Jantung Agung Sedayu berdebar keras meski pernapasannya tidak ada gangguan. Muncul perasaan janggal ketika ia sadar bahwa berada di dekat gadis yang merawat luka-lukanya di Pengging itu seperti menjadi sesuatu yang diharapkannya. Tanpa sadar, wajah Agung Sedayu memerah. Tapi itu hanya sekejap karena dari belakang mereka terdengar beberapa orang bercakap-cakap sambil berjalan kaki.
Tak lama kemudian, Panembahan Hanykrawati berdiri di samping kanan Agung Sedayu. Pangeran Selarong dan Ki Anjangsana tegak berdiri di seberang Agung Sedayu dan Kinasih.
“Sedayu,” ucap Panembahan Hanykrawati.
“Saya, Panembahan,” kata Agung Sedayu.
“Alangkah dahsyat kemampuan yang ada dalam dirimu,” kata Panembahan Hanykrawati pelan. “Aku kira ilmu dan kemampuan yang terungkap dalam pertarungan tadi sudah menjadi kenangan pada masa sekarang. Tapi kalian, sungguh, berada di luar nalar.” Sejenak Panembahan Hanykrawati memandang jasad Ki Sanden Merti yang membujur, lalu berkata lagi, “Hanya saja sangat disayangkan karena ada seseorang yang gagal memanfaatkannya dengan cukup baik.”
Agung Sedayu membungkukkan tubuhpenuh rasa hormat di depan Panembahan Hanykrawati.
Setelah memperhatikan keadaan Ki Sanden Merti, Pangeran Selarong berkata, “Paman.”
Walau terkejut, tapi Agung Sedayu mampu menyamarkannya ketika Pangeran Selarong memanggilnya dengan sebutan paman.
“Paman Agung Sedayu,” sambung Pangeran Selarong, “aku harus minta maaf pada Paman karena telah salah menilai, dan juga… bahkan aku berprasangka yang tidak baik terhadap Paman. Lebih-lebih aku salah mengira tingkat kemampuan Paman. Jujur harus dikatakan, bahwa ketika kami berembug mengenai perburuan ini, saya adalah orang pertama yang keberatan ketika Kakang Mas Jatmika dan Panembahan sepakat memutuskan Anda menjadi juru siasat yang harus saya mintai pendapat. Saya juga keberatan ketika beliau berdua memutuskan bahwa Paman Sedayu bebas menyusun siasat tanpa harus meminta persetujuan saya sebagai pemimpin rombongan.” Pangeran Selarong menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya. “tapi, setelah melewati semuanya, saya seperti ditunjukkan kelemahan dan kebodohan saya. Ki Rangga, mohon diterima permintaan maaf ini dan sudilah tetap bersama saya pada tugas-tugas berikutnya.”
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ia merasa ada getaran aneh atau barangkali ada sesuatu yang melandasi harapan Pangeran Selarong yang mengguncang hatinya. Sejenak kemudian, Agung Sedayu berkata, “Tidak ada perlu dimaafkan, Pangeran. Semua terjadi begitu saja dan mengalir sebagaimana lazimnya satu bagian kehidupan.” Agung Sedayu menghadapkan segenap bagian tubuhnya pada Pangeran Selarong lalu berkata lagi, “Dan tentu saja, saya akan selalu menyambut dengan senang hati setiap tugas yang diletakkan pada dua bahu saya.”
Saat Agung Sedayu mengucapkan kalimat itu, Kinasih merasa hatinya seakan melompat-lompat. Pada bagian lain, kulit Kinasih pun meremang. Ia membayangkan sebuah perjalanan panjang dan pengalaman yang sulit dilupakan saat menjalankan tugas bersama senapati itu. Namun gadis ini pun sadar diri bahwa ia tidak boleh berharap terlampau banyak. Dan lagipula, bukankah ia masih mempunyai seorang guru yang sabar menantinya?
Matahari benar-benar telah bersembunyi di balik rimbun daun-daun pohon yang tumbuh di hutan. Dalam waktu yang tidak lama lagi, malam akan mendatangi setiap jengkal tanah yang membentang dari Menoreh sampai ujung timur kaki Gunung Lawu.
Panembahan Hanykrawati bergantian memandang Pangeran Selarong dan Agung Sedayu. Sejenak kemudian beliau bertanya, “Apakah kita tetap berbincang di sini atau ada sesuatu yang dapat dikerjakan?”
Ki Anjangsana menarik napas dalam-dalam. Sebagai yang tertua di antara mereka, ucapan Panembahan Hanykrawati adalah pengingat baginya. Kemudian ia berkata, “Nyuwun duka, Panembahan. Sesaat kami terlena dan terpukau pada pertempuran dan hasil akhirnya. Marilah, Pangeran dan Ki Rangga.”
