Ledakan cambuk Agung Sedayu merambat hingga menembus bangunan bambu Panembahan Hanykrawati – yang masih terlibat percakapan sungguh-sungguh dengan dua putra beliau. Adalah Raden Mas Rangsang yang pertama kali menajamkan pendengaran untuk mencari arah kedatangan suara. Pangeran Selarong bergeser mendekati Panembahan Hanykrawati.
“Ki Rangga,” ucap lirih Raden Mas Rangsang kemudian. Putra raja ini kemudian menunduk dengan mata terpejam, memanjatkan harapan supaya Agung Sedayu bersama Kinasih dapat menghisap kekuatan lawan dan lolos dari bahaya. Sejenak kemudian, ia membalikkan tubuh lalu menghadapkan wajah pada Penambahan Hanykrawati. Meski perasaan dan pikirannya sedang berkecamuk, pangeran Mataram itu tetap bersikap tenang ketika berkata, “Ayah, saya tetap berada di sini bersama adimas Pangeran Selarong. Paman Sedayu akan mempertahankan garis pertahanan bersama-sama Ki Baya Aji serta Ki Panji Badra Wungu.” Raden Mas Rangsang kemudian memandang wajah adiknya dan sorot mata mereka menunjukkan kesadaran bahwa lawan mereka benar-benar akan menghabisi ayahnya lalu menikam mereka semua. Kemudian pangeran Mataram itu melanjutkan ucapan, “Ki Rangga Agung Sedayu tidak bersama dengan kita di tempat ini, tapi Ki Rangga akan membuat pertahanan pada bagian depan, pada tempat jika ada pertemuan antara beliau dengan pasukan lawan.”
Panembahan Hanykrawati mengangguk paham bahwa Agung Sedayu akan memecah sekaligus mengurangi kekuatan lawan.
“Kakang, saya kira kita perlu berbagi tugas,” ucap Pangeran Selarong dengan nada santun.
Raden Mas Rangsang menatap lekat adiknya yang berusaha tenang meski gejolak hatinya terpancar jelas melalui garis-garis wajahnya, lalu menghampiri Pangeran Selarong kemudian berkata, “Wewenang tertinggi pengamanan raja berada di pundakmu. Aku, sebagai kakak dengan kedudukan lebih tinggi, akan mengikuti arahanmu. Apapun hasilnya, segala yang terjadi, aku akan menjadi orang pertama yang membelamu.”
Pangeran Selarong merasakan sesak di dalam dadanya. Kata-kata yang diucapkan dengan nada rendah itu benar-benar menempatkannya pada kedudukan yang tak terbayangkan sebelumnya. Semula ia menduga Pangeran Mas Rangsang akan mengambil alih tanggung jawab, tapi ternyata tidak. Ini berarti mereka akan menghadapi semua kejadian bersama-sama. Untuk itu, ia harus mengadakan persiapan untuk menghadapi lawan. Saat itu tidak ada pilihan yang menyenangkan ataupun menyusahkan, segalanya sudah terasa sama. Ketegangan dan kecemasan sudah mencapai puncak bersamaan dengan bunyi ledakan yang diyakini berasal dari cambuk Agung Sedayu. Pangeran Selarong berjalan cepat menuju pintu bangunan, lalu memerintahkan seorang pengawal agar memanggil beberapa nama.
