“Pangeran…,” ucap lirih Glagah Putih namun ia tidak mempunyai daya untuk meneruskan ucapannya. Kalimat terakhir Pangeran Purbaya sudah menjadi pesan yang sangat jelas baginya ; segera benahi diri lalu hadapi hari esok dengan daya tahan serta semangat yang lebih berkobar-kobar!
Pangeran Purbaya tidak bertanya mengenai keadaan lawan Glagah Putih, Ki Sor Dondong. Sudah cukup bagi Pangeran Purbaya dengan keadaan Glagah Putih yang lebih cepat membaik setelah menerima tenaga murni darinya.
Senja telah merambat pelan di atas tanah Kademangan Sangkal Putung. Api peperangan perlahan-lahan padam. Udara Karang Dawa mulai dipenuhi ucapan-ucapan dan perintah saling mengingatkan atau bertanya tentang keadaan masing-masing orang. Masih ada benturan kecil tetapi itu karena pengejaran sisa-sisa pasukan Raden Atmandaru yang gagal mengikuti induk pasukan mereka untuk mundur. Kegiatan-kegiatan yang berlanjut kemudian adalah pemindahan pengawal yang terluka agar dapat dirawat lebih baik di banjar pedukuhan serta penyelenggaran jenazah secara terhormat.
Tangis perpisahan terdengar menyesakkan dada ketika para perempuan harus merelakan anak, kakak serta suami mereka yang berani berkorban besar demi Sangkal Putung dan Mataram. Anak-anak bertanya tentang keberadaan ayah dan kakek mereka, bertanya tentang keadaan kakak dan paman mereka. Kehormatan dan kemuliaan Sangkal Putung serta Mataram telah tunai dipertahankan oleh mereka bersama semangat yang luhur dan keteguhan hati yang luar biasa.
Pangeran Purbaya, dengan menahan air mata, memandang semua peristiwa dari sudut halaman banjar. Di sampingnya ada Glagah Putih yang menggerak-gerakkan bagian tubuh perlahan sebelum menghanyutkan diri dalam suasana duka Gondang Wates. Pandan Wangi serta Sabungsari telah ditangani tabib pedukuhan secara mendalam. Esok pagi, mereka berdua akan bergeser ke pedukuhan induk untuk penanganan lebih lanjut di bawah pengawasan Sekar Mirah. Pangeran Purbaya telah memutuskan seperti demikian, termasuk memisahkan Swandaru Geni dari Pandan Wangi untuk sementara waktu. Swandaru Geni, atas perintah Pangeran Purbaya, tetap ditempatkan di rumah bekel pedukuhan. Sejauh itu, ketika pelita mulai dinyalakan dan memenuhi Gondang Wates, tampaknya semua akan berjalan dengan wajar di bawah kendali saudara Panembahan Hanykrawati tersebut.
Mendadak seorang pengawal datang melaporkan pada Pangeran Purbaya tentang keributan yang terjadi di rumah bekel pedukuhan. Pengawal itu mengatakan bahwa Swandaru berulang-ulang menumpahkan kegeraman.
“Apa yang dikatakan olehnya?” bertanya Pangeran Purbaya.
Wajah pengawal itu terlihat pucat, dan sepertinya kebingungan tentang yang akan diucapkannya. Dalam waktu itu, Glagah Putih tajam memandang padanya.
“Pangeran. Saya pikir… Saya pikir… maaf, Pangeran, saya kira…,” ucap pengawal dengan gugup.
Pangeran Purbaya mengangkat tangan pelan, kemudian katanya, “Baiklah. Aku pikir aku dapat mengerti kejadian itu. Aku dapat meraba yang menjadi sebab kegeraman Swandaru.” Sejenak kemudian, Pangeran Purbaya menoleh pada Glagah Putih, perintahnya, “Aku akan meninggalkanmu di sini. Aku serahkan kendali banjar padamu. Dan, jangan lengah sedikit pun. Lawan kita dapat kembali mengejutkan pedukuhan ini.”