Pangeran Selarong beranjak. Demikian pula Agung Sedayu dan Kinasih turut bergerak. Mereka seluruhnya bersiap meneruskan perjalanan menuju Alas Krapyak. Dalam waktu itu, sebagai penasehat Pangeran Selarong, Agung Sedayu menyarankan agar membagi rombongan dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah sekitar dua puluh langkah. Kemudian satu kelompok diputuskan agar tetap tinggal di mulut lembah lalu dua kelompok lagi diperintahkan berjaga-jaga pada arah kembali ke kotaraja. Dua orang lurah akan menjadi penghubung antar gugusan dengan gugus induk.
Namun ketika semuanya sudah bersiap, Pangeran Selarong masih belum menaiki punggung kuda. Agung Sedayu dan Panembahan Hanykrawati ternyata mengawasinya.
“Ayah, apakah tidak ada penyelenggaraan semestinya untuk beberapa orang yang membujur lintang di tepi hutan ini?’ tanya Pangeran Selarong.
“Sebenarnyalah aku ingin melakukan itu walau mereka termasuk orang-orang yang menentangku. Tapi dalam kedudukanku sebagai pemimpin Mataram, aku putuskan untuk menyerahkan hal itu padamu,” jawab Panembahan Hanykrawati.
Pangeran Selarong mengerutkan kening, mengangguk lalu memberi perintah pada beberapa orang, “Galilah lubang sepantasnya lalu kumpulkan mayat-mayat itu menjadi satu.” Setelah itu, ia memandang Agung Sedayu yang sedang memegang tali kuda.
Merasa dirinya sedang diperhatikan oleh putra raja, Agung Sedayu lantas berkata, “Saya akan memastikan mereka menunaikan perintah Pangeran. Saya menyusul kemudian.”
Pangeran Selarong mengangguk. “Saya ingin Paman memberi kepastian untuk tidak terlambat mengiringi Panembahan.”
“Saya, Pangeran,” kata Agung Sedayu sambil memberi hormat. Saat pandangannya menumbuk kuda yang dinaiki Kinasih, ternyata gadis itu berlambat-lambat. Agung Sedayu menarik napas panjang. Ia tidak ingin meminta Kinasih bergegas pergi mengiringi Panembahan Hanykrawati. Namun ia pun tak sanggup meminta gadis itu agar berkenan menemaninya dalam penugasan itu.
Gugusan induk telah meninggalkan tepi hutan menuju Alas Krapyak. Tiga kelompok kecil pun pergi ke arah yang berlawanan, tapi Kinasih ternyata tidak berada pada salah satu di antara kelompok-kelompok itu. Ia mengarahkan kuda, menghampiri Agung Sedayu yang sedang mengawasi pekerjaan orang-orang.
Para prajurit yang mendapatkan tugas merawat mayat-mayat pembangkang pun bernapas lega. Kehadiran Agung Sedayu dan Kinasih menjadi seperti obat penawar dari rasa khawatir atas munculnya serangan gelap. Mereka pun semakin cekatan dan dalam waktu tak lama, seluruh jasad para pembangkang telah rata dengan tanah. Dan sesuai rencana pembagian, mereka pun berpencaran menyusul kelompok masing-masing, lalu hanya ada Agung Sedayu dan Kinasih berdua di tepi hutan.
Ternyata warna suram datang lebih cepat daripada perjalanan matahari. Mendung datang bergumpal-gumpal, tumpang tindih, bergeser ke arah timur Alas Krapyak. Dari kejauhan, gumpalan awan itu terlihat seperti payung yang membentang hingga Prambanan. Sesekali suara gemuruh datang susul menyusul lalu menggema memenuhi lereng Merapi. Mungkin jarak gugus pertama yang mengawal Panembahan Hanykrawati baru mencapai seratus langkah ketika petir tampak membelah angkasa untuk pertama kali sejak sepekan berlalu. Hujan turun tidak terlalu deras namun udara yang dingin segera menyergap perasaan Agung Sedayu dan para pengiring Panembahan Hanykrawati.
“Marilah, kita susul Panembahan dan Pangeran Selarong,” ucap Agung Sedayu dengan wajah yang mulai dibasahi gerimis.
Kinasih mengangkat wajah, memandang langit yang gelap. Ia dapat merasakan getar kecemasan pada suara Agung Sedayu. “Baik, marilah.”
Agung Sedayu benar-benar mencemaskan keadaan Panembahan Hanykrawati yang tampak tak wajar dalam pandangannya pada pertemuan sebelumnya. “Hampir tidak ada waktu lagi,” desis Agung Sedayu.