Sesaat kemudian, sejumlah senapati telah berkumpul di depan pintu bangunan. Ada Ki Badra Wungu, Ki Baya Aji, Ki Banyudana serta tiga atau empat senapati lagi yang berbaris rapi berhadapan dengan Pangeran Selarong. Di depan para pengguawa Mataram itu, Pangeran Selarong tidak menyembunyikan kegeraman. Meski begitu, ia tetap dapat tenang berkata, “Tuan Senapati sekalian, kita semua mendengar bunyi ledakan. Saya yakin kita berpikir sama bahwa itu adalah senjata Ki Rangga Agung Sedayu. Oleh sebab itu, kita berkumpul di sini agar mempunyai persiapan sebelum para pengkhianat mencapai tempat ini.” Pangeran Selarong berhenti sejenak lantas menebar pandangan ke arah belakang para senapati. Ucapnya kemudian, “Kita bertempur bukan karena berani mati, tapi karena kita berani menempuh hidup. Jika ujung senjata menikam dada kita, selesailah sudah semuanya. Tapi, ketika kita dapat meraih kemenangan, maka akan muncul halangan lagi dan kelokan-kelokan yang lancip yang dapat mengubah pendirian atau keadaan. Lari meninggalkan gelanggang atau mati di dalam lingkaran, terluka atau selamat, mati atau hidup, semua itu sudah berjalan beriringan bersama orang-orang yang membenci keserasian.
“Tuan Senapati sekalian, Anda semua jauh lebih berpengalaman dan berwawasan lebih luas daripada saya. Seluruh yang saya katakan adalah ucapan guru-guru kami yang mulia. Maka sebagai laki-laki yang lahir di Mataram, mari bahu membahu melalui tugas yang akan saya katakan kemudian.”
Para senapati mengangguk. Terselip rasa bangga di dalam dada mereka bahwa Pangeran Selarong mampu bangkit sebagai lelaki tangguh dan tabah. Inilah pemimpin yang mereka inginkan! Raden Mas Rangsang mendengar ucapan adiknya dengan kebanggaan, demikian pula Panembahan Hanykrawati yang juga mendengarnya dengan dada bergetar. Orang terkemuka Mataram ini semakin membesarkan harapan bahwa Pangeran Selarong akan legawa dengan segala keadaan.
Demikianlah kemudian para senapati begeser lebih dekat pada Pangeran Selarong. Di bawah sepengetahuan Raden Mas Rangsang yang masih berdiri di samping pintu, Pangeran Selarong menerangkan siasat dengan kata-kata yang lugas serta tercermin ketegasan dari setiap kata-katanya.
Persiapan mereka begitu cepat dan rapi. Dalam beberapa saat, setiap orang telah menempati kedudukan yang direncanakan. Ki Banyudana sebagai salah satu pengintai terbaik yang dimiliki Mataram telah berkelebat pada arah suara cambuk yang masih meledak-ledak. Ki Anjangsana melesat pula di belakangnya. Sedangkan Ki Baya Aji akan menjadi senapati pendamping Pangeran Selarong, lalu Ki Grobogan Sewu bertugas khusus mengendalikan anjing-anjing pemburu yang terlatih. Belasan anjing akan menjadi pelapis atau menutup lubang pertahanan yang tergerus serangan lawan. Sedangkan Ki Badra Wungu berada di sekitar Panembahan Hanykrawati sebagai benteng terakhir.
Kabut yang tebal dan permukaan tanah yang licin seakan tidak menjadi penghalang bagi Ki Banyudana dan Ki Anjangsana. Mereka ini seperti mempunyai telapak kaki yang kesat karena begitu lincah dan seperti yakin tidak akan tergelncir ketika menjejak tanah berlumpur. Dalam waktui itu, meski diselimuti suasana yang gelap, dua senapati berilmu tinggi itu dapat melihat banyak bayangan yang bergerak. Ki Banyudana memberi tanda untuk berhenti sejenak kemudian bertukar pandangan dengan Ki Anjangsana. Tanpa mengucap kata, mereka sepakat bahwa bayangan-bayangan itu adalah pergerakan banyak orang yang merayap cepat mendekati tempat Panembahan Hanykrawati. Mereka seperti mempunyai cara untuk bercakap secara batiniah. Mereka pun berbagi tugas melalui gerakan tangan.
Ki Anjangsana pun berbalik arah lalu melaju dengan kecepatan yang lebih dahsyat. Ia kemudian bersuit nyaring dengan nada tertentu sebagai tanda bahaya bagi Pangeran Selarong dan senapati lainnya.