“Sendhika dhawuh, Pangeran,” sahut Glagah Putih penuh hormat.
Pangeran Purbaya bangkit lalu beranjak menemui beberapa bebahu pedukuhan yang sedang berkumpul dengan para pemimpin pengawal untuk membicarakan sesuatu. Sesampainya di kerumunan, Pangeran Purbaya meminta waktu dan perhatian mereka barang sejenak. “Para bebahu dan pemimpin pengawal yang terhormat dan gagah berani. Mungkin Panjenengan sekalian bertanya-tanya tentang keberadaan Ki Swandaru Geni, maka saya katakan di sini, di hadapan Panjenengan sekalian bahwa saya akan menemui beliau di kediaman bekel pedukuhan. Selanjutnya, kendali tertinggi di banjar ini, saya serahkan pada Ki Glagah Putih. Saya harap Panjenengan sekalian tidak mempunyai keberatan dengan keputusan ini.”
Pada waktu itulah, para bebahu dan pemimpin pengawal merasa kagum pada kerendahan hati Pangeran Purbaya yang lebih umum dikenal sebagai singa yang garang dan tanpa ampun. Ternyata, di balik kebengisan dan kekejaman yang diberitakan banyak orang, Pangeran Purbaya adalah orang yang mampu menghormat serta menempatkan bawahan pada kedudukan yang berwibawa melalui sapaan dan pilihan kata. Maka, nyaris terdengar seperti lebah yang bergumam, mereka menyatakan setuju tanpa syarat atas arahan Pangeran Purbaya. Dengan demikian, Pangeran Purbaya dapat meninggalkan banjar tanpa ada ganjalan jika seseorang berani bersuara atas keputusannya.
Dua pengawal berjalan di belakang Pangeran Purbaya yang mengayun langkah lebar tetapi tidak ada kesan tergesa-gesa. Semua tindak tanduk putra Panembahan Senapati itu terlihat begitu mapan dan terukur dalam segala keadaan.
Sepanjang perjalanan, ketika pelita dari oncor dan obor mulai menerangi permukaan jalanan Gondang Wates, Pangeran Purbaya keluar dari jalan utama diikuti oleh dua pengiringnya. Mereka bertiga menyelinap di antara tanaman yang tumbuh di pekarangan-pekarang yang memenuhi lintasan menuju rumah bekel pedukuhan. Pangeran Purbaya berkehendak untuk datang secara tiba-tiba dan tidak diketahui para peronda. Dengan demikian, keberadaannya pun terlindungi dari mata awas para intai dari kubu Raden Atmandaru yang mungkin masih berkeliaran di Gondang Wates. Selain itu, Pangeran Purbaya juga ingin mempelajari terlebih dulu keadaan di sekitar Swandaru.
Di kediaman bekel pedukuhan, Swandaru menarik diri terlebih dulu setelah ada perintah mundur dari Pangeran Purbaya. Meskipun Swandaru tidak lagi memandang dirinya terlampau tinggi, tetapi ia tahu bahwa pasukan lawan sengaja mundur. Suasana yang terjadi di medan perang sanggup memporak-porandakan ketenangan yang mulai bersedia singgah padanya. Betapa perih hati Swandaru melihat Pandan Wangi dikalahkan oleh gadis yang berbau kencur – dalam penilaiannya. Menurut pengamatan Swandaru, seharusnya Pandan Wangi dapat menentukan akhir perkelahian berdasarkan pengalaman dan ketinggian ilmunya. Atas kekalahan itu pula, Swandaru merasakan mukanya seperti disayat di hadapan banyak orang. Sangat memalukan! Rasa geram menyeruak di dalam hatinya. Kegeraman yang makin bertambah ketika menyadari kenyataan lain ; bahwa tidak ada seorang pun dari prajurit Mataram yang beraada di Jati Anom yang menampakkan diri, selain Sabungsari tentunya. Namun, mencurigai Untara tentu saja bukan pendapat atau pikiran yang bijaksana.