Pangeran Purbaya memandang Glagah Putih dengan sikap tenang. Ia membuka rias penyamaran pelan-pelan. Baginya, kini sudah jelas bahwa pertanyaan di dalam benaknya mengenai orang yang menolong para peronda. Glagah Putih adalah nama yang terbersit dalam perkiraannya. Kemunculan Glagah Putih dan kiprahnya di Sangkal Putung menyebabkan datangnya pertanyaan yang lain.
“Oh,“ Glagah Putih berseru sambil menutup bibirnya. “Ampuni saya, Pangeran.”
“Tegaklah, mari, berdirilah dengan tegak sebagaimana prajurit Mataram yang siap menerjunkan diri dalam pertempuran,” kata Pangeran Purbaya sambil memegang bahu Glagah Putih.
“Saya, Pangeran,” sahut Glagah Putih. Sementara Sukra tak henti-henti menyentuh pundak dan punggung lelaki yang sering menggodanya di masa lalu. “Sukra,” kata Glagah Putih kemudian, “lihat dirimu sekarang. Engkau memang pantas menjadi pilar pengawal Menoreh.” Ia memukul lengan Sukra, dan terkejutlah Glagah Putih. “Hah! Ini?” Betapa terasa liat dan kuat lengan anak muda itu ketika kepalan tangannya menyentuh sedikit keras. Lalu Glagah Putih mencoba melakukan tendangan seperti yang pernah dilakukannya ketika mengenalkan tata gerak dasar pada Sukra. Sukra menghindar dengan gerakan yang diketahui para pengawal Menoreh secara umum tetapi sedikit lebih gesit dan lincah. Untuk sejenak waktu, mereka pun terlibat dalam latihan. Dalam perkelahian yang tidak sungguh-sungguh, Glagah Putih mengagumi kemampuan Sukra yang meningkat tajam. Menurutnya, Sukra mungkin akan dapat melampaui pendadaran bila Mataram memerlukan prajurit. Ketika Glagah Putih sudah mencapai kesimpulan akhir, ia menyudahi latihan, kemudian menghampiri Sukra sambil berkata, “Sepertinya engkau bukan lagi menjadi pilar Menoreh.”
Memerah wajah Sukra, sambil bersungut, ia berkata, “Belum juga engkau berhenti melukai hatiku dengan pujian palsu. Sudahilah atau kita teruskan perkelahian ini!”
Orang-orang menahan senyum melihat suasana yang melingkupi Glagah Putih dan Sukra yang seolah kembali kekanak-kanakan.
Sejurus kemudian, Glagah Putih meminta orang-orang untuk mengikutinya. Belasan langkah dari tempat itu, mereka meniti jalan setapak yang sedikit menanjak, lalu tiba di tanah yang agak terbuka. Di tempat itu, Glagah Putih berkata, “Memang agak terbuka, Pangeran, tetapi kita akan terlindung dari jangkauan pandang lawan. Mereka banyak membuat gubuk atau gardu yang berada di dahan-dahan yang tinggi.” Ibu jari menunjuk ke sejumlah arah, dan Pangeran Purbaya dapat melihat gardu jaga yang dimaksudkan Glagah Putih.
“Hmm…,” desah Pangeran Purbaya, “siasat bertahan sekaligus tempat yang memadai untuk sebuah serangan mendadak.” Dalam hatinya, Pangeran Purbaya memuji sikap Glagah Putih yang cukup berhati-hati. Pada malam hari dan di balik rerimbun tanaman, siapa yang dapat melihat mereka tanpa cahaya di sekitar mereka berlima? Ini kesiagaan dan tidak berlebihan, pujinya.
“Seperti itulah, Pangeran,” kata Glagah Putih kemudian.
Pangeran Purbaya manggut-manggut. “Ternyata engkaulah orang yang kerap membantu peronda keluar dari tekanan,” kata Pangeran Purbaya kemudian, “Glagah Putih, dapatkah kau katakan bagaimana engkau berada di Sangkal Putung?”