Sementara, dalam waktu singkat, Ki Banyudana – yang berlari dengan kaki seakan-akan tidak menyentuh tanah – telah dapat melihat pertarungan hebat yang melibatkan Agung Sedayu dan Kinasih. Ia terperangah karena tahu bahwa Kinasih berada di bawah larangan penggunaan tenaga cadangan maupun kemampuan meringankan tubuh, tapi bagaimana gadis belia itu mampu bergerak sedemikian hebat? Namun Ki Banyudana tidak mempunyai waktu untuk menarik kesimpulan karena kehadirannya telah diketahui gugus tempur bentukan Ki Sekar Tawang. Beberapa anak buah Ki Sekar Tawang pun menerkam Ki Banyudana dengan senjata yang terayun seperti kerikil yang tergelincir dari ketinggian! Tapi itu bukan serangan yang berbahaya walau mengejutkan Ki Banyudana. Lurah Mataram ini tidak menyangka bahwa ada sekelompok orang – yang tidak terpantau olehnya karena terlindung semak-semak tinggi – tiba-tiba menyerangnya dari berbagai arah.
Suitan nyaring Ki Anjangsana menjadi tanda bagi Pangeran Selarong untuk mengubah siasat. Sebelumnya, gelar perang Jurang Grawah disiapkan bila terjadi serangan mendadak. Namun melalui lengking nyaring yang menembus pekat malam, Pangeran Selarong mengubah Jurang Grawah menjadi Dom Sumuruping Banyu. Mereka akan menyatukan pergerakan searah dan senapas dengan terjangan lawan.
Serbuan tunggal yang digencarkan Agung Sedayu membuat pasukan lawan tidak terkendali sekalipun senapati mereka memberi perintah agar tetap sesuai rencana. Itu keputusan yang sungguh tepat ditambah kehebatan Agung Sedayu serta keluwesan Kinasih, maka gugus tempur mereka pun seakan tidak lagi berarti. Gebrakan yang mengejutkan itu benar-benar menjadikan hati mereka menciut. Susunan bergaris lurus yang dirancang Ki Sekar Tawang pun mendadak ambyar. Jika ada cambuk meledak dari pihak Mataram, siapa orang yang sanggup berbuat itu selain Agung Sedayu dan Swandaru? Tapi karena Swandaru dikabarkan masih berada di Sangkal Putung, maka orang di depan mereka, bukan lain dan tidak bukan, pasti Agung Sedayu!
Sementara yang lain tetap maju namun tidak lagi dengan cara diam-diam! Di antaranya adalah Ki Grobogan Sewu, dengan caranya sendiri, mengendalikan sekelompok anjing pemburu menjadi prajurit yang tidak diperhitungkan oleh lawan. Maka, seketika salak anjing menambah kebisingan semakin menjadi-jadi. Sedangkan senapati Mataram lainnya dengan anak buah mereka cepat menyebar, lalu menyusup pada celah pasukan Ki Sekar Tawang yang menghamburkan diri menuju padang rumput yang tak begitu luas itu.
Teriakan perang seketika berkumandang di dalam hutan.
Ki Ajar Mawanti memandang geram perkembangan yang tidak disangka-sangka. Ia mengepalkan tangannya yang bergetar. Darinya memancar hawa yang menggiriskan dan seandainya Ki Sekar Tawang tidak menahannya, niscaya orang itu pasti mencari Panembahan Hanykrawati lalu menghabisinya.
“Belum waktunya, Kiai,” tegas Ki Sekar Tawang yang kemudian menunjuk pada arah pertempuran Agung Sedayu dan Kinasih.
Ki Ajar Mawanti memandang arah yang dimaksud, lalu bertanya, “Siapakah mereka?”
“Agung Sedayu dan seorang pembantunya,” jawab Ki Sekar Tawang.