“Bagaimana maksud Ki Rangga?” tanya Kinasih yang jantungnya belum berhenti berdebar-debar sejak melihat Agung Sedayu selamat dari perang tanding.
“Tidak menutup kemungkinan ada sisa-sisa atau pengikut Raden Atmandaru sepanjang jalur ini,” kata Agung Sedayu. “Mereka dapat menggila karena kegagalan beruntun. Mereka juga dapat menjadi lepas kendali karena cuaca yang tiba-tiba berubah ini.”
Suasana jalan seakan lebih gelap dari saat malam. Walau hujan tak begitu deras tapi aliran air tampak menyimpang di atas jalanan. Halangan yang lain adalah akar-akar dari pohon-pohon raksasa yang melintang di permukaan jalan serta ranting-ranting yang bergelayut rendah. Bila mereka gegabah melarikan kuda, maka akan lebih sulit seandainya tiba-tiba datang kilat menyambar berbarengan dengan guntur yang menggelegar. Agung Sedayu sadar bahwa mereka tidak dapat lebih cepat berkuda. Bahkan seandainya ia mengetrapkan Sapta Pandulu tapi kuda tetaplah hewan yang berkemampuan terbatas. Maka Agung Sedayu pun menyerahkannya pada keadaan sambil tetap memperhatikan kemungkinan bila memang dapat dipacu. Dalam keadaan itu, Agung Sedayu tetap menebarkan pandangan dengan harapan ada sesuatu yang dapat digunakannya untuk memayungi Kinasih.
“Ki Rangga,” ucap Kinasih pelan. Ia berharap suaranya tidak terdengar oleh Agung Sedayu karena timpal bunyi tetes air dan deru angin.
Namun siapa sangka Agung Sedayu cepat menoleh lalu berkata, “Ada apakah?”
Wajah Kinasih pun menjadi merah. Tapi untunglah, suasana sekitar siap sedia melindunginya sehingga tidak begitu jelas dilihat Agung Sedayu.
“Oh, tidak,” ucap Kinasih. “Saya lupa akan mengatakan apa.” Tiba-tiba ia menjadi gugup lalu serasa ingin memukul keningnya lalu berteriak kencang, “Bodohnya aku!” Meski sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa dirinya sedang dilanda rasa takut. Betapa pun Kinasih adalah gadis yang menyimpan ilmu-ilmu hebat tapi ia terluka sehingga terkaman seekor serigala pun menjadi masalah besar baginya. Selain itu pula, Kinasih tetaplah seorang gadis yang tumbuh dan berkembang dalam keadaan wajar.
Meski cahaya jauh dari kata remang-remang namun Agung Sedayu dapat melihat bahwa Kinasih adalah gadis yang menarik hati. Raut wajahnya seolah menjadi gambaran bentuk yang mendekati sempurna. Serta caranya menunggang kuda menjadi cermin dari latihan keras di bawah tempaan Nyi Ageng Banyak Patra. “Anak ini bukan perempuan biasa atau aku yang sedang tak biasa?,” desah dan keluh Agung Sedayu menggaung dalam hati. Senapati Mataram ini segera menarik napas dalam-dalam. Sepintas dalam pikiran Agung Sedayu, ia ingin mengungkap perasaan yang jauh terpendam di dalam hati. Perasaan yang sedang dibaringkan dengan tenang olehnya.
Selembar pelepah daun pisang yang terjulur ke jalan cepat beralih fungsi menjadi payung yang digunakan Agung Sedayu untuk melindungi Kinasih dari tetes air hujan. Mereka saling melempar senyum karena daun itu tidaklah cukup lebar untuk menolak tetes air walau gerimis.
Agung Sedayu dan Kinasih berkuda berdampingan tapi hati mereka sedang berbicara mengenai hal-hal yang lain. Bila mereka ingin bicara satu sama lain, tiba-tiba seakan muncul sekat yang sulit mereka lampaui.
Dalam pikiran dan hatinya, Agung Sedayu merasa sudah terlalu lama meninggalkan Sangkal Putung. Bahkan ia belum sempat melihat wajah anaknya yang lahir ketika Sangkal Putung dilanda kisruh yang disebabkan ulah pengikut Raden Atmandaru. Hingga ia tiba di kotaraja bersama Kinasih, Agung Sedayu masih menunggu waktu untuk pulang. Bahkan hampir saja ia putus asa setelah mengetahui lebih jelas rencana dan langkah-langkah yang direkayasa Raden Atmandaru. Bahkan, ia sempat bertanya pada dirinya sendiri, akankah ada waktu meski hanya sejenak saja? Perbincangan dan pertemuan demi pertemuan seperti menghapus harapan Agung Sedayu. Sempat terbersit keinginan dalam benaknya : untuk menghapus nama Sangkal Putung, Sekar Mirah dan anaknya dari ingatan.
