Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 53

“Inilah peperangan,” ucap Pangeran Purbaya membuka percakapan. “Ini adalah bagian lain kehidupan yang harus kau terima sekalipun pahit untuk dijalani.” Pangeran Purbaya tajam memandang Swandaru. “Setiap orang dapat menggunakan ribuan siasat untuk meraih kemenangan. Satu hal yang harus kau pahami adalah peperangan tidak selalu menuntut harus dapat memukul lawan hingga mundur atau terjatuh. Perang selalu mempunyai tujuan yang tidak terlihat oleh mata prajurit yang bertempur di lapangan, itu adalah kenyataan lain yang mungkin tersembunyi dari penglihatanmu, Swandaru. Dan, aku kira, yang tersembunyi itulah yang menjadi ganjalan pada perasaanmu sekarang.”

“Saya, Pangeran,” kata Swandaru. “Memang, sedikit ganjalan yang membuat saya benar-benar terganggu.”

“Kau dapat mengatakan itu ketika perang masih berlangsung.”

Nada suara Pangeran Purbaya tiba-tiba menyudutkan Swandaru. Dalam hatinya, Swandaru ingin mengatakan bahwa sebenarnya ia akan melakukan sesuatu, tetapi bukankah memang ada larangan untuknya selain menjaga gerbang dan wilayah pemukiman? Seandainya ia benar-benar membuat sebuah terobosan lalu berakibat buruk, bukankah dirinya akan menjadi titik sebab kesalahan lagi? Sungguh, kesalahannya di masa lalu dan yang barusan terjadi telah menempatkannya pada keadaan yang mudah untuk disudutkan. Walau demikian, Swandaru sudah membulatkan tekad menyatakan pendapatnya. “Sebenarnya saya sempat tidak percaya pada penglihatan atas beberapa kejadian di padang perang. Memang ada perubahan siasat Panjenengan tetapi karena begitu luwes dan cair, maka saya dapat meniadakan keberatan. Meski demikian, Pangeran, izinkan saya mengatakan sesuatu mengganggu pikiran saya.”

loading...

“Aku sudah berada di sini. Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Dada Swandaru sedikit bergetar. Nada bicara dan pilihan kata yang benar-benar tidak mengenakkan, pikirnya. “Pangeran, pasukan lawan dapat melumat pengawal kademangan dengan mudah karena seseorang mungkin sedang menutup mata dan menghancurkan saya dari dalam.”

“Apakah ucapanmu itu sudah menjadi tuduhan atau masih berupa prasangka?’

“Saya mengatakan yang ada di dalam pikiran saja. Tidak ada tuduhan karena itu membutuhkan bukti atau kenyataan yang mendukung. Bukan pula prasangka karena kenyataan sudah terjadi dan mungkin sebagian orang tidak begitu memperhatikan.”

“Apakah yang kau maksudkan adalah Ki Tumenggung Untara yang tidak mengirim pasukan untuk membantu Sangkal Putung? Dan, apakah dengan sebab itu, Ki Tumenggung Untara dapat dikatakan bersekongkol dengan Raden Atmandaru?”

Dengan tenggorokan seakan tercekat, Swandaru mengangguk. Sedikit memaksa diri, ia menjawab, “Benar dan tidak benar, Pangeran.”

“Apakah kau menginginkan aku memberi hukuman pada Untara karena keteledorannya itu?”

Wajah Swandaru memerah. Ia tidak menyangka Pangeran Purbaya akan memberinya pertanyaan yang cukup tajam.  Pertanyaan yang tidak meninggalkan ruang tersisa dalam pikiran Swandaru. Pangeran Purbaya jauh lebih cepat mengarahkan pikiran, bahkan telah menguasai kendali pembicaraan. Jantung Swandaru berdentang memukul dada lebih keras. “Gila! Aku tidak mempunyai tempat untuk mengelak,” ucap Swandaru dalam hatinya. Dadanya terasa sesak lalu mencoba menghimpun ketegasan yang ambyar karena nada tanya Pangeran Purbaya.

Sejenak Swandaru mengatur napas. ”Karena seharusnya Ki Tumenggung Untara mengirimkan bantuan. Bisa berupa makanan, tenaga pengobatan atau satu regu pemukul. Tapi saya tidak melihat itu semua di medan perang. Seorang lurah prajurit yang bernama Sabungsari belum mewakili yang saya pikirkan tentang bantuan.”

“Lalu kau mengharap aku menghukum Untara?” Pangeran Purbaya mengulang pertanyaan.

“itu berada di luar jangkauan saya, Pangeran. Tidak pantas bagi saya berharap sesuatu yang buruk menimpa saudara kandung dari kakak seperguruan saya.”

Angin bertiup lembut memasuki celah pintu. Swandaru memutuskan untuk diam sekuat ia dapat bertahan di bawah wibawa Pangeran Purbaya.

Terbatas untuk penggemar Api di Bukit Menoreh.

“Baiklah,” ucap Pangeran Purbaya setelah menunggu agak lama dan Swandaru tak lagi mengucapkan sesuatu. “Swandaru, engkau dapat bertanya pada dirimu sendiri, apa yang dikerjakan Untara ketika perang sedang berkobar di Karang Dawa? Ke mana para cantrik Orang Bercambuk? Di mana kedudukan Paman Widura? Atau mungkin, dengan nada yang lebih menyakitkan, kau dapat bertanya, mengapa Tanah Perdikan membutakan mata ketika Pandan Wangi terancam bahaya? Mungkin kau sudah dapat menduga jawaban tentang itu semua, tetapi terlalu takut menyatakannya di depanku.” Pangeran Purbaya menjeda kalimatnya, menunggu tanggapan Swadaru tetapi nihil. Hanya air muka Swandaru saja yang berubah. Lantas, Pangeran Purbaya meneruckan ucapannya, “Aku heran bila engkau bertanya seperti itu. Dan keheranan itu bukan tanpa alasan. Tugas Ki Tumenggung Untara bukan sekedar melayani Mataram dengan jangkauan Jati Anom dan sekitarnya. Jauh, dan lebih jauh dari yang kau bayangkan. Gangguan Raden Atmandaru tidak hanya terjadi di Sangkal Putung, tetapi ada beberapa wilayah lain yang tidak lepas dari kekasaran otaknya ketika bekerja. Apakah aku, yang duduk di sini, dapat mendengarkan keterangan yang tidak terjangkau oleh petugas sandi? Kau dapat mengungkapkan itu…Swandaru, dan semestinya akan jauh lebih baik daripada menyinggung Untara pada keadaan bahaya seperti ini.”

Salah satu cara mendukung blog Padepokan Witasem adalah membeli karya kami.

arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak

Cara Pangeran Purbaya menatap Swandaru mendadak berubah. Meski tidak ada kemarahan yang terpancar darinya, tetapi sorot mata Pangeran Purbaya benar-benar menembus jantung Swandaru. “Mungkin sudah saatnya engkau memandang segala sesuatu bersama dengan dengan mata hatimu. Dengan demikian, perubahan demi perubahan yang terjadi akhirnya tetaplah sebagai perubahan dan bersifat tetap. Perubahan hanya pergeseran keinginan dan kebutuhan yang bersesuaian dengan keadaan. Untara dan Mataram adalah satu kesatuan. Mereka tidak pernah berpisah. Mereka tetap berhimpun dan terikat, tetapi kau melihatnya dari sudut yang berbeda. Bagiku, itu menyedihkan untuk seseorang yang sudah dianggap pantas menjadi pemimpin wilayah yang cukup luas.”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 93

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.