Glagah Putih memandang dua pengawal Sangkal Putung, lalu menatap wajah Sukra yang masih bersinar-sinar, kemudian mengangguk pada Pangeran Purbaya. Katanya, “Lawatan ke brang wetan telah selesai. Semua hasil pengamatan pun sudah saya serahkan pada Panembahan Hanykrawati. Sebelum berpulang ke Tanah Perdikan, saya sempatkan untuk singgah di Kepatihan. Ya, Kepatihan adalah tempat yang tidak mungkin saya tinggalkan bila berkunjung ke kotaraja. Dari Ki Patih Mandaraka, saya mendapatkan keterangan tentang keadaan Sangkal Putung. Beliau meminta saya segera datang ke sini, lalu bekerja sebagaimana mestinya.”
“Bilakah engkau bertemu dengan Paman Patih?”
“Mungkin sepekan lebih dari waktu sekarang, Pangeran.”
Pangeran Purbaya tertawa kecil. Orang-orang menatapnya heran. “Inilah salah satu kepiawaian Paman Patih dalam menyusun rencana. Glagah Putih, Paman Patih sama sekali tidak memberitahuku bahwa beliau mengirim seseorang terlebih dulu. Ini seolah Paman Patih memerintahkanmu untuk membersihkan duri yang tertanam, merobek jaring-jaring yang terpasang agar kami bertiga dapat memasuki Sangkal Putung tanpa banyak gangguan. Itu hanya perkiraanku saja. Nyatanya, dua pengawal Sangkal Putung yang duduk bersama kita melaporkan mengenai keberadaan orang asing yang berdiri di bawah sayap kademangan. Bila bukan dari petugas sandi, mungkinkah ia bagian dari pasukan khusus? Tentu engkau mengerti bahwa prajurit pasukan khusus mempunyai wewenang yang berbeda. Di situlah kemudian aku mengira bahwa ia adalah engkau, Glagah Putih, dan memang aku menyimpan harapan itu. Sekarang, bagaimana pergerakan kekuatan mereka di dalam kademangan?”
“Mereka terus menerus bergerak dan mampu menahan laju perondan serta pengawal kademangan. Saya sudah selidiki dan dapat mengerti kesulitan Nyi Pandan Wangi.”
“Terangkan!”
“Jika Nyi Pandan Wangi bergerak dengan serangan terbuka, penduduk kademangan akan mudah tertekan karena jalur-jalur perdagangan berada di bawah pengawasan Raden Atmandaru. Kademangan akan mengalami kerugian dan bencana lebih besar. Orang-orang itu sudah pasti sanggup membakar rumah-rumah, pasar-pasar dan melindas anak-anak kecil. Itu adalah keadaan yang tidak diinginkan Nyi Pandan Wangi dan kita semua.”
“Benar,” sahut Pangeran Purbaya.
“Sejauh ini, saya hanya mengikuti setiap langkah Nyi Pandan Wangi sambil tetap mengamati keadaan di luar Gondang Wates.”
“Engkau lanjutkan,” tegas Pangeran Purbaya.
“Saya merambah hingga wilayah yang dikuasai lawan. Ada nama yang sering disebut sebagai panglima tertinggi, wakil dari Raden Atmandaru, Ki Garu Wesi. Di sampingnya ada sejumlah nama yang pernah saya dengar, dan mereka berasal dari banyak perguruan. Selain itu, Pangeran, saya sempat mengikuti aliran orang-orang yang memasuki Sangkal Putung dari jalan memutar yang berhubungan dengan Randu Lanang.”
“Di mana mereka berkumpul dan berapa banyak?”
“Di sebelah barat Pedukuhan Janti. Mungkin hanya berjarak puluhan tombak dari Watu Sumping. Saya tidak dapat menaksir secara tepat, namun, dari kegiatan-kegiatan mereka memotong jalur pedagang dan petani, mungkin mereka mencapai puluhan atau mendekati ratusan orang.”
“Jumlah yang cukup untuk melumpuhkan lalu menguasai lumbung pangan Mataram,” Pangeran Purbaya mendesis tajam. Lantas ia merenung cukup lama, membuat gambar-gambar di dalam benaknya guna memecahkan kebuntuan yang sedang dihadapi Pandan Wangi. Keadaan itu sepintas tidak terlihat berbahaya. Bersama beberapa pengawal pilihan, ia dapat membakar perkemahan pengikut Raden Atmandaru lalu menumpas semuanya. Namun jika salah langkah, Sangkal Putung akan kesulitan bangkit dalam waktu yang lama karena lawan mereka akan membumihanguskan seisi kademangan. Keseimbangan harus tetap dijaga, tekadnya.