Namun asa itu kembali terbit ketika Kinasih memasuki kehidupannya di kotaraja bersama penggalan-penggalan saat di Pengging yang mulai tersambung. Kinasih – walau tak sering – berkata tentang kademangan dan jalan-jalan yang sambung menyambung hingga Tanah Perdikan Menoreh. Kadang-kadang saat melihat gadis itu, Agung Sedayu teringat Sekar Mirah pada awal mereka sebagai keluarga. Maka meski mereka hanya bertemu dan berhubungan dalam waktu singkat, Agung Sedayu seakan melihat bulan purnama yang menandai musim tanam padi akan tiba. Langit tak lagi tampak kelabu. Bahkan bayang wajah Sekar Mirah pun turut menghias langit pikirannya bersama-sama Kinasih. Sebuah rasa yang berbunga-bunga pun bersemai di pelataran hati senapati pilih tanding tersebut.
“Tidakkah ada orang lain yang telah mengisi hatinya?” Kinasih bertanya pada dirinya sendiri. Lantas ia pun menjawabnya sendiri, “Ada dan tentu ada.” Kinasih teringat seorang abdi dalem Kepatihan yang menerangkan padanya keadaan Agung Sedayu. “Ki Rangga tidak sendiri. Akulah yang sedang menanti.” Di luar kehendaknya, bibir Kinasih gemetar. Ada keinginan di dalam dirinya untuk menggapai hati seorang lelaki yang bernama Agung Sedayu. Tapi, untuk saat itu, Kinasih merasa dirinya begitu takut.
Terasa sesuatu bergetar di dalam hati Kinasih. Ia tidak tahu pasti dan juga tidak ingin menebak-nebak. Kinasih berpikir dengan cara sederhana ; ia akan mengikuti Ki Rangga karena hanya dengan begitu sesuatu yang bergolak akan dapat mengendap lalu teranglah semuanya.
Udara menjadi sangat dingin dan angin masih bertiup agak kencang. Suasana yang sangat mencengkam perasaan Agung Sedayu. “Kita tidak dapat menduga jarak kita dengan Panembahan Hanykrawati,” ucap Agung Sedayu tiba-tiba.
Anda dapat mengikuti tayangan visual audio Kitab Kiai Gringsing melalui tautan ini
Suara yang tidak dikeluarkan dengan nada tinggi atau bentakan itu terdengar seperti dorongan tenaga yang menggetarkan permukaan tanah. Kinasih tersentak dari lamunan. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum menanggapi lelaki yang memukau perasaannya. Kinasih mengangguk kemudian berkata, “Tapi bila kita tetap dengan kecepatan seperti ini, saya kira gugus pengawal yang paling belakang akan tersusul tak lama lagi.”
Agung Sedayu menyipitkan mata seakan ingin menembus malam yang tertutup berlapis-lapis tirai. “Benar dan aku harap memang seperti itu.”
Setelah melewati jalan kecil yang menyimpang ke dalam hutan, sekelompok orang sudah terlihat. Tak lama kemudian, Agung Sedayu dan Kinasih berhasil menyusul mereka.
Mendengar derap kuda yang datang dari belakang, tiga pengiring Panembahan Hanykrawati segera menarik senjata lalu menyarungkannya kembali saat mengenali orang yang menyusul mereka. “Ki Rangga,” sapa ketua regu.
“”Ki Lurah,” kata Agung Sedayu lalu mengucap beberapa kalimat yang ditanggapi dengan anggukan oleh tiga prajurit tersebut. “Baiklah, saya harus bergegas mengejar gugus pengawal yang mendampingi Panembahan Hanykrawati.”
“Silahkan, Ki Rangga,” sahut ketua regu. Maka mereka pun kembali terpisah jarak. Dalam waktu itu, ketua regu melihat Kinasih yang tak bercakap sama sekali. Pikirnya, gadis yang luar biasa. Beruntunglah lelaki yang terpilih menjadi pendampingnya. Kemudian ia tersenyum sendiri. Gerak gerik ketua regu itu mengusik perhatian dua temannya. Mereka berdua tertawa.
“Apakah kau sedang berangan-angan untuk menjadi pendampingnya? Oh, sepasang mata yang salah menatap sasaran,” ucap salah seorang dari mereka lalu kembali tergelak-gelak.
Ketua regu pun bermuka masam. Tanpa banyak bicara, ia memberi tanda agar mereka mempercepat perjalanan.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA
Terima kasih.