Tidak ada lagi kata umpatan dan caci maki yang dilontarkan oleh para pengepung Gagak Panji. Keberanian dan semangat mereka sedang menghadapi ujian ; letusan gunung berapi yang terungkap melalui kemarahan Gagak Panji. Udara panas bersuit kencang menuruni lereng Merapi, menyapu segala benteng juang anak buah Lembu Jati. Ini perkelahian yang tidak main-main! Kilau suram cahaya pedang dan keris tertutup kelebat kayu yang berwarna gelap.
Gagak Panji melawan enam orang yang berkemampuan rata. Pada keadaan seperti itu, orang tentu akan berpikir bahwa Gagak Panji bakal mudah diselesaikan. Itu pendapat yang benar karena hitungan jumlah yang tidak seimbang. Namun apabila mereka mengingat bahwa yang mereka hadapi adalah Gagak Panji, maka keyakinan untuk menang mungkin tidak pernah melintas dalam hati mereka. Hanya saja, para pengeroyok Gagak Panji pun bukan termasuk orang-orang yang takut mati. Sebaliknya, mereka telah mematri keyakinan bahwa kematian mereka akan terjadi di bawah sayap maut yang megah. Sehingga mereka bertarung pun sama sekali tanpa rasa takut meski tidak mengelak kenyataan bahwa kengerian sedang menancapkan kuku pada hati mereka.
Tanpa ada lambaran tenaga inti yang bersumber dari Bumi Handaru, pertarungan Gagak Panji memang menjadi lain dari biasanya. Meski demikian, serangannya tetap menyambar sekencang angin yang menyapu pantai selatan, mengepakkan sayap-sayap yang menggemakan keberingasan seorang Gagak Panji yang menemukan jalan keluar untuk menumpahkan amarah. Perkelahian semakin ketat. Gagak Panji masih berada di dalam kepungan walau tetap sanggup melancarkan serangan bertubi-tubi.
Dari sisi yang lain, terdengar dengung seperti kibas sayap kumbang! Arya Penangsang sedang memberi pesan pada orang-orang yang mengitarinya sambil menyabetkan senjata. Perkelahian mereka jauh lebih dekat dari jarak Gagak Panji dengan musuh-musuhnya. Adipati Jipang itu berkelahi dengan tangan kosong! Memapas senjata lawan, melindungi diri dari ayunan keris dan pedang dengan tata gerak yang sangat mengesankan. Arya Penangsang tidak sedang mementaskan tarian di atas panggung pendapa Kadipaten Jipang! Arya Penangsang menerapkan rangkaian tata gerak yang disadapnya dari jalur perguruan yang berada di pesisir utara Jawa.
Para penyerang Adipati Jipang bertiga pada mulanya merasa kuat karena memiliki keunggulan jumlah. Dengan senjata tajam di tangan dan pengalaman tempur yang panjang, itu artinya mereka tidak mempunyai alasan untuk mengendurkan tekanan. Dan nyatanya mereka memang bertarung sangat ketat. Sekali tekanan menjadi longgar, mangsa mereka akan balik menyerang, demikian isi pikiran mereka.
Ki Bejijong mengerutkan kening dengan tata gerak Arya Penangsang yang dapat melakukan penyesuaian melalui ragam atau kembangan gerak yang rumit, tetapi indah dipandang. Dalam perkelahian itu, Ki Bejijong tanggap bahwa gelar mereka harus selalu berubah dari waktu ke waktu. Namun, itu menyisakan pertanyaan yang berbuah keraguan ; seberapa cepat mereka mengubah susunan perang?
Baru selangkah mereka mengubah gelar, Arya Penangsang telah memangkas perkembangan selanjutnya dari gelar yang diterapkan. Kecermatan Arya Penangsang membaca arah serangan serta tujuan gelar sanggup mengubrak-abrik isi pikiran Ki Bejijong maupun Ki Maja Tamping.
Perkelahian yang tampak seimbang, walau sebenarnya tekanan berat sedang dialami oleh mereka yang berjumlah banyak, membuat Ki Maja Tamping sadar bahwa semakin lama perkelahian berlangsung akan menyeret pengikutnya pada keadaan yang tidak menguntungkan. Pergerakan tiga petarung hebat yang dimiliki Demak seakan-akan tidak berada dalam kendali seseorang. Namun ada pertanyaan yang muncul dalam pikiran Ki Maja Tamping ; setiap kali salah seorang mangsanya bergeser kedudukan, maka dua temannya akan bergeser pula. Kedudukan tiga lawannya yang berpindah-pindah memang menyulitkan anak buahnya. Kadang mereka bertempur beradu punggung sehingga dapat saling melindungi, namun tak jarang mereka berada dalam sebaris yang sejajar sehingga mudah terdesak oleh lawan. Jika mereka mengubah gelar, Adipati Jipang bertiga cukup cepat menyesuaikan diri lalu menyeimbangkan tekanan.
