Menjawab pertanyaan saudaranya, Gagak Panji berkata, “Saya tidak tahu, Kakang. Kemungkinan itu selalu ada.”
“Apakah engkau siap menghadapi Paman Trenggana?”
“Siapakah yang dapat lari dari pertempuran? Ketika saya memutuskan untuk berjalan bersama orang-orang, saya pikir kesempatan untuk berputar balik telah habis. Selesai sudah kebersamaan saya dengan Demak. Di sini, saya penuhi janji pada diri saya sendiri. Mereka telah memutuskan untuk berperang melawan Demak, saya pun menyatakan dukungan. Lantas, apa yang menjadi alasan bagi saya untuk menghindari Raden Trenggana?”
“Aku yakin engkau telah banyak bertanya pada dirimu sendiri. Bertanya pada guru dan orang-orang yang engkau tuakan,” kata Ki Tumenggung Prabasena, “dan di sinilah engkau berada. Adi Gagak Panji, tidak seorang pun tahu tentang garis hidup kita di masa mendatang. Kemenangan Blambangan tidak akan mempengaruhi keputusan Adipati Arya Penangsang yang mungkin sudah mempersiapkan rencana untuk masa depan Jipang Panolan.”
“Kekalahan Blambangan yang mungkin saja dapat mengubah rencananya,” ucap Gagak Panji lirih.
“Aku tidak berpikir demikian.”
Gagak Panji memalingkan wajah, menghadap penuh Ki Tumenggung Prabasena dengan tatap mata sungguh-sungguh. “Sekitar setengah tahun ini, pada setiap pelosok, orang-orang belum berhenti membicarakan Penangsang. Sebagian mungkin sedang menunggu kemunculannya di Demak, tetapi beberapa orang berusaha menghambatnya sejak dari Jipang.”
“Perubahan itu, bagaimana yang engkau maksudkan?”
Sesaat Gagak Panji didera bimbang. Hatinya sedikit ragu untuk mengungkap isi pikirannya. Ia sedang menimbang, apakah kejujuran pun masih saja mendatangkan musibah? Apakah ada orang gembira dengan musibah itu? Barangkali memang ada yang merasa bahwa tahta Demak sudah seharusnya berada dalam genggaman Arya Penangsang. Barangkali mereka tidak akan mau tertawa di atas bencana tetapi kebenaran – yang mereka tetapkan sebagai tujuan – sanggup mengabaikan segala peristiwa dan akibatnya.
“Adi Gagak Panji?” Ki Tumenggung Prabasena mengerutkan alis ketika menyebut nama lawan bicaranya dengan tanda tanya. “Aku kira sesuatu telah mengganjal hati dan pikiranmu. Sesuatu yang pasti lebih cadas dari batu-batu karang di Panarukan.”
“Kakang Tumenggung, “ucap Gagak Panji kemudian, “laporan Ki Wirya Sentanu dapat disikapi melalui cara yang berbeda.”
“Semakin rumit,” desah Ki Tumenggung Prabasena.
Gagak Panji tersenyum kecil. Senyum yang terlihat begitu ringan melayang pada permukaan wajahnya. “Kepatuhan para adipati pada Pangeran Tawang Balun tidak dapat saya terima bulat-bulat. Ada kemungkinan yang lain di balik kepatuhan itu.”
“Mereka menunggu pemenang perang?”
Gagak Panji mengangguk. “Bisa jadi. Bisa jadi, itu adalah kemungkinan yang akan timbul. Kepatuhan para adipati akan memberi dasar yang sangat kuat bagi Adipati Jipang ketika beliau mengambil alih Demak. Para adipati mungkin mengatakan, ‘inilah garis kerabat Pangeran Tawang Balun.’ Lalu mereka mengikuti Arya Penangsang. Kakang, bagaimana jika mereka melepaskan diri sepeninggal Pangeran Tawang Balun?”
“Lebih rumit,” ucap Ki Prabasena, “lebih rumit jika dibandingkan dengan penolakan pada Paman Trenggana. Kita tidak melihat daerah-daerah bawahan yang mengangkat senjata lebih keras dibandingkan Blambangan ketika wisuda dilakukan.”
Malam merengkuh orang-orang dengan wajah yang semakin muram. Mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri perbincangan. Gagak Panji mengangguk hormat pada Ki Tumenggung Prabasena lalu beriringan mengayunkan kaki menuju tenda.
Lirih berbisik pada hati Gagak Panji, sesuatu yang sedang mencoba mengajaknya meninjau keadaan. Ia merasa ringan dan begitu yakin pada sikapnya. Mengapa ia tidak berpikir tentang nasib keluarga, kerabat dan teman-teman dekatnya di Demak? Sedangkan ia lahir dan tumbuh berkembang di pusat kerajaan. Mengapa ia merasa Blambangan menjadi tempat terakhirnya melabuhkan harapan? Gagak Panji menyentuh bahu Ki Tumenggung Prabasena, kemudian bertanya, “Bagaimana seseorang dapat menjalani hidup dengan pikiran-pikiran yang dingin dan dapat memandang segalanya dalam keseimbangan?”
Ki Tumenggung Prabasena menengadah sebentar, lalu menambah waktu untuk memandang langit. “Bila kita tidak belajar sesuatu untuk menguasai jalan-jalan yang biasa dilewati oleh lintang, tentu akan menilai semua bintang yang menempel di langit adalah sebuah kekacauan. Lihatlah, tidak ada jarak yang teratur di antara mereka,” kata Ki Prabasena seraya menggunakan jari telunjuk pada bintang-bintang di angkasa. Setelah merenung sebentar waktu, Ki Prabasena menlanjutkan, “Di antara mereka, di antara bintang-bintang yang mungkin berjumlah ribuan, bisa jadi mereka juga mempunyai jarak ketinggian yang berlainan satu sama lain. Tidak semua sama persis dan sudah pasti tidak ada jarak yang benar-benar sama.”
“Saya tidak mengerti maksud Kakang.”