang cukup dalam pertarungan olah kanuragan.
Dua orang itu telah dikenal sebagai orang yang termasuk dalam jajaran orang-orang yang berilmu tinggi. Maka tata gerak mereka pun menjadi sama-sama dahsyat. Kecepatan mereka juga masih dapat dikatakan sepadan. Sehingga pertarungan pun berlangsung sangat ketat dalam jarak yang cukup rapat.
Serangan Ki Sanden Merti datang membadai. Orang yang kemudian beralih haluan menjadi penyokong Raden Atmandaru ini tegas mengungkap kepandaiannya. Ia begitu percaya diri dan cermat menyesuaikan tata gerak dengan olah jurus Agung Sedayu. Kibas tangan dan kakinya seperti pergerakan benda yang berbobot sama dengan seekor lembu atau kerbau tapi begitu enteng berayun-ayun. Angin pukulannya mampu menyibak permukaan tanah sehingga dapat menerbangkan gumpalan tanah atau kerikil sebesar ruas kelingking. Kematangan Ki Sanden Merti sangat nyata ketika perpaduan tenaga dan kecepatan yang seimbang dapat pula menimbulkan suara gemuruh di dalam telinga.
Agung Sedayu sadar sejak perkelahian belum dimulai bahwa ; Ki Sanden Merti bukan orang yang kemampuannya dapat diabaikan. Mereka pernah diwisuda secara langsung oleh Panembahan Senapati ketika memperoleh kenaikan pangkat. Agung Sedayu naik setingkat dari lurah menjadi rangga, sedangkan Ki Sanden Merti pun setingkat dari panji menjadi tumenggung. Mereka berdua sama-sama menjadi andalan Panembahan Hanykrawati ketika menumpas pemberontakan Pangeran Puger serta meredakan gejolak di Pegunungan Kendeng. Agung Sedayu melompat ke samping, dan terus berlompatan pada jarak dan susunan yang seakan-akan terukur. Dalam waktu itu, ia pun sempat melontarkan pujian dalam hati atas kemampuan Ki Sanden Merti yang sulit dinalar oleh akal sehat.
“Tidakkah kau ingin membalas serangan, Sedayu?”
Agung Sedayu bergeming. Ia tidak ingin terjerat perang kata-kata.
“Apakah sedang teringat gadis cantik yang menjadi bagian pasukanmu?”
Agung Sedayu bergeming. Ia tidak ingin terlibat perang kata-kata.
Maka Ki Sanden Merti pun menyadari bahwa Agung Sedayu telah menyatukan diri dalam pikiran dan perhatiannya tertumpah di atas tanah yang menjadi gelanggang pertarungan sengit itu. Maka ia tidak terkejut ketika sisi telapak tangan Agung Sedayu menggelepar menyapu lehernya! Dengan kecepatan yang sulit dibayangkan, Ki Sanden Merti melompat surut, membungkuk dengan gerak kaki memutar, membentuk lingkaran lalu dalam sekedipan mata, ia membalas serangan!
Gerakan yang cukup mengejutkan Agung Sedayu! Untuk itu ia membalikkan tubuh, melenting rendah dengan tatanan yang kokoh. Sebelah lengan Agung Sedayu mendorong dengan kepalan tangan yang kuat pada bagian atas Ki Sanden Merti. Tumenggung itu berhasil menghindar dan angin tenaga Agung Sedayu pun menabrak pohon hingga batangnya bergetar hebat. Merontokkan daun-daun. Andai saja Ki Sanden Merti sedikit terlambat mengelak, maka pastilah ia akan terpental belasan langkah!
Ki Sanden Merti tersenyum lalu mengangguk. Katanya dalam hati, “Lawan seperti ini hanya dapat ditemui bila Mataram benar-benar terganggu. Selain Agung Sedayu, hanya keluarga raja saja yang mungkin setingkat dengannya.”
Pada pertarungan itu, Ki Sanden Merti tidak berniat untuk beradu senjata. Ia sudah mendengar ilmu kebal yang tersimpan dalam diri Agung Sedayu maka salah satu jalan untuk mengalahkannya adalah perkelahian jarak dekat. Cambuk dan sorot mata Agung Sedayu adalah dua senjata yang hanya berdaya guna penuh pada perkelahian yang berjarak lebih dari empat langkah. “Aku harus menjaga agar jarak tetap dekat dengannya,” tekad Ki Sanden Merti. Orang ini dengan sungguh-sungguh menjalankan niatnya dengan serangan-serangan yang belum pernah dihadapi Agung Sedayu sebelumnya. Pekik lantang yang menggelegar menjadi jalan keluar karena tidak ada ilmu kebal yang dapat membentengi dada dari getaran yang dihasilkan dari suara dahsyat. Tak jarang Ki Sanden Merti meninggikan suara seperti suitan burung rajawali dan itu benar-benar menyakitkan bagian dalam telinga walau seseorang mempunyai kemampuan cukup. Bentakan-bentakan yang keluar dari mulut Ki Sanden Merti cukup menganggu ketenangan Senapati pasukan khusus Mataram itu.
Otak Agung Sedayu berputar lebih cepat dari biasanya. Tekadnya, harus ada cara untuk menembus kepungan suara yang menggila ini! Agung Sedayu menjawab serangan dengan memusatkan tenaga cadangan pada sepasang lengan dan kaki. Ini sama seperti Ki Sanden Merti. Pergerakan senapati pasukan khusus ini tampak cukup berhati-hati. Walau demikian, gelombang tenaganya cukup untuk menghasilkan desir angin yang segera menjadi peringatan bahaya bagi lawannya.
Lingkaran perkelahian berubah seketika. Goresan kaki jelas terlihat. Permukaan tanah yang terkoyak juga semakin luas. Kerikil dan tanah kering bergumpal pun berlontaran ke segala arah. Debu-debu membumbung tinggi seakan akan menjadi tirai bagi keduanya. Ki Hariman dan Ki Banyudana yang berjarak sekitar sebelas atau lima belas langkah harus beringsut lebih jauh. Kedipan mata sudah tidak mampu menutup bola mata dari debu yang merangsek masuk. Pernapasan terasa menyesakkan. Jantung mereka berdebar dengan pertanyaan yang mengusik pikiran, siapakah yang akan menjadi pemenangnya?
Kebisingan yang makin menjadi-jadi itu memaksa Ki Hariman dan Ki Banyudana bergeser lagi. Tidak cukup enam atau delapan langkah, mereka beralih sekitar dua puluh sampai tiga puluh langkah agar telinga mereka tidak tertusuk oleh tikaman suara Ki Sanden Merti!
“Perkelahian yang sangat menarik! Dan cukup hebat juga Raden Atmandaru saat memilih pembantu,” puji Ki Hariman dalam hati.
Ki Hariman memperhatikan pertarungan itu dengan cermat. Disergap oleh debaran jantung, ia menilai kemampuan Agung Sedayu memang bukan sekedar obrolan di kedai maupun pasar-pasar tengah pekan. “Jika kemampuan seperti itu disadapnya dari Kiai Gringsing, tentu isi kitab itu jauh lebih hebat. Namun aku butuh waktu sedikit lebih banyak dari perkiraanku semula,” desah Ki Hariman dalam hati.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.