Ki Maja Tamping menyadari bahwa lawannya, Ki Tumenggung Prabasena, adalah seseorang yang sangat tangguh. Selain itu pula, Ki Maja Tamping harus mengakui bahwa Ki Tumenggung Prabasena adalah penyusun siasat yang bernalar tajam. Pada suatu kali, Ki Maja Tamping mencoba memerintahkan anak buahnya agar membentuk garis lurus dan sejajar dengan kepungan lain, Ki Tumenggung Prabasena cepat bertukar kedudukan dengan Gagak Panji atau Arya Penangsang. Tata gelar yang demikian itu membuat kelompok penyerang menjadi seperti anak-anak yang bermain gobak sodor. Mereka terlihat kebingungan dengan perpindahan tempat yang dilakuka n dengan gerakan sangat cepat.
Perkembangan itu menyadarkan Poh Kecik, Ki Bejijong dan Ki Maja Tamping mengenai perintah Ki Tumenggung Prabasena agar kerabatnya tidak menggunakan ilmu mereka yang tinggi. Tanpa pengungkapan ilmu-ilmu langka dan jarang dikuasai orang, perkelahian tidak lagi terlihat seperti pengeroyokan dalam keadaan wajar. Bagian dalam kedai terasa sangat sempit karena pergerakan banyak orang. Kursi dan meja berserakan, kadang berterbangan oleh sebab terlempar maupun terhantam pukulan orang-orang.
Adipati Jipang enggan menurunkan tangan maut pada pengeroyoknya, maka dia mengajak pula dua saudaranya agar bertindak sama dengannya. Yang terjadi kemudian adalah tidak ada seorang pun dari penyerang tiga keponakan Raden Trenggana yang mampu melukai mereka. Anak buah Ki Maja Tamping tidak dapat mengubah susunan serangan sebelum ada perintah pemimpinnya. Sepanjang perkelahian, mereka memang tidak dapat membuat gebrakan yang tajam. Tapi, bagaimana serangan tajam dapat terjadi jika lawan-lawan mereka lebih cepat mendahului pergerakan? Satu-satunya yang dapat mereka lakukan adalah tetap menyerang dan menanti, lalu berharap bahwa salah seorang dari tiga mangsa mereka membuat kekeliruan!
Tiba-tiba Arya Penangsang memekik lantang, menggetarkan suara perang! Itu adalah tanda bahaya! Adipati Jipang tersebut bergerak secepat batu hitam menuruni lereng bukit, lalu meningkat lebih cepat, kemudian lebih cepat lagi. Mengayunkan telapak tangan serupa pedang, menusukkan jari seolah ujung tombak. Beberapa orang berseru mengadu, mengumpat kesakitan, dan sebagian lawan terjengkang tanpa suara.
Ledakan tata gerak yang diperbuat Arya Penangsang memang mengejutkan Gagak Panji maupun Ki Prabasena. Tak sampai sekejap, mereka berdua sadar bahwa Arya Penangsang berniat mengambil alih kendali perkelahian. Maka, tanpa aba-aba berikutnya, Gagak Panji dan Ki Prabasena menghantam dua jendela pada arah yang berbeda. Dua orang itu berloncatan sambil menggerak-gerakkan tangan, melempar orang yang pingsan keluar dari ruangan.
Dalam waktu yang singkat, jumlah orang yang berada di dalam ruangan pun berkurang. Pada bagian tengah, Arya Penangsang berdiri dengan otot menegang sementara sorot matanya seakan-akan memancarkan api. Sedangkan Gagak Panji dan Ki Prabasena telah berada di luar, mengekang jalan agar tidak ada lawan yang dapat keluar dari kedai maupun halamannya.
“Dia setan!” geram Poh Kecik dengan mata setajam pedang sambil menggeser langkah, menempatkan diri di sebeah Ki Bejijong.
Pada waktu itu, Ki Maja Tamping tegak berdiri dengan delapan orang berada di belakangnya.