Pangeran Purbaya kemudian meneruskan ucapannya, “Mereka berkumpul dan berkemah di bagian barat, bukankah itu berarti mereka sudah memutus jalur penghubung antara Sangkal Putung dengan Tanah Perdikan?”
“Benar, Pangeran. Dengan keadaan dan penempatan satuan-satuan yang menyebar di banyak tempat, Sangkal Putung terputus oleh sekat-sekat yang sepertinya tidak dirancang beraturan.”
“Bagaimana maksudmu, Ngger?”
“Ki Garu Wesi tidak menempatkan pasukannya pada satu titik kumpul. Ia membagi pada banyak kelompok, dan kelompok-kelompok itu seperti tidak mempunyai bentangan jarak yang sama,” jawab Glagah Putih.
Sukra terlihat menggerakkan tangan, lalu membatalkannya. Namun gerak gerik Sukra diketahui oleh Glagah Putih. Untuk itu, sepupu Agung Sedayu pun menjelaskan, “Sebuah kelompok mengambil tempat, andai saja, sejauh sebelas tombak dari jalan utama. Kemudian kelompok yang lain menempatkan diri tidak lebih pendek dari ukuran sebelas tombak. Tetapi, yang pasti, mereka secara tepat menempatkan diri pada daerah-daerah yang memadai dijadikan sebagai titik-titik penyergapan maupun pengintaian.”
“Barangkali sekat-sekat yang berjerat itu dapat diterobos, dinding-dinding pendengaran dapat dikelabui dengan cara yang tidak terduga, tetapi kita harus berjuang lebih keras dan berhati-hati agar tetap selamat menyusup ke Gondang Wates,” ucap Pangeran Purbaya. Dalam rancangan siasatnya, Pangeran Purbaya meminta mereka tidak menggunakan panah sendaren bila terjebak dalam kepungan. “Kalian tidak boleh menggantungkan keselamatan pada yang lain, termasuk aku sendiri. Jika aku terikat perang tanding dan mempunyai kemungkinan kecil untuk selamat, aku minta kalian tidak berpaling ke belakang. Tetaplah bergerak maju, dampingi Nyi Pandan Wangi lalu bebaskan Sangkal Putung.”
Empat orang menyambutnya dengan tangan terkepal. Sorot mata mereka menyanggupi permintaan Pangeran Purbaya. Sinar mata dan wajah mereka mulai menyalakan api yang sanggup membakar seluruh hutan di lereng Merapi dan Merbabu.
Untuk mencegah pertemuan mereka dengan orang-orang Raden Atmandaru yang berkemampuan tinggi, Pangeran Purbaya mengandalkan Glagah Putih dan dua pengawal kademangan untuk melewati halang rintang serta pengamatan dari gardu-gardu jaga. Dalam kesempatan itu, pada sisa waktu yang semakin terkikis, Pangeran Purbaya memberi pesan agar mereka sedapat mungkin menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan yang mungkin dapat terjadi.
Dua kelompok segera terbentuk. Sukra akan berjalan bersama Pangeran Purbaya dan Lamija, sedangkan Glagah Putih ditemani Prasetya. Mereka menempuh jalur yang berbeda. Satuan pengintai yang dipimpin Pangeran Purbaya akan membelah dinding pertahanan lawan yang mengepung Nyi Pandan Wangi. Sementara satuan intai yang dikepalai Glagah Putih langsung menuju pusat pedukuhan induk, rumah Ki Demang Sangkal Putung. Ia mendengar kabar gembira dari Sukra. Glagah Putih ingin segera tiba di pedukuhan induk, lalu menimang anak dari kakak sepupunya itu. Ketika itu, Glagah Putih nyaris lepas penguasaan diri. Betapa Glagah Putih gembira sekaligus gelisah ketika mengetahui putri Sekar Mirah masih berada di dalam kepungan api yang menyala di dalam sekam!