Ki Ajar Mawanti mengamati sejenak, kemudian bertanya lagi, “Itu sangat menarik.”
Ki Sekar Tawang menatap orang di sampingnya itu dengan kening berkerut. Apakah orang ini ingin meninggalkan pemimpin Mataram lalu menghadapi Agung Sedayu? Ki Sekar Tawang pun berkata, “Lebih mudah membunuh Mas Jolang jika salah satu anjing penjaganya dapat dikibaskan.”
Ki Ajar Mawanti menggeleng, katanya, “Tidak ada yang lebih menggiurkan daripada anak laki-laki Danang Sutawaijaya itu sendiri.”
“Baiklah, Kiai dapat menentukan pilihan,” ucap Ki Sekar Tawang menutup percakapan sambil berharap Ki Ajar Mawanti yang beradu dada dengan Agung Sedayu. Ki Sekar Tawang menyimpan alasan untuk itu karena ketidakmunculan Ki Sanden Merti sudah menjadi mimpi buruk yang menjadi nyata baginya. Orang yang digadang-gadang dapat menandingi Agung Sedayu itu ternyata tak kunjung datang. Dalam pikiran Ki Sekar Tawang adalah Ki Sanden Merti pasti tumbang atau meninggalkan gelanggang. Ia tidak meraba lebih jauh karena perkembangan di Alas Krapyak ternyata berada di luar perkiraan! Dalam waktu itu, ia benar-benar terkejut dengan kesigapan prajurit-prajurit Mataram yang jumlahnya tidak lebih dari sepertiga pasukannya. Olah gelar mereka sangat jauh dari perhitungannya yang semula menduga Mataram memilih perang campuh, lalu memanfaatkan kegaduhan untuk menyusup ke dalam tempat Panembahan Hanykrawati kemudian membunuhnya. Tapi ia masih dapat bernapas lega karena Ki Banyuasri dan Mangesthi masih tetap berada di dalam rencana.
Kitab Kiai Gringsing – Youtube
Penaklukan Panarukan – Youtube
Agak menjorok sedikit ke bagian dalam hutan, pergerakan Agung Sedayu dan Kinasih terlihat seperti putaran gelombang lautan yang mampu menghisap segala benda. Sepak terjang mereka menarik perhatian banyak orang yang kemudian tertantang untuk mematahkan perlawanan mereka. Sebagian orang Ki Sekar Tawang memilih Agung Sedayu sebagai sasaran. Mereka berlomba-lomba melawan Agung Sedayu tanpa keraguan. Maka dalam waktu sekejap, perkelahian berpasangan itu telah menghisap sebagian kekuatan pasukan Ki Sekar Tawang. Sekitar dua puluh orang atau lebih sedikit yang mengeroyok Agung Sedayu dan Kinasih. Meski Agung Sedayu –dengan segenap kemampuannya – dapat melibas lawan tapi ruang geraknya dibatasi oleh kehadiran Kinasih. Dengan begitu, Agung Sedayu hanya menggunakan kekuatan wadag agar Kinasih tetap dapat mengambil peran. Kinasih cukup hebat menyerang lawan melalui banyak tendangan yang tidak terduga. Walau demikian, kedudukan Kinasih tidak pernah jauh-jauh dari Agung Sedayu. Kinasih memanfaatkan satu lengan bebas Agung Sedayu sebagai alat bantu untuk mempercepat gerakannya. Gadis ini meliuk, berkelit dengan menjadikan Agung Sedayu sebagai poros serta dasar kekuatannya. Kadang-kadang Kinasih merangkul leher Agung Sedayu untuk penyesuaian tata gerak senapati Mataram itu. Kadang-kadang wajah mereka tepat berhadapan sangat dekat seperti dua ekor angsa yang beradu pandang, tapi sekejap kemudian beberapa orang terlempar dari gelanggang.
Pada bagian lain, Pangeran Selarong bersiap dengan segala kemungkinan. Keseimbangan di gelanggang seakan sudah cukup dengan adanya Ki Grobogan Sewu dan belasan anjing pemburu. Mereka menjadi satuan tempur yang menakutkan. Berpindah-pindah, mendobrak kepungan lalu menyambar lawan dari balik kegelapan. Kekacauan benar-benar melanda barisan perang ki Sekar Tawang.
Sepasang mata Pangeran Selarong berusaha mencapai gelanggang perkelahian yang berjarak. Ia bersiaga karena sesuatu yang tak terduga dapat menyeruak keluar dari ketebalan kabut.
Seseorang berjalan menghampiri Panembahan Hanykrawati yang berada di dalam bangunan kayu. Orang itu berperawakan sama seperti Agung Sedayu tapi tidak terlihat memukul atau menyerang orang yang berada di dekatnya. Ia hanya berloncatan kecil menghindar derasnya senjata yang memang tidak ditujukan padanya. Laki-laki itu tidak menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Ia memusatkan perhatian pada satu tujuan saja.
Pancaran tenaga orang itu – walau telah disamarkan – tetap terjangkau karena ketajaman nalar Pangeran Selarong. Putra raja itu kemudian memanggil Ki Baya Aji lalu memintanya agar tetap berdekatan. Ki Baya Aji mengangguk karena maklum dengan luka dalam pangeran Mataram tersebut.
“Adakah Ki Lurah melihat orang yang berjalan ke sini?”
“Pandangan saya tidak menjangkaunya, Pangeran.”
“Baiklah, mari kita bersiap. Saya kira ada seseorang yang ingin bertemu dengan Panembahan.”
Ki Panji Badra Wungu yang berada di samping kanan bangunan mendengar percakapan itu lantas mengangguk-angguk. Ia pun merasakan getar pembunuh yang tersembur sangat kuat. Bahkan bulu halus di permukaan lengannya pun meremang. Sejenak ia menggeleng lalu memandang ke arah belakang bangunan. Panggraitanya mencium aroma bahaya yang mengancam jiwa Panembahan Hanykrawati! Ki Panji pun bersiap, memandang arah itu tanpa berkedip, lalu tubuhnya melesat, menyongsong seseorang yang ternyata berkelebat sangat cepat di balik selimut kabut!
Benturan keras pun terjadi lalu meningkat menjadi pertarungan yang sangat sengit! Beberapa saat kemudian, Ki Panji Badra Wungu melompat surut dengan kening berkerut. “Aku seperti kenal dengan gerakanmu,” ucap Ki Panji.
“Ini adalah perkelahian, bukan pengulangan pelajaran padepokan,” sahut orang yang menjadi lawan.
“Aku hanya ingin memastikan saja. Meski begitu, aku kira engkau berasal dari Pegunungan Sewu, tempat asal Ki Demang Selagilang. Aku harap perkelahian ini tidak diartikan Mataram memusuhi orang-orang dari Pegunungan Sewu. Bagaimanapun, Ki Demang Selagilang adalah orang yang setia pada Panembahan Senapati,” Ki Badra Wungu menutup ucapan lalu menerjang lawannya dengan tata gerak yang sangat dahsyat.
“Kamu benar, Ki Sanak. Aku dari Pegunungan Sewu. Aku adalah orang yang dipanggil dengan nama Ki Banyuasri.” Rupanya penyerang gelap itu adalah Ki Banyuasri yang menyimpang dari jalur rencana Ki Sekar Tawang. Orang ini bergerak sendiri tanpa menarik perhatian dari kelompoknya atau kelompok lain. Sewaktu senapati Mataram itu menerjangnya, tubuh Ki Banyuasri melesat deras seolah melayang saat menyongsong serangan Ki Panji Badra Wungu. Sepasang tangannya bergerak cepat seperti sedang mencoba menangkap belasan lalat yang berterbangan di sekitar bau yang menyengat.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA
Terima